UNDP Bantu Penanganan Lahan Kritis di Lampung

id UNDP Bantu Atasi Permasalahan Lahan Kritis di Lampung, Listrik, PLN, setrum, Gardu, Induk, Dahlan iskan

UNDP Bantu Penanganan Lahan Kritis di Lampung

Areal lereng bukit di salah satu kawasan lindung Kabupaten Lampung Barat yang sebagian gundul dan gersang, sehingga terancam longsor saat terjadi hujan. (FOTO: ANTARA LAMPUNG/Budisantoso Budiman)

Pembelajaran dari proyek ini akan menjadi masukan dan alat negosiasi dalam penyusunan anggaran dan strategi implementasi program pemerintah yang lebih efektif."
Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Kementerian Kehutanan menyebutkan laju kerusakan (deforestasi) dan degradasi hutan di Indonesia setiap tahun berkisar 1,08 juta ha (tahun 2000-2005).

Akibatnya, luas hutan yang mencapai 130 juta ha akan terus menurun fungsinya akibat berbagai perlakuan, tekanan populasi dan berbagai kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat dan menekan keberadaan dan kelestarian kawasan hutan maupun ekosistem dan keanekaragaman hayati di dalamnya.

Konflik kawasan hutan yang terjadi antara masyarakat dengan satwa liar di dalamnya maupun antarwarga dengan pemerintah semakin meningkat di seluruh Indonesia, termasuk di Provinsi Lampung.

Kawasan hutan yang masih tersisa semakin terancam akibat perambahan dan pendudukan secara liar maupun praktik pembalakan (illegal logging).

Padahal hutan di Indonesia bukan saja sangat penting bagi kehidupan warga bangsa ini, tetapi juga sebagai "paru-parunya dunia".

Dunia yang sedang menghadapi efek pemanasan global (global warming) akan kian meranggas dan merana, ketika hutan dan areal lindung yang masih tersisa di Indonesia maupun sebagian lain di dunia tidak lagi dapat dilindungi dan mengalami kehancuran.

Sejumlah lembaga internasional termasuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yayasan dunia dan beberapa negara besar tergerak untuk mengatasi global warming itu.

United Nations Development Programme (UNDP)--salah satu lembaga dunia itu--tergerak untuk memberikan kontribusi dalam upaya mengatasi permasalahan lahan kritis di Indonesia, antara lain di Provinsi Lampung dan sejumlah daerah lainnya.

Menurut Tomi Soetjipto, Head of Communication Unit/Spokesperson UNDP Indonesia, saat dihubungi dari Bandarlampung,

UNDP melihat lahan kritis yang ada di Indonesia sebagai permasalahan yang harus diatasi secara berkesinambungan dan strategis.

Kecenderungan jumlah lahan kritis di Indonesia yang semakin meningkat terus, kata dia, bila tidak ditanggulangi secara strategis, dapat memperlambat proses pembangunan di Indonesia.

Padahal saat ini menurut data dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) terdapat sekitar 27 juta hektare lahan kritis di Indonesia, sehingga berdasarkan kondisi itu UNDP melihat Program/Proyek Penguatan Pengelolaan Hutan dan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat (Strengthening Community-Based Forest and Watershed Management/SCBFWM) mempunyai misi yang sangat relevan dan strategis.

Program SCBFWM dijalankan Kementerian Kehutanan didukung oleh UNDP Indonesia dan Global Environment Facility (GEF) sebagai upaya nyata untuk menanggulangi degradasi lahan dan hutan di Indonesia itu.

National Project Manager Program SCBFWM Syaiful Rahman menegaskan bahwa program ini merupakan langkah terobosan untuk mendukung program pemerintah untuk menanggulangi degradasi lahan dan hutan.

Diantaranya Program Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan, Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan, Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis, Perbaikan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Jasa Lingkungan, serta Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pengurangan Emisi Gas Karbon (REDD).

Program SCBFWM di Indonesia dilaksanakan pada enam daerah, yaitu di Sumatera Utara BP-DAS Asahan Berumun, Lampung BP-DAS Way Seputih Way Sekampung, Jawa Tengah BP-DAS Serayu Opak Progo, NTB BP-DAS Dodokan Moyosari, NTT BP-DAS Benain Noelmina, dan Sulawesi Tengah BP-DAS Palu Poso.

