Olimpiade Beijing 2022, di antara gengsi dan ambisi
Beijing (ANTARA) - China lebih beruntung daripada Jepang sebagai negara penyelenggara pesta olahraga paling bergengsi di jagat raya ini.
Kedua negara ekonomi terbesar di Asia itu sama-sama menyelenggarakan Olimpiade di tengah pandemi global COVID-19.
Bedanya, Olimpiade Musim Panas yang biasa dikenal dengan Summer Olympic yang digelar di Tokyo telah beberapa kali mengalami penundaan akibat pandemi sebelum akhirnya benar-benar terlaksana pada 23 Juli-8 Agustus 2021.
Sementara Olimpiade Musim Dingin (Winter Olympic) digelar di Beijing sesuai jadwal pada 4-20 Februari 2022 tanpa adanya penundaan, karena didukung oleh berbagai persiapan yang sangat matang.
Persamaannya, penyelenggaraan kedua ajang global empat tahunan tersebut menerapkan sistem tertutup untuk mencegah penularan COVID-19.
Meskipun implementasinya sama, kedua negara memberikan label yang berbeda. Tokyo Summer Olympic menamainya dengan "buble system", sedangkan Beijing Winter Olympic memperkenalkannya dengan istilah "close loop".
Intinya, siapa pun yang terlibat dalam ajang tersebut, baik atlet, pelatih, ofisial, wasit, perangkat pertandingan, panitia, dan sarana pendukung lainnya, harus berada dalam satu sistem kawasan tertutup agar benar-benar steril dari kontaminasi virus corona jenis baru yang dalam dua tahun terakhir ini telah bermutasi menjadi berbagai varian tersebut.
Menyelenggarakan ajang apa pun dalam skala besar tentu biayanya sangat mahal. Apalagi diselenggarakan di tengah situasi pandemi seperti saat ini. Biaya pun bertambah tak terkira, mulai pengadaan perangkat pendukung antipandemi hingga fasilitas lain kalau-kalau ada yang positif terinfeksi COVID-19.
Bisa jadi, mahalnya biaya yang dikeluarkan ini tidak sebanding dengan pemasukan, mengingat ajang tersebut tidak boleh mendatangkan penonton seperti olimpiade-olimpiade yang digelar sebelum pandemi. Padahal kehadiran penonton, terutama para suporter dari berbagai negara, menjadi mesin pencetak uang tersendiri bagi pihak tuan rumah.
Pada Olimpiade yang digelar selama pandemi, tidak semua orang bisa duduk di tribun stadion atau di pinggir lintasan perlombaan. Semua harus diseleksi secara ketat, terutama menyangkut riwayat kesehatan dan perjalanan seseorang sehingga nantinya patut menyandang sebagai "spectator" pilihan.
Memang, Indonesia tidak mengirimkan kontingen ke ajang olahraga multi-cabang di musim dingin tersebut. Namun bukan berarti tidak ada unsur Indonesia di sana. Setidaknya, penulis dan pucuk pimpinan Kedutaan Besar RI di Beijing menjadi sedikit di antara entitas Indonesia yang hadir secara langsung di ajang itu. Tentunya dengan persyaratan dan tahapan seleksi yang sangat ketat yang sudah berhasil dilalui.
Tokyo boleh saja tidak seberuntung Beijing. Akan tetapi, penyelenggaraan Winter Olympic tahun ini penuh dengan rintangan dan drama politik.
Pandemi hanya satu-satunya rintangan yang dihadapi oleh Tokyo dalam menyelenggarakan Olimpiade tahun lalu.
Namun Beijing terpaksa harus jatuh bangun membangun kepercayaan dunia internasional secara politis. selain dihadapkan pada masalah COVID-19 varian Omicron yang juga telah ditemukan di beberapa distrik hingga detik-detik akhir menjelang pembukaan Winter Olympic.
Isu-isu pelanggaraan hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di Daerah Otonomi Xinjiang kembali diangkat oleh dunia Barat sebagai dalih untuk memboikot secara diplomatik ajang yang upacara pembukaannya bakal dipimpin oleh Presiden China Xi Jinping di Beijing pada Jumat (4/2) itu.
