Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis anak dari RSAB Harapan Kita dr. Dwinanda Aidina, Sp.A(K) mengatakan bahwa transmisi atau penularan HIV ke anak melalui cairan ASI diperkirakan memiliki risiko lebih tinggi dibanding cara penularan melalui kehamilan dan persalinan.
“Justru kalau dari data, (penularan melalui) ASI ini paling tinggi (risikonya). Kalau dari data, dari kehamilan itu sekitar 5-10 persen, dari melahirkan 10-15 persen. Kalau dari menyusui itu lebih tinggi, 15-20 persen,” kata Dwinanda dalam bincang virtual Radio Kesehatan Kementerian Kesehatan yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Dia menambahkan risiko penularan semakin meningkat menjadi 30-40 persen apabila ibu dengan virus perusak sistem kekebalan tubuh atau HIV tidak menjalani pengobatan ARV selama kehamilan, ditambah melahirkan melalui pervaginam, serta rutin memberikan ASI kepada bayi terutama dalam jangka panjang.
Mengingat hal tersebut, Dwinanda mengatakan ibu dengan HIV disarankan untuk tidak memberikan ASI dan sebagai gantinya dapat memberikan PASI (pengganti air susu ibu) dalam bentuk susu formula. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya zero risk transmission atau nol infeksi baru.
Dalam kasus tertentu, pemberian ASI masih dibolehkan tetapi harus memenuhi syarat seperti ibu harus dalam kondisi virus yang sudah tidak terdeteksi dalam darah dan yakin bisa memberikan ASI secara eksklusif dan tidak diperkenankan mix feeding.
Meski begitu, dia mengingatkan meskipun virus HIV pada ibu sudah tak terdeteksi dalam darah, kondisi tersebut juga tidak menjamin bahwa virus HIV tidak ada di dalam ASI.
Oleh sebab itu, ibu dengan HIV diminta untuk mempertimbangkannya dengan baik. Pertimbangkan pula risiko transmisi seandainya terjadi perlukaan saat menyusui dan mengeluarkan darah.
“Memang, sih, ASI yang terbaik, ya. Tapi kita juga melihat pada masing-masing individu. Lihat risikonya, baik buruknya, atau benefit and risk-nya antara ASI dan susu formula. Jadi harus didiskusikan lagi sama ibunya,” ujar Dwianda.
Dia memastikan bahwa pemberian PASI atau susu formula tidak akan mengganggu tumbuh kembang anak selama pemberiannya disesuaikan dengan indikasi, perkembangan, dan berat badan pada anak.
Meski begitu, terdapat sejumlah kekurangan pada PASI karena tidak seratus persen sama seperti ASI seperti anak kemungkinan tidak memiliki antibodi dari ibunya.
“Kekurangannya mungkin di susu formula agak harus benar-benar menyiapkannya dengan steril karena harus diseduh air panas, botolnya harus steril, itu mungkin yang agak membuat repot. Jadi harus diperhatikan juga penyiapannya,” imbuh dia.
Untuk meningkatkan upaya pencegahan transmisi dari ibu dengan HIV, Dwianda menambahkan bahwa bayi yang baru lahir akan diberikan obat antiretroviral (ARV) jenis zidovudin atau kombinasi dengan ARV lain seperti nevirapine apabila ibu tetap memilih untuk memberikan ASI.
Dia menjelaskan obat pencegahan tersebut diberikan selama 6 minggu, kemudian setelahnya diganti dengan pemberian profilaksis kotrimoksazol. Dalam perjalanan pemberian obat, bayi harus terus dievaluasi tumbuh-kembangnya serta tetap dilakukan skrining atau tes HIV.
“Dalam perkembangannya si bayi juga harus diskrining. Biasanya akan dicek, kita sebutnya early infant diagnosis, pada usia bayi 6 minggu dan usia 4 atau 6 bulan. Biasanya dua kali dites, apakah si bayi dalam perjalanannya mengalami infeksi HIV. Sambil kita pantau juga gejalanya, tumbuh kembangnya dan sebagainya,” kata Dwianda.