Menurut Syaiful, dengan Program SCBFWM itu diharapkan enam DAS kritis di Indonesia yang kondisi ekologi dan sosial ekonominya beragam mengalami perbaikan pengelolaan.

Lembaga-lembaga pemerintah juga diharapkan dapat memberikan dukungan jelas dan terukur bagi pengembangan prakarsa-prakarsa SCBFWM itu, katanya lagi.

"Koordinasi di antara dan antara tingkatan pemerintahan yang berbeda diharapkan pula dapat menghasilkan kebijakan dan program yang konsisten yang mendukung penguatan pengelolaan hutan dan DAS berbasiskan masyarakat," kata dia pula.

Menurut juru bicara UNDP Indonesia, Tomi Soetjipto, untuk pemilihan daerah yang menjadi sasaran Program SCBFWM yang didukung UNDP itu, antara lain dengan melihat keadaan alam, ekonomi sosial, masyarakat, dan juga kondisi tanah di daerah tersebut.

"Selain itu, hal yang terpenting juga adalah dukungan dari pemerintah lokal setempat," katanya.

                              Lampung Barat Layak
Tomi menyatakan, dalam kaitan itu, pihaknya melihat Kabupaten Lampung Barat di Provinsi Lampung yang menjadi sasaran program tersebut, dinilai layak menjadi daerah sasaran program ini karena telah mempunyai peraturan daerah yang sangat mendukung kegiatan ini, seperti SK Bupati Lampung Barat Nomor 552 Tahun 2004 yang mengatur pembagian keuntungan masyarakat kehutanan.

Tomi juga menjelaskan setelah program ini berakhir tahun 2014, UNDP berharap proyek/program ini dapat menghasilkan model-model pengelolaan hutan dan DAS bersama masyarakat yang terbaik dan dapat direplikasi oleh pemerintah pada DAS-DAS kritis lainnya yang mempunyai karakteristik yang mirip dengan lokasi proyek ini.

Lebih lanjut, kata dia pula, model ini dapat diintegrasikan ke dalam rencana pengelolaan hutan dan DAS Kementerian Kehutanan untuk periode rencana strategis berikutnya tahun 2015-2019.

"Pembelajaran dari proyek ini akan menjadi masukan dan alat negosiasi dalam penyusunan anggaran dan strategi implementasi program pemerintah yang lebih efektif," katanya lagi.

Menurut dia, sejauh ini pelaksanaan proyek ini "on-track" baik dari sisi pencapaian output tahunan dan penyerapan anggarannya.

Kapasitas kelompok masyarakat dan staf BP-DAS di lokasi proyek meningkat melalui beberapa pelatihan dan bimbingan teknis yang dilakukan oleh proyek terkait dengan aspek-aspek pengelolaan hutan dan DAS bersama masyarakat, ujar dia pula.

Tomi menyebutkan, tantangan yang dihadapi oleh proyek dan Kemenhut berikutnya adalah bagaimana keberlanjutan dari hasil proyek ini bisa dijaga dan direplikasikan.

Dia menilai, dari sisi perencanaan pengelolaan, ke-enam lokasi proyek di Indonesia itu sudah menyusun Rencana Pengelolaan DAS Terpadu, sehingga implementasi dari rencana aksi, koordinasi dan monitoring-evaluasi serta komitmen pembiayaan dari pemerintah baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal akan menjadi faktor kunci keberhasilannya.

Ia menegaskan bahwa Proyek SCBFWM ini didesain untuk membantu keberhasilan program pemerintah dan mengefektifkan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi dan memperbaiki lahan dan DAS kritis di Indonesia.

Kemampuan yang dimiliki saat ini adalah merehabilitasi 500.000 ha per tahun, sementara total lahan kritis tahun 2013 masih mencapai sekitar 27 juta ha, katanya.

Oleh karena itu, ujar Tomi lagi, perlu dicari strategi atau terobosan untuk menjamin bahwa implementasi program rehabilitasi lahan kritis dan pengelolaan DAS dapat efektif dan efisien dengan sumber daya yang dimiliki saat ini.

