Menko Perekonomian minta BEI dan Kemenkeu siapkan mekanisme perdagangan karbon

id perdagangan karbon,menko airlangga,airlangga hartarto,bei,kemenkeu,carbon trading

Menko Perekonomian minta BEI dan Kemenkeu siapkan mekanisme perdagangan karbon

Tangkapan layar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat memberikan paparan dalam CEONetworking 2021 di Jakarta, Selasa. (ANTARA/Citro Atmoko)

Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama dengan Kementerian Keuangan serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mempersiapkan mekanisme perdagangan karbon atau carbon trading agar dapat dilakukan di dalam negeri.

"Khusus di climate change, tentu kami mengapresiasi yang dilakukan oleh BEI dalam bentuk peluncuran green bond, green sukuk, dan green investment. Mungkin perlu ada tambahan di mana bursa efek perlu mempersiapkan terkait dengan carbon trading, bersama dengan Kemenkeu dan KLHK," ujar Menko Airlangga Hartarto dalam gelaran CEONetworking 2021 di Jakarta, Selasa.

Mengutip lama ICDX Group, perdagangan karbon atau carbon trading merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), di mana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan.

Kredit karbon (carbon credit) adalah representasi dari hak bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Kredit karbon yang dijual umumnya berasal dari proyek-proyek hijau. Lembaga verifikasi seperti Verra, akan menghitung kemampuan penyerapan karbon oleh lahan hutan pada proyek tertentu dan menerbitkan kredit karbon yang berbentuk sertifikat. Kredit karbon juga dapat berasal dari perusahaan yang menghasilkan emisi di bawah ambang batas yang ditetapkan pada industrinya.

Pemerintah setempat biasanya akan mengisukan kredit tersebut hingga batasan tertentu. Jika perusahaan menghasilkan emisi kurang dari kredit yang dimiliki, maka perusahaan tersebut bisa menjual kredit tersebut di pasar karbon.

Namun jika emisi yang dihasilkan melebihi kredit yang dimiliki, maka perusahaan harus membayar denda atau membeli kredit di pasar karbon. Dengan demikian, negara-negara di dunia dapat mengontrol jumlah emisi karbon yang dihasilkan dan mengurangi dampak gas rumah kaca secara signifikan.

"Karena kita adalah salah satu negara yang punya kekuatan terkait carbon capture di sektor pertambangan dan energi. Beberapa pilot project disiapkan. Kita produksi juga renewable energy salah satunya dari geothermal, yang otomatis akan memperoleh CBM dalam bentuk CO2 pricing. Namun kita ketahui bahwa semua yang ada sampai saat sekarang kalau istilah di pasar modal over the counter, tidak terbuka secara transparan, dan masing-masing antara perusahaan di Indonesia dengan perusahaan global," kata Menko Airlangga.

Apabila itu semua masuk dalam mekanisme bursa, lanjut Menko Airlangga, akan menjadi hal yang positif. Ia berharap dalam Presidensi G20 tahun ini mulai 1 Desember 2021 hingga Oktober 2022 carbon trading tersebut bisa diluncurkan.

"Ini jadi PR tersendiri untuk timnya Pak Inarno dan tentu pemerintah melalui Kementerian Keuangan dan KLHK, dan tentunya OJK, perlu mempersiapkan regulatory framework untuk perdagangan ini. Dan kita ingin ini bisa dilakukan di Indonesia, bukan di negara lain," ujar Menko Airlangga.