Jakarta (ANTARA Lampung) - Sineas Joshua Oppenheimer dan anonim bersama-sama meraih penghargaan Suardi Tasrif dari Aliansi Jurnalis Independen. Penghargaan yang diumumkan pada Malam Resepsi Hari Ulang Tahun ke-21 Aliansi Jurnalis Independen, Jumat (4/9) itu, diberikan karena dua film karya Oppenheimer dan anonim —"Jagal" dan "Senyap"— berhasil mengungkap fakta peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat 1965-1966 dari perspektif berbeda. Anugerah ini diberikan juga untuk mengengang peristiwa yang terjadi 50 tahun silam itu.
Kedua film karya Oppenheimer dan anonim merupakan pencarian kebenaran, sesuatu yang dibutuhkan untuk mencapai rekonsiliasi atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. "Tanpa pengungkapan fakta atas pembantaian 1965-1966, proses rekonsiliasi mustahil dilakukan. Pengalaman di banyak negara menunjukkan rekonsiliasi tidak akan pernah tercapai jika kebenaran tidak diungkap dan diakui," demikian pernyataan resmi Dewan Juri Suardi Tasrif Award 2015.
Suardi Tasrif, Bapak Kode Etik Jurnalistik Indonesia, semasa hidupnya tak kenal menyerah dalam memperjuangkan kemerdekaan pers. Suardi Tasrif gigih memperjuangkan kemerdekaan berpendapat, hak konstitusional yang selalu disebut-sebut sebagai hak fundamental yang menjadi jalan bagi dipenuhinya berbagai hak asasi manusia lainnya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengabadikan namanya sebagai penghargaan bagi perorangan maupun kelompok atau lembaga yang gigih memperjuangkan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berpendapat pada umumnya. Penghargaan Suardi Tasrif mulai diberikan pada 1998, dan Munir, koordinator Badan Pekerja Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menjadi peraih pertama Tasrif Award.
Penghargaan Pertama
Dewan Juri Suardi Tasrif Award 2015 yang beranggotakan Didik Supriyanto (Pemimpin Redaksi Merdeka.com), Arif Zulkifli (Pemimpin Redaksi Majalah Tempo), dan Donny BU (Co-founder ICT Watch) menyatakan Oppenheimer dan anonim meraih Suardi Tasrif Award karena mengungkapkan tragedi 1965--1966 dari perspektif pelaku, sesuatu yang tidak terbantahkan dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Selain itu, "Jagal" dan "Senyap" lahir melalui jalan yang tidak mudah—proses produksi yang penuh risiko dan memakan waktu yang tidak singkat.
Joshua Oppenheimer adalah sineas kelahiran Amerika Serikat yang bersama-sama anonim (sineas Indonesia yang dirahasiakan identitasnya demi alasan keamanan) memproduksi film tentang pembantaian 1965--1966. Produksi kedua film itu dilakukan pada 2004 hingga 2012.
Film "Jagal" yang menuturkan kesaksian para pelaku pembantaian 1965--1966 di Sumatera Utara dipublikasikan pada 2013, dengan versi berbahasa Inggris berjudul "The Act of Killing". Sementara "Senyap" yang menuturkan kesaksian para korban dipublikasikan pada 2014, dengan versi berbahasa Inggris yang berjudul "The Look of Silence". Sejak diluncurkan, "The Act of Killing" dan "The Look of Silence" meraih puluhan penghargaan dari berbagai negara.
Joshua Oppenheimer menyebut penghargaan Suardi Tasrif 2015 baginya dan anonim mereka persembahkan kepada para korban dan penyintas pelanggaran hak azasi manusia. Penghargaan itu juga mereka persembahkan bagi orang-orang yang terus menyuarakan kebenaran untuk memastikan pembantaian massal serta genosida tidak terulang.
"Penghargaan ini sangat berarti karena inilah pertama kalinya kami menerima penghargaan dari Indonesia. Kami ingin berbagi penghargaan ini kepada orang-orang yang telah bersama-sama memperjuangkan kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta kebebasan untuk mendapatkan informasi di Indonesia," kata Oppenheimer.
Udin Award 2015
Pada Malam Resepsi Hari Ulang Tahun ke-21 AJI, Dewan Juri Udin Award mengumumkan hasil penilaian para kandidat penerima Udin Award. Udin Award adalah penghargaan yang diberikan kepada jurnalis maupun kelompok jurnalis yang dalam menjalankan tugasnya berhadapan dengan ancaman atau menjadi korban kekerasan. Penghargaan itu telah diberikan AJI sejak 1997, dan peraih pertamanya adalah Tim Kijang Putih, sekelompok wartawan dari berbagai media yang bekerja di Yogyakarta yang gigih melakukan investigasi bersama untuk mengungkap kasus pembunuhan Udin.
Pada tahun ini, Dewan Juri Udin Award 2015 menerima pengajuan tiga kandidat peraih Udin Award. Dewan Juri Udin Award 2015 yang beranggotakan Ging Ginanjar (Desk Editor BBC Indonesia), Rusdi Marpaung (advokat Lembaga Bantuan Hukum Pers Jakarta), dan Wahyudi Djafar (Peneliti dan advokat Hak Asasi Manusia di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) memutuskan tidak ada kandidat yang meraih Udin Award 2015.
"Tidak adanya peraih Udin Award 2015 bukan indikasi bahwa jurnalis tidak lagi mengalami ancaman dan kekerasan. Akan tetapi, komunitas pers kian cenderung berkompromi dan tidak sepenuhnya melawan pembungkaman kemerdekaan pers. Kandidat kuat peraih Udin Award 2015 misalnya, tidak mempertahankan keputusan editorial yang sebetulnya sesuai kaidah jurnalistik, karena menghadapi tekanan," kata anggota Dewan Juri Udin Award 2015, Ging Ginanjar.
Dewan Juri Udin Award 2015 juga mencatat terjadi perubahan bentuk ancaman dan kekerasan atas kemerdekaan pers di Indonesia. Pada masa rezim militeristik Orde Baru kemerdekaan pers dikendalikan aparat negara yang memakai wewenang untuk melakukan bredel dan sensor. Di era Reformasi yang menjamin kebebasan pers dan demokrasi, ancaman dan kekerasan terhadap kemerdekaan pers dilakukan oleh beragam pelaku, termasuk pelaku-pelaku yang bukan aparat negara.
"Sisi lain dari demokrasi adalah terciptanya ruang bagi kelompok intoleran untuk menekan dan mengancam kemerdekaan pers. Ketika pers berkompromi terhadap ancaman itu, pers tidak bisa menjalan perannya untuk mengembangkan pendapat umum. Sebagai contoh, ketika pers tidak bebas mengembangkan pendapat umum terkait kekerasan ekstrem yang mengatas-namakan agama, pemerintah dan publik menjadi sangat terlambat memahami bahaya gerakan ISIS di Timur-Tengah. Hal itu menegaskan kebebasan pers penting bagi demokrasi, dan komunitas pers harus mengawalnya," demikian pernyataan resmi Dewan Juri Udin Award 2015.