Pakar hukum Unila sebut harus ada UU khusus tentang "cyber laundering"

id Lmapung,Bandarlampung,Guru besar unila,Prof Eddy Rifai

Pakar hukum Unila sebut harus ada UU khusus tentang "cyber laundering"

Pakar Hukum Universitas Lampung (Unila), Prof Dr Eddy Rifai, SH MH, (kanan) saat dikukuhkan sebagai guru besar oleh Rektor Unila Prof Lusmeilia Afriani, di Bandarlampung, Selasa. (ANTARA/HO-Humas Unila)

Tak kalah penting juga, membangun digital identification system yang mutakhir, serta pemberdayaan teknologi pada setiap instansi yang berkaitan dengan pencucian uang disertai dengan tenaga ahli yang berkompeten, kata dia
Bandarlampung (ANTARA) - Pakar Hukum Universitas Lampung (Unila), Prof Dr Eddy Rifai, SH, MH, menyebutkan saat ini harus ada undang-undang (UU) tentang Pencucian Uang Secara Digital (cyber laundering) mengingat hal tersebut kerap terjadi melalui dunia maya.

"Saya mengusulkan pembuatan UU atau peraturan khusus tentang cyber laundering selain UU TPPU dan UU ITE yang sudah ada, karena di era digital saat ini, tindak kejahatan pencucian uang telah beralih ke dunia maya," kata Eddy Rifai di Bandarlampung, Selasa.

Ia mengatakan  dengan adanya UU khusus cyber laundering, maka penanggulangan dan penindakan hukum bagi pelaku kejahatan pencucian uang secara digital bisa dilakukan dengan lebih cepat.

Selain itu, guna mengantisipasi kasus pencucian uang secara digital, Prof. Eddy pun mengusulkan agar ada pengoptimalan kedudukan PPATK, mengharmonisasikan mekanisme pelaporan dan pengawasan, serta memperkuat kerja sama internasional.

"Tak kalah penting juga, membangun digital identification system yang mutakhir, serta pemberdayaan teknologi pada setiap instansi yang berkaitan dengan pencucian uang disertai dengan tenaga ahli yang berkompeten," kata dia.

Menurutnya, pada era digital, pelaku kejahatan pencucian uang semakin rumit dan sulit dilacak, sebab mereka melakukannya melalui dunia maya dan menggunakan teknologi digital.

"Tentunya hal ini berbeda dengan kasus pencucian uang secara konvensional yang biasanya dengan menempatkan atau menukarkan uang ke pakaian, logam mulia, kuda, properti dan barang terlihat lainnya sehingga pelaku mudah dilacak dan ditangkap oleh aparat," kata dia.

Ia mengatakan bahwa berdasarkan penelitiannya di beberapa kasus cyber laundering, negara mengalami kerugian yang cukup besar akan tetapi tidak bisa mengatasinya.

"Contoh saja kasus korupsi PT Asabri dengan kerugian negara Rp22,78 triliun, sekitar Rp10 triliun masuk ke saham yang dibeli menggunakan bitcoin," ujarnya.

Tentunya, lanjut dia, kejahatan pencucian uang melalui bitcoin sangat sulit dilacak, karena model pengoperasian cryptocurrency didesain tanpa otoritas pusat atau bank sentral melainkan dengan konsep blockchain.

"Hal ini membuat orang dapat melakukan transaksi anonim, cepat, dan bisa dari negara mana saja, tanpa harus melalui institusi keuangan seperti perbankan," kata dia.