Siapkan diri untuk tiga menit kegelapan

id gerhana matahari total, gmt, bengkulu, sumsel, jembatan ampera, benteng marlborough

 Siapkan diri untuk tiga menit kegelapan

Ilustrasi. Bulan nyaris menutup matahari sesaat sebelum Gerhana Matahari Total di kawasan Pulau Iwojima Utara, Jepang, 22 Juli 2009. Gerhana Matahari Total terjadi di hampir sepanjang kawasan Asia. ( Antara)

Polemik boleh atau tidaknya manusia melihat gerhana matahari total (GMT) masih terjadi dalam masyarakat Indonesia. Informasi yang berbeda-beda masih diterima masyarakat ketika bertanya kepada dokter mata, ahli astronomi, penggiat astronomi, bahkan pemerintah.

Dampaknya, masyarakat bisa saja melewatkan keindahan alam luar biasa dan langka yang Allah SWT telah ciptakan untuk semua mahluk hidup di bumi.

Ahli astronomi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Bambang Hidayat menentang peraturan pemerintah di era Presiden Soeharto yang melarang masyarakat untuk melihat GMT tahun 1983.

Kala itu, masyarakat diminta tetap berada di dalam rumah dan melihat proses GMT hanya melalui televisi yang kala itu disiarkan secara langsung oleh TVRI.

Bambang menunjukkan kliping beberapa berita dari surat kabar yang terbit pada Juni 1983 yang di antaranya dari Suara Karya berjudul "Teropong Gerhana Disita Polri", dari Kompas yang berjudul "Akhirnya Batara Kala Muncul Juga" yang ditulis oleh Abdurrahman Wahid, dan tulisan lain berjudul "Pikiran-pikiran tentang Suatu Gerhana" yang ditulis Y B Mangunwijaya.

Ahli astronomi lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini memperlihatkan kondisi berbeda melalui foto jurnalistik yang diterbitkan tahun 1988 yang menunjukkan masyarakat Bengkulu memenuhi pantai di sana sambil menggunakan kacamata khusus dengan fitler matahari mengamati proses GMT.

Foto lain memperlihatkan seseorang dalam posisi tidur di atas pasir putih dengan santai mengamati proses GMT dengan menggunakan filter matahari.

Ia melihat larangan pemerintah pada 1983 dari segi positifnya dimana pemerintah mau melindungi rakyatnya dari kebutaan jika melihat secara langsung saat bulan belum sempurna menutup matahari secara total.

"Tapi orang-orang desa juga punya 'wisdom'. Jaman dulu orang melihat refleksi gerhana dari air dalam belanga atau kolam, atau melihat dari lubang jarum, orang jaman dulu sudah tahu itu," kata Bambang.

Profesor yang juga merupakan mantan Kepala Observatorium Bosscha di tahun 1968 hingga 1999 ini juga sempat menunjukkan klipingan foto dokumentasi persiapan pengamatan GMT 1901 dan 1926 di Bengkulu yang dilakukan peneliti Belanda dan ahli astronomi Amerika Serikat.

Tampak di dalam foto banyak orang pribumi yang dilibatkan dalam persiapan observasi GMT.

"Di masa belum ada Indonesia saja ilmuwan dan pemburu gerhana dunia sudah berdatangan ke Nusantara. Proses pengamatan mereka pun melibatkan orang-orang pribumi, sehingga banyak yang sudah paham soal gerhana tersebut," ujar dia.


Memahami fase GMT

Bambang menjelaskan fase-fase dan sifat GMT yang perlu dipahami masyarakat sebelum pergi melihat fenomena alam langka ini sehingga masyarakat dapat secara aman menyaksikannya tanpa merusak retina mata.

Proses menuju gerhana matahari total dimulai saat kontak pertama piringan luar bulan dengan piringan luar matahari terjadi, saat itu fase gerhana matahari sebagian dimulai dan dinamakan fase K1.

Pada fase K1 ini masyarakat harus menggunakan kacamata dengan filter matahari yang mampu menyaring radiasi inframerah matahari hingga 100.000 kali untuk menyaksikan proses GMT.

Proses GMT dilanjutkan dengan kontak awal piringan luar matahari dengan bagian dalam piringan bulan, saat itu fase gerhana matahari total di mulai dan disebut sebagai fase K2.

Pada fase ini masyarakat masih harus tetap menggunaan kacamata dengan filter matahari.

Pada saat piringan bulan tepat di tengah piringan matahari pada saat itu, menurut Bambang, gerhana matahari total mencapai maksimal dan memasuki fase M.

Pada fase M ini terjadi kegelapan nyaris sempurna dan masyarakat dapat melepaskan kacamata berfilter matahari yang digunakannya untuk menyaksikan keindahan totalitas gerhana matahari total.

"Pada saat itu 'Baily beads' atau manik-manik Baily bisa kita lihat, ini terjadi sangat cepat hanya 10 hingga 15 detik saat cahaya matahari masih dapat melewati permukaan bulan yang tidak rata sebelum akhirnya cahaya benar-benar hilang dan menyisakan sangat sedikit kilau cahaya tampak seperti cincin berlian yang berkilau. Kalau saya menyebutnya cahaya akik, karena mirip batu akik yang menyembul di lingkaran cincin," ujar penerima Habibie Award ini.