“Justru kalau dari data, (penularan melalui) ASI ini paling tinggi (risikonya). Kalau dari data, dari kehamilan itu sekitar 5-10 persen, dari melahirkan 10-15 persen. Kalau dari menyusui itu lebih tinggi, 15-20 persen,” kata Dwinanda dalam bincang virtual Radio Kesehatan Kementerian Kesehatan yang diikuti di Jakarta, Jumat.
Dia menambahkan risiko penularan semakin meningkat menjadi 30-40 persen apabila ibu dengan virus perusak sistem kekebalan tubuh atau HIV tidak menjalani pengobatan ARV selama kehamilan, ditambah melahirkan melalui pervaginam, serta rutin memberikan ASI kepada bayi terutama dalam jangka panjang.
Mengingat hal tersebut, Dwinanda mengatakan ibu dengan HIV disarankan untuk tidak memberikan ASI dan sebagai gantinya dapat memberikan PASI (pengganti air susu ibu) dalam bentuk susu formula. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya zero risk transmission atau nol infeksi baru.
Dalam kasus tertentu, pemberian ASI masih dibolehkan tetapi harus memenuhi syarat seperti ibu harus dalam kondisi virus yang sudah tidak terdeteksi dalam darah dan yakin bisa memberikan ASI secara eksklusif dan tidak diperkenankan mix feeding.
Meski begitu, dia mengingatkan meskipun virus HIV pada ibu sudah tak terdeteksi dalam darah, kondisi tersebut juga tidak menjamin bahwa virus HIV tidak ada di dalam ASI.
Oleh sebab itu, ibu dengan HIV diminta untuk mempertimbangkannya dengan baik. Pertimbangkan pula risiko transmisi seandainya terjadi perlukaan saat menyusui dan mengeluarkan darah.
“Memang, sih, ASI yang terbaik, ya. Tapi kita juga melihat pada masing-masing individu. Lihat risikonya, baik buruknya, atau benefit and risk-nya antara ASI dan susu formula. Jadi harus didiskusikan lagi sama ibunya,” ujar Dwianda.
Dia memastikan bahwa pemberian PASI atau susu formula tidak akan mengganggu tumbuh kembang anak selama pemberiannya disesuaikan dengan indikasi, perkembangan, dan berat badan pada anak.
Meski begitu, terdapat sejumlah kekurangan pada PASI karena tidak seratus persen sama seperti ASI seperti anak kemungkinan tidak memiliki antibodi dari ibunya.
“Kekurangannya mungkin di susu formula agak harus benar-benar menyiapkannya dengan steril karena harus diseduh air panas, botolnya harus steril, itu mungkin yang agak membuat repot. Jadi harus diperhatikan juga penyiapannya,” imbuh dia.
Untuk meningkatkan upaya pencegahan transmisi dari ibu dengan HIV, Dwianda menambahkan bahwa bayi yang baru lahir akan diberikan obat antiretroviral (ARV) jenis zidovudin atau kombinasi dengan ARV lain seperti nevirapine apabila ibu tetap memilih untuk memberikan ASI.
Dia menjelaskan obat pencegahan tersebut diberikan selama 6 minggu, kemudian setelahnya diganti dengan pemberian profilaksis kotrimoksazol. Dalam perjalanan pemberian obat, bayi harus terus dievaluasi tumbuh-kembangnya serta tetap dilakukan skrining atau tes HIV.
“Dalam perkembangannya si bayi juga harus diskrining. Biasanya akan dicek, kita sebutnya early infant diagnosis, pada usia bayi 6 minggu dan usia 4 atau 6 bulan. Biasanya dua kali dites, apakah si bayi dalam perjalanannya mengalami infeksi HIV. Sambil kita pantau juga gejalanya, tumbuh kembangnya dan sebagainya,” kata Dwianda.