Jakarta (ANTARA) - Bisakah Jakarta terlepas dari problem kemacetan lalu lintas? Pertanyaan itu selalu menjadi unek-unek warga Jakarta saat terjebak kepadatan lalu lintas yang sudah barang tentu membuang waktu, tenaga, dan pikiran.
Pukul 07.00 sampai denfan 09.00 WIB, misalnya, ruas Jalan Lenteng Agung sampai Pancoran di Jakarta Selatan padat oleh kendaraan roda empat dan roda dua dari arah selatan menuju pusat kota. Bahkan, saking padatnya, membuat kendaraan hanya mampu melaju dengan kecepatan di bawah 5 kilometer per jam.
Kadang kala akibat terlalu padat membuat kendaraan tidak lagi mampu bergerak, serta harus menunggu sekian menit agar dapat berjalan kembali.
Pemandangan serupa juga ditemui di berbagai ruas jalan di DKI Jakarta saat jam-jam sibuk masuk kantor dan pulang kantor, termasuk juga di tol lingkar dalam dan lingkar luar, serta tol Jakarta-Tangerang dan tol Jakarta-Cikarang ikut dipadati kendaraan.
Pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta memang tidak diam saja terkait dengan problem yang dihadapi Ibu Kota, bahkan persoalan kemacetan ini menjadi agenda seluruh instansi. Misalnya, peran Dinas Pertamanan Pemprov DKI Jakarta yang terus menambah tanaman dan pohon, termasuk di trotoar agar pejalan kaki makin betah.
Transportasi publik menjadi pilihan bagi warga DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Pembenahan terus dilakukan untuk memberikan kenyamanan kepada penumpang sehingga pada akhirnya mereka yang menggunakan kendaraan pribadi memilih memarkir di garasi rumah serta beralih menggunakan transportasi publik.
Jakarta sendiri berdasarkan studi laman daring peta navigasi tomtom.com berada di peringkat tujuh untuk kota-kota yang lalu lintasnya terpadat. Namun, peringkat ini sebenarnya sudah turun tiga strip dibandingkan tahun sebelumnya.
Bahkan, indeks kemacetan yang dikeluarkan lama ini juga menyebutkan sudah turun sebesar 8 persen pada tahun 2018. Diprediksi akan terus turun dengan hadirnya MRT. LRT, dan ruas-ruas baru Transjakarta.
Solusi TOD
Salah satu solusi yang juga diharapkan dapat mengurangi kemacetan di Ibu Kota melalui konsep transit oriented development (TOD) atau juga dikenal dengan hunian terintegrasi transportasi massal.
Konsep TOD sendiri di luar negeri sudah jauh berubah. Namun, pada intinya merupakan strategi pembangunan kota yang mengadopsi tata ruang dengan memaksimalkan penggunaan angkutan massal, seperti di Jakarta warga diminta menggunakan moda raya terpadu (MRT), lintas rel terpadu (LRT), kereta komuter, bus Transjakarta, bahkan sepeda.
Salah satu proyek TOD yang dikembangkan, yakni hunian bertingkat Mahata kerja sama Perum Perumnas dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang dikembangkan di Pondok Cina Depok, Tanjung Barat Jakarta Selatan, dan Serpong Tangerang Selatan.
Keinginan masyarakat untuk berubah menggunakan transportasi publik terlihat dari terjual habisnya unit apartemen subsidi Mahata, bahkan Perumnas terpaksa memasukkan peminat ke dalam daftar tunggu.
Tingginya animo masyarakat untuk tinggal di hunian berkonsep TOD ini tidak terlepas dari keinginan untuk tinggal di pusat kota agar lebih dekat dengan tempat berkerja, lebih efisien dari segi waktu, bahkan mampu menghemat biaya transportasi.
"Tower subsidi sudah terjual seluruhnya peminat lainnya kami masukan ke daftar tunggu, saat ini kami sedang fokus menjual pada unit komersial di dua tower berikut," kata Direktur Pemasaran Perum Perumnas Anna Kunti Pratiwi.
Menurut Anna, calon penghuni yang masuk dalam daftar tunggu masih ada peluang untuk masuk karena masih dilakukan seleksi agar penghuninya memang layak sesuai dengan program pemerintah.
Seleksinya sendiri akan dilaksanakan apabila progres pembangunan hunian tersebut telah mencapai 80 persen.