"Peningkatan kapasitas di tingkat individu melalui pelatihan-pelatihan, tingkat kelembagaan melalui penguatan koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan yang berbeda dan pada tingkat sistem melalui review kebijakan menjadi target dari proyek ini, sehingga pemerintah dapat lebih efektif mengelola sumber daya yang dimiliki dan lingkungannya," ujar Tomi lagi.

Regional Fasilitator Proyek SCBFWM Lampung (BP-DAS Way Seputih Way Sekampung DAS Way Besai di Lampung Barat), Dr Zainal Abidin MES menyebutkan bahwa sasaran program ini pada Sub-DAS Besai di Kabupaten Lampung Barat dengan luas 97.672 ha merupakan bagian dari 938.829,45 ha DAS Tulangbawang.

Sedangkan wilayah tangkapan air (catchment area) Way Besai mempunyai luas 44.720 ha. Sub-DAS ini berada di wilayah paling hulu dari DAS Tulangbawang yang juga terdapat indfrastruktur vital Pembangkit Listrik Tenaga Uap Way Besai berkapasitas 2x45 MW, meliputi areal lima kecamatan (Sumberjaya, Waytenong, Gedungsurian, Air Hitam, dan Kebun Tebu) berpenduduk sekitar 93.302 jiwa (tahun 2010).

Hutan lindung di Sub-DAS Besai mencapai 13.625 ha, dan areal kritis mencapai 16.411 ha, agak kritis 21.891 ha, potensial kritis 3.435 ha, dan sangat kritis 2.983 ha.

Menurut dia, Sub-DAS Way Besai di Lampung Barat merupakan daerah tangkapan air waduk Besai dan hulu DAS Tulangbawang yang harus diselamatkan dari erosi dan degradasi lahan akibat sistem usaha tani yang intensif.

"Kawasan lindung yang ada juga mengalami degradasi karena perambahan hutan dan konversi hutan menjadi lahan pertanian," ujar dosen Fakultas Pertanian Universitas Lampung (Unila) itu pula.

Karena itu, katanya, berbagai upaya dijalankan untuk mendukung penguatan pengelolaan hutan dan DAS berbasiskan masyarakat, seperti pengembangan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH), produksi hasil hutan bukan kayu, seperti gula aren, madu, dan lainnya.

Sejumlah kelompok dampingan di lima kecamatan Kabupaten Lampung Barat itu, juga mengembangkan usaha pembibitan dan penanaman tanaman multipurpose tress species (MPTS) seperti pala, durian, pinang dan beberapa lainnya, juga pengembangan konservasi tanah dengan didukung ternak kambing.

"Kami juga mengembangkan perencanaan partisipasi pengelolaan hutan kemasyarakatan, pembuatan embung desa, pelatihan pembuatan benang sutera, dan ekoturisme arung jeram di Way Besai, termasuk pembibitan yang telah mencapai sekitar 200.000 bibit tanaman tersebar pada 15 kelompok masyarakat di sini dan dilakukan secara swadaya," ujar Zainal Abidin pula.

Menurut Darsono (42), Ketua Kelompok Hutan Kemasyarakatan (HKm) Hijau Kembali di kawasan lindung Register 42 Bukit Rigis Kabupaten Lampung Barat, setelah Program SCBFWM dan beberapa program pendampingan kelompok itu berjalan tingkat kerusakan kawasan lindung setempat menjadi berkurang.

"Pepohonan untuk penghijauan dan tanaman produktif telah kami tanami, untuk perlindungan ekosistem dan menjamin ketersediaan sumber air sekaligus memberikan peluang peningkatan pendapatan dari hasil pepohonan MPTS itu bagi anggota kelompok yang menanamnya," ujar dia.

Sejumlah warga Gunung Terang Kecamatan Air Hitam di Lampung Barat membenarkan kini sumber air untuk keperluan sehari-hari warga setempat semakin terjamin ketersediaannya, padahal sebelumnya saat kemarau selalu mengalami kekeringan.

Beberapa kelompok binaan program Kemenhut di Lampung Barat itu juga terus berkembang dan semakin produktif mengelola usaha bersama, sembari terus meningkatkan kepedulian pada kelestarian lingkungan sekitarnya agar tidak lagi dibiarkan meranggas kering kerontang.

Mereka pun berharap slogan alam lestari dan terlindungi dengan masyarakat yang sejahtera, dapat benar-benar diwujudkan bersama.