"Bailys beads", ia mengatakan dinamai sesuai nama peneliti Francis Baily yang menjadi orang pertama yang menjelaskan tentang gumpalan cahaya yang mirip manik-manik di tepi piringan bulan sesaat menjelang dan sesudah totalitas gerhana matahari total terjadi.

Saat fenomena cincin berlian hilang keindahan lain dari fenomena gerhana matahari total mulai tampak, yakni munculnya korona matahari di mana akan tampak seperti cincin tipis dan cahaya redup mengelilingi bulan saat totalitas terjadi.

Korona bisa dilihat saat gerhana matahari total terjadi. Bentuknya tidak sama (disetiap GMT) karena dibentuk oleh matahari dengan kekuatan cahayanya yang berbeda-beda.

Fase gerhana matahari total selesai saat kontak akhir piringan luar matahari dengan bagian dalam piringan bulan terjadi. Fase ini masuk ke fase K3 dan kegiatan mengobservasi gerhana matahari total yang dilanjutkan harus menggunakan kacamata dengan filter matahari.

Menurut Bambang, pada fase K3 ini di mana bulan tiba-tiba menyingkir dari matahari dan memancarkan sinar yang begitu cemerlang menjadi fase paling berbahaya untuk diamati mata secara langsung. Begitu pula pada fase K4 saat gerhana matahari sebagian selesai, karenanya pengamatan harus menggunakan kacamata dengan filter matahari.


Waktu pengamatan

Kepala Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin mengatakan ada 12 provinsi di Indonesia yang daratannya akan dilalui gerhana matahari total, antara lain Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Maluku Utara.

"Pada sebagian atau bagian dari 12 provinsi yang dilewati gerhana matahari total akan mengalami kegelapan hingga 90 persen. Sedangkan di Jawa dan daerah lainnya di Indonesia hanya akan terjadi gerhana matahari sebagian dengan kegelapan mencapai 50 hingga 60 persen," kata Thomas.

Palembang, Sumatera Selatan, akan memasuki fase K1 sekitar pukul 6.20 WIB, fase K2 sekitar pukul 7.20 WIB, fase M sekitar pukul 7.21 WIB, fase K3 sekitar pukul 7.22 WIB, dan fase K4 sekitar pukul 8.31 WIB. Sedangkan di Tanjung Pandan, Bangka Belitung, akan memasuki fase K1 sekitar pukul 6.21 WIB, fase K2 sekitar pukul 7.22 WIB, fase M sekitar pukul 7.23 WIB, fase K3 sekitar pukul 7.25 WIB, dan fase K4 sekitar pukul 8.35 WIB.

Palangkaraya, Kalimantan Tengah, akan memasuki fase K1 sekitar pukul 6.23 WIB, fase K2 sekitar pukul 7.28 WIB, fase M sekitar pukul 7.30 WIB, fase K3 sekitar pukul 7.31 WIB, dan fase K4 sekitar pukul 8.46 WIB. Balikpapan, Kalimantan Timur, akan memasuki fase K1 sekitar pukul 7.25 WITA, fase K2 sekitar pukul 8.33 WITA, fase M sekitar pukul 8.34.26 WITA, fase K3 sekitar pukul 8.34.57 WITA, dan fase K4 sekitar pukul 9.53 WITA.

Palu, Sulawesi Tengah, akan memasuki fase K1 sekitar pukul 7.27 WITA, fase K2 sekitar pukul 8.37 WITA, fase M sekitar pukul 8.38 WITA, fase K3 sekitar pukul 8.39 WITA, fase K4 sekitar pukul 10.00 WITA. Ternate, Maluku Utara, akan memasuki fase K1 sekitar pukul 8.36 WIT, fase K2 sekitar pukul 9.51 WIT, fase M sekitar pukul 9.53 WIT, fase K3 sekitar pukul 9.54 WIT, dan fase K4 sekitar pukul 11.20 WIT.


Melihat dengan aman

Kacamata dengan filter matahari menjadi salah satu alat bantu yang aman yang dapat digunakan untuk melihat proses gerhana matahari total.

Namun sayangnya jumlah kacamata tersebut akan sangat terbatas.

Kepala Observatorium Bossca Mahasena Putra akan berupaya membuat kacamata dengan filter matahari sebanyak mungkin agar dapat digunakan masyarakat luas.

Filter matahari yang mampu mengurangi radiasi sinar ultraviolet dan inframerah hingga 100.000 kali lipat dan wajib menggunakan tipe Neutral Density 5.

Menurut Mahasena, filter ini belum diproduksi di Indonesia dan selama ini masih impor.

Karena itu, ia meminta masyarakat untuk teliti dalam membeli kacamata gerhana dengan filter matahari tersebut jangan sampai membeli barang palsu.

Thomas mengingatkan meski melakukan pengamatan dengan kacamata dengan filter matahari masyarakat dianjurkan untuk tidak lebih dari dua menit melihat ke arah matahari yang belum sempurna tertutup oleh bulan.

Pandangan harus dialihkan ke obyek lain beberapa saat sebelum dapat melakukan pengamatan lagi dengan menggunakan kacamata gerhana tersebut.

Cara aman lainnya untuk mengamati GMT dapat dilakukan melalui lobang jarum yang memproyeksikan proses gerhana matahari ke kertas putih yang di tempatkan di dalam kotak. Cara ini menjadi yang paling aman dan murah untuk melakukan pengamatan bagi masyarakat.