Memang isu itu tidak ada keterkaitannya sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung, dengan Olimpiade. Akan tetapi, Beijing ingin terlihat sempurna di mata internasional di tengah ambisi China menjadi salah satu pemimpin dunia, apalagi rivalitasnya dengan Amerika Serikat kian sengit.
"Kami tidak pernah mengundang diplomat dan politikus untuk hadir."
"Xinjiang urusan dalam negeri kami, tak elok negara lain turut campur."
Narasi-narasi itulah yang terus dibangun oleh Kementerian Luar Negeri China untuk menangkis sinyalemen yang mengarah pada pendiskreditan kualitas penyelenggaraan Beijing Winter Olympic.
Belum lagi isu-isu lainnya, mulai penerapan protokol kesehatan yang super ketat, manipulasi hasil tes COVID-19 atlet asing, hingga kerusakan lingkungan sebagai dampak dari pembangunan arena pertandingan ski di kawasan pergunungan Yanqing di pinggiran Beijing.
Biaya Penyelenggaraan yang Mahal
Otoritas China mendaku biaya penyelenggaraan Winter Olympic 2022 sebesar 3,9 miliar dolar AS (sekitar Rp55,8 triliun). Namun banyak pihak meragukan klaim biaya resmi penyelenggaraan tersebut.
Persiapannya saja tidak main-main, memakan waktu enam tahun, seperti yang diutarakan oleh Presiden Xi saat menerima kunjungan resmi Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach di Beijing pada 25 Januari lalu.
Laman berita bisnis Insider dalam laporannya pada Minggu (30/1) lalu menyebutkan penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin di Beijing tersebut telah menelan biaya 38,5 miliar dolar AS (sekitar Rp551,2 triliun) atau 10 kali lipat dari label resmi yang dipatok oleh Kementerian Keuangan China.
Biaya-biaya tersebut tidak hanya mencakup pembangunan fasilitas pertandingan yang sangat megah di Beijing dan Zhangjiakou, Provinsi Hebei.
Ada juga pengadaan fasilitas pendukung, seperti pusat karantina terpadu antipandemi COVID-19, teknologi robot pelayan, kampung atlet tertutup, dan masih banyak lagi.
Selain itu, China juga mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membangun sarana dan prasarana transportasi massal menuju arena cabang olahraga yang dipertandingkan.
Ada pembangunan jalur kereta api cepat tercanggih dari generasi Fuxing Hao yang dilengkapi dengan studio multimedia berteknologi jaringan komunikasi generasi kelima (5G) yang bakal melintasi distrik-distrik tempat arena pertandingan atau perlombaan itu berada.
Bahkan di dalam kereta api berkecepatan maksimum 450 km/jam itu, awak media bisa melaporkan atau menyiarkan secara langsung 109 pertandingan atau perlombaan yang terbagi dalam tujuh cabang olahraga di atas es atau salju itu.
Berapa pun biayanya, yang pasti China sudah mengeluarkannya sejak enam tahun yang lalu, jauh sebelum wabah COVID-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, Provinsi Hubei.
Biaya yang sangat fantastis itu sepadan dengan ambisi China untuk mempertahankan gengsinya sebagai negara yang sedang mencari perhatian luas dari dunia internasional.
Ambisi itu adalah menjadikan Beijing sebagai satu-satunya kota di dunia yang berhasil menyelenggarakan dua multievent paling bergengsi di dunia, Olimpiade Musim Panas 2008 dan Olimpiade Musim Dingin 2022.
Kalau memang benar biaya yang dikeluarkan untuk Bejing Winter Olympic 2022 itu mencapai 38,5 miliar dolar AS, angka itu tidak lebih banyak daripada biaya penyelenggaraan Beijing Olympic 2008 yang secara resmi tercatat sebesar 42 miliar dolar AS.
Padahal 14 tahun yang lalu kondisi perekonomian China tidak seperti sekarang. Justru setelah Olimpiade 2008 itulah China mengalami berbagai kemajuan seperti sekarang.
Oleh sebab itu tidak mengherankan pula jika China rela mempertaruhkan penyelenggaraan Olimpiade 2022 ini demi tercapainya kemajuan-kemajuan berikutnya di berbagai bidang.