Wajar kalau masyarakat banyak berminat membeli hunian di Mahata, terutama untuk unit subsidi mengingat untuk mencari hunian di tengah kota dengan harga terjangkau saat ini sudah sangat sulit. Kalau ingin mencari rumah dengan terjangkau, pilihannya hanya di kota-kota satelit Jakarta, seperti kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Namun, dengan makin derasnya permintaan masyarakat dengan hunian tejangkau, pilihannya kini makin jauh. Kalau ke timur bukan lagi Bekasi, melainkan sudah sampai ke Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Ke barat bukan lagi Tangerang, melainkan Kabupaten Serang, Banten. Ke selatan bukan lagi Bogor, melainkan Cileungsi.
Belum Pasti
Namun menurut Anna konsep TOD di Jakarta saat ini masih embrio (dini) belum bisa mengatasi kemacetan lalu lintas yang terjadi di DKI Jakarta.
Mengurangi kepadatan sesuai dengan target Gubernur DKI Jakarta memang bisa. Akan tetapi, menurut dia, untuk mengatasi kemacetan sepenuhnya perlu kerja sama banyak pihak.
Konsep TOD di luar negeri sudah demikian kompleks sehingga masyarakat di sana benar-benar bisa beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik.
Misalnya, Mahata Tanjung Barat diharapkan untuk berpergian ke wilayah lain di DKI Jakarta masyarakat tinggal turun ke stasiun serta dapat menggunakan kereta komuter atau bisa menggunakan bus Transjakarta yang juga lewat di depan stasiun. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, di lokasi tersebut juga tersedia area komersial.
Tata ruangnya dibuat sedemikian rupa agar penghuni tidak perlu menggunakan kendaraan pribadi untuk menjalankan aktivitasnya karena semua sudah dapat dipenuhi di dalam kawasan, termasuk pendidikan bagi anak-anak.
Anna juga mengungkapkan peran pemerintah daerah agar konsep TOD ini dapat memecahkan persoalan lalu lintas juga sangat berpengaruh. Hal ini sebagian sudah di jalankan Pemprov DKI Jakarta, Pemkot Tangerang Selatan, dan Pemkot Bekasi.
Agar hunian di Mahata tidak menjadi ajang spekulasi, unit subsidi penghuni hanya dapat menjualnya kepada Perum Perumnas, kemudian bisa dibeli oleh masyarakat lain yang membutuhkan.
Untuk uni komersial memang diserahkan pada mekanisme pasar sepenuhnya. Hal ini karena Perum Perumnas membutuhkan subsidi silang untuk membangun hunian TOD tersebut.
"Kami mengalokasikan 20 persen dari total unit untuk subsidi, sedangkan lainnya merupakan komersial. Semuanya sudah diatur mekanismenya oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat," ujar Anna.
Alasan KAI Gandeng Perumnas
Pengembangan kawasan TOD atau hunian yang menyatu dengan moda transportasi di Jakarta merupakan salah satu program sinergi BUMN yang digulirkan Kementerian BUMN.
Sebagai BUMN yang bekerja di bawah perintah Kementerian BUMN, memang diprioritaskan untuk melakukan kerja sama dengan pengembang BUMN juga.
BUMN yang terlibat dalam proyek TOD, seperti Perumnas dan PT KAI, memang bergerak untuk membantu pemerintah mencapai targetnya. Karena dukungan dan penugasannya dari pemerintah, kerja samanya yang dengan BUMN juga sesuai dengan arahan Kementerian BUMN.
Pembangunan TOD juga dilakukan untuk ikut berpartisipasi menyediakan hunian dan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan ikut melancarkan program satu juta rumah dari pemerintah.
Dalam pengembangan TOD, diarahkan ke aspek pelayanan dan penyediaan fasilitas yang akan disediakan bisa terkoneksi langsung dengan hunian. Diharapkan ke depan TOD yang dikembangkan bisa memenuhi kebutuhan dan konsepnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, khususnya yang bekerja di Jakarta.
Saat ini, PT KAI tengah berfokus mengembangkan TOD dengan bermitra besama BUMN Karya, yaitu Perumnas, Adhikarya, PP Properti, Wijaya Karya, dan Hutama Karya.
Namun, pada dasarnya sinergi itu juga merupakan strategi PT KAI untuk mengoptimalkan aset, khususnya lahan. BUMN ini memiliki lahan seluas 319 juta meter persegi. Namun, baru sekitar 700.000 yang sudah dikembangkan, salah satunya dalam bentuk TOD dengan BUMN Karya dan Perum Perumnas.