Bandung (ANTARA) - Gubernur Jawa Barat M Ridwan Kamil mengusulkan agar luas lahan untuk Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur mencontoh luas Washington DC, Amerika Serikat yang hanya mencapai 17.000 hektare atau setara dengan luas Kota Bandung.
"Dengan luas IKN yang luar biasa tersebut, saya khawatir masyarakat yang hendak mengakses Istana Negara mirip dengan memasuki kawasan industri," kata Ridwan Kamil dalam siaran persnya, Kamis.
Usulan tersebut disampaikan Ridwan Kamil saat menjadi narasumber dalam acara Paradigma Kota dan Arsitektur di Masa Depan, Arsitektur sebagai Artefak Peradaban dalam Perspektif Istana yang digelar Ikatan Arsitek Indonesia Nasional, yang digelar secara daring.
Ridwan Kamil juga menekankan soal pentingnya menjadi tempat yang layak untuk ditinggali terkait IKN.
Baca juga: KSP sebutkan pemindahan IKN jadikan Indonesia tak lagi Jawa sentris
Dari sudut pandangnya sebagai arsitek dan urban planner, kata Ridwan Kamil, urusan IKN bukan semata-mata memindahkan dan membangun infrastruktur dan IKN adalah membangun masa depan.
“Membangun masa depan harus punya identitas. Sejarah arsitektur modern kurang lebih mereduksi banyak sekali kearifan-kearifan lokal yang tentunya bisa kita carikan definisi-definisi barunya di IKN,” katanya.
Menurut dia lahan IKN dalam rencana pengembangannya nanti mencapai 250.000 hektare dan jika IKN didesain sebagai kota yang nyaman ditinggali maka fungsi livability harus dimiliki.
Menurutnya paradigma membangun dalam skala besar masih terjadi dalam perencanaan IKN.
Baca juga: Gubernur: Jadi Ibu Kota Negara, masyarakat Kaltim tidak terganggu pendatang
"Saya kira boros lahan menjadi sebuah kebiasaan di kita, kalau membangun skala besar itu cenderung suka luas-luasan,” katanya.
Oleh karena itu pihaknya mengingatkan bahwa dalam mendesain ruang sebuah kota ataupun IKN maka pembangunan harus berprinsip seperti membuat baju, tidak sempit dan longgar.
Kegagalan itu terjadi di Brazilia, itu terjadi di ibu Myanmar di mana-mana, pembangunan fisik berusaha menaklukkan tanah seluas-luasnya, lupa bahwa manusia itu punya batas-batas psikologis, batas-batas motoris yang harus disusun, katanya.
"Oleh karena itu sebenarnya saya tidak suka kampus-kampus di Indonesia yang terlalu jauh-jauh bangunannya. Jadi antar-bangunan harus naik mobil turun mobil dan sebagainya," kata dia.
Baca juga: Gubernur: Lokasi pembangunan IKN tanah negara, tidak ada jual beli
Ridwan Kamil menambahkan, lama-lama karena kebiasaan tidak menciptakan kota dengan ukuran skala yang benar, maka menjadi terbiasa menerima budaya bahwa menikmati arsitektur harus naik mobil.
Gubernur Jabar itu mencontohkan pula soal Dubai yang sukses menjadi kota berarsitektur modern, indah dan inovatif namun tidak nyaman untuk menjalani kehidupan.
Ia menuturkan Dubai menjadi contoh bagaimana penataan ruangnya tidak bisa menyandingkan yang kaya dan miskin justru melahirkan ketidakadilan ruang.
Karena itu dia berharap IKN belajar dari kegagalan-kegagalan di negara lain.
"Dan yang saya khawatirkan di tahap berikutnya dari Ibu Kota Negara ini adalah nanti hanya kumpulan katalog arsitektur, kumpulan bangunan-bangunan yang dibahas estetikanya, teori-teori bangunannya, tapi tidak membentuk sebuah peradaban kota," katanya.
Pihaknya mendorong Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk berperan aktif dalam proses IKN tersebut. Bahkan dirinya berharap IAI bisa menjadi konsultan Presiden Joko Widodo agar proses pembangunan IKN tidak keluar dari prinsip-prinsip membangun peradaban kota lewat rumus desain, density dan diversity.
"Jadi ini adalah momen bersejarah banget nggak pernah mungkin akan terulang ya ibukota dua kali, nggak akan terulang lagi," kata dia.
Gubernur Jabar usul luas IKN mencontoh Washington DC
Kegagalan itu terjadi di Brazilia, itu terjadi di ibu Myanmar di mana-mana, pembangunan fisik berusaha menaklukkan tanah seluas-luasnya, lupa bahwa manusia itu punya batas-batas psikologis, batas-batas motoris yang harus disusun, katanya