Kedua negara ekonomi terbesar di Asia itu sama-sama menyelenggarakan Olimpiade di tengah pandemi global COVID-19.
Bedanya, Olimpiade Musim Panas yang biasa dikenal dengan Summer Olympic yang digelar di Tokyo telah beberapa kali mengalami penundaan akibat pandemi sebelum akhirnya benar-benar terlaksana pada 23 Juli-8 Agustus 2021.
Sementara Olimpiade Musim Dingin (Winter Olympic) digelar di Beijing sesuai jadwal pada 4-20 Februari 2022 tanpa adanya penundaan, karena didukung oleh berbagai persiapan yang sangat matang.
Persamaannya, penyelenggaraan kedua ajang global empat tahunan tersebut menerapkan sistem tertutup untuk mencegah penularan COVID-19.
Meskipun implementasinya sama, kedua negara memberikan label yang berbeda. Tokyo Summer Olympic menamainya dengan "buble system", sedangkan Beijing Winter Olympic memperkenalkannya dengan istilah "close loop".
Intinya, siapa pun yang terlibat dalam ajang tersebut, baik atlet, pelatih, ofisial, wasit, perangkat pertandingan, panitia, dan sarana pendukung lainnya, harus berada dalam satu sistem kawasan tertutup agar benar-benar steril dari kontaminasi virus corona jenis baru yang dalam dua tahun terakhir ini telah bermutasi menjadi berbagai varian tersebut.
Menyelenggarakan ajang apa pun dalam skala besar tentu biayanya sangat mahal. Apalagi diselenggarakan di tengah situasi pandemi seperti saat ini. Biaya pun bertambah tak terkira, mulai pengadaan perangkat pendukung antipandemi hingga fasilitas lain kalau-kalau ada yang positif terinfeksi COVID-19.
Bisa jadi, mahalnya biaya yang dikeluarkan ini tidak sebanding dengan pemasukan, mengingat ajang tersebut tidak boleh mendatangkan penonton seperti olimpiade-olimpiade yang digelar sebelum pandemi. Padahal kehadiran penonton, terutama para suporter dari berbagai negara, menjadi mesin pencetak uang tersendiri bagi pihak tuan rumah.
Pada Olimpiade yang digelar selama pandemi, tidak semua orang bisa duduk di tribun stadion atau di pinggir lintasan perlombaan. Semua harus diseleksi secara ketat, terutama menyangkut riwayat kesehatan dan perjalanan seseorang sehingga nantinya patut menyandang sebagai "spectator" pilihan.
Memang, Indonesia tidak mengirimkan kontingen ke ajang olahraga multi-cabang di musim dingin tersebut. Namun bukan berarti tidak ada unsur Indonesia di sana. Setidaknya, penulis dan pucuk pimpinan Kedutaan Besar RI di Beijing menjadi sedikit di antara entitas Indonesia yang hadir secara langsung di ajang itu. Tentunya dengan persyaratan dan tahapan seleksi yang sangat ketat yang sudah berhasil dilalui.
Tokyo boleh saja tidak seberuntung Beijing. Akan tetapi, penyelenggaraan Winter Olympic tahun ini penuh dengan rintangan dan drama politik.
Pandemi hanya satu-satunya rintangan yang dihadapi oleh Tokyo dalam menyelenggarakan Olimpiade tahun lalu.
Namun Beijing terpaksa harus jatuh bangun membangun kepercayaan dunia internasional secara politis. selain dihadapkan pada masalah COVID-19 varian Omicron yang juga telah ditemukan di beberapa distrik hingga detik-detik akhir menjelang pembukaan Winter Olympic.
Isu-isu pelanggaraan hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di Daerah Otonomi Xinjiang kembali diangkat oleh dunia Barat sebagai dalih untuk memboikot secara diplomatik ajang yang upacara pembukaannya bakal dipimpin oleh Presiden China Xi Jinping di Beijing pada Jumat (4/2) itu.
Memang isu itu tidak ada keterkaitannya sama sekali, baik langsung maupun tidak langsung, dengan Olimpiade. Akan tetapi, Beijing ingin terlihat sempurna di mata internasional di tengah ambisi China menjadi salah satu pemimpin dunia, apalagi rivalitasnya dengan Amerika Serikat kian sengit.
"Kami tidak pernah mengundang diplomat dan politikus untuk hadir."
"Xinjiang urusan dalam negeri kami, tak elok negara lain turut campur."
Narasi-narasi itulah yang terus dibangun oleh Kementerian Luar Negeri China untuk menangkis sinyalemen yang mengarah pada pendiskreditan kualitas penyelenggaraan Beijing Winter Olympic.
Belum lagi isu-isu lainnya, mulai penerapan protokol kesehatan yang super ketat, manipulasi hasil tes COVID-19 atlet asing, hingga kerusakan lingkungan sebagai dampak dari pembangunan arena pertandingan ski di kawasan pergunungan Yanqing di pinggiran Beijing.
Biaya Penyelenggaraan yang Mahal
Otoritas China mendaku biaya penyelenggaraan Winter Olympic 2022 sebesar 3,9 miliar dolar AS (sekitar Rp55,8 triliun). Namun banyak pihak meragukan klaim biaya resmi penyelenggaraan tersebut.
Persiapannya saja tidak main-main, memakan waktu enam tahun, seperti yang diutarakan oleh Presiden Xi saat menerima kunjungan resmi Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach di Beijing pada 25 Januari lalu.
Laman berita bisnis Insider dalam laporannya pada Minggu (30/1) lalu menyebutkan penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin di Beijing tersebut telah menelan biaya 38,5 miliar dolar AS (sekitar Rp551,2 triliun) atau 10 kali lipat dari label resmi yang dipatok oleh Kementerian Keuangan China.
Biaya-biaya tersebut tidak hanya mencakup pembangunan fasilitas pertandingan yang sangat megah di Beijing dan Zhangjiakou, Provinsi Hebei.
Ada juga pengadaan fasilitas pendukung, seperti pusat karantina terpadu antipandemi COVID-19, teknologi robot pelayan, kampung atlet tertutup, dan masih banyak lagi.
Selain itu, China juga mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk membangun sarana dan prasarana transportasi massal menuju arena cabang olahraga yang dipertandingkan.
Ada pembangunan jalur kereta api cepat tercanggih dari generasi Fuxing Hao yang dilengkapi dengan studio multimedia berteknologi jaringan komunikasi generasi kelima (5G) yang bakal melintasi distrik-distrik tempat arena pertandingan atau perlombaan itu berada.
Bahkan di dalam kereta api berkecepatan maksimum 450 km/jam itu, awak media bisa melaporkan atau menyiarkan secara langsung 109 pertandingan atau perlombaan yang terbagi dalam tujuh cabang olahraga di atas es atau salju itu.
Berapa pun biayanya, yang pasti China sudah mengeluarkannya sejak enam tahun yang lalu, jauh sebelum wabah COVID-19 pertama kali ditemukan di Wuhan, Provinsi Hubei.
Biaya yang sangat fantastis itu sepadan dengan ambisi China untuk mempertahankan gengsinya sebagai negara yang sedang mencari perhatian luas dari dunia internasional.
Ambisi itu adalah menjadikan Beijing sebagai satu-satunya kota di dunia yang berhasil menyelenggarakan dua multievent paling bergengsi di dunia, Olimpiade Musim Panas 2008 dan Olimpiade Musim Dingin 2022.
Kalau memang benar biaya yang dikeluarkan untuk Bejing Winter Olympic 2022 itu mencapai 38,5 miliar dolar AS, angka itu tidak lebih banyak daripada biaya penyelenggaraan Beijing Olympic 2008 yang secara resmi tercatat sebesar 42 miliar dolar AS.
Padahal 14 tahun yang lalu kondisi perekonomian China tidak seperti sekarang. Justru setelah Olimpiade 2008 itulah China mengalami berbagai kemajuan seperti sekarang.
Oleh sebab itu tidak mengherankan pula jika China rela mempertaruhkan penyelenggaraan Olimpiade 2022 ini demi tercapainya kemajuan-kemajuan berikutnya di berbagai bidang.