Naypyidaw (ANTARA) - Sedikitnya 510 warga sipil tewas dalam dua bulan unjuk rasa untuk melawan kudeta militer di Myanmar, menurut kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).
Dari 14 orang yang terbunuh di Myanmar pada Senin (29/3), sedikitnya delapan orang berada di distrik Dagon Selatan, Yangon, di mana pasukan keamanan menembakkan senjata kaliber yang jauh lebih berat dari biasanya untuk membersihkan barikade kantong pasir, kata para saksi mata.
Televisi pemerintah mengatakan pasukan keamanan menggunakan "senjata anti huru hara" untuk membubarkan kerumunan "teroris yang kejam" yang menghancurkan trotoar dan menyebabkan satu orang terluka.
Seorang warga Dagon Selatan pada Selasa mengatakan lebih banyak tembakan terdengar di daerah itu semalam, dan meningkatkan kekhawatiran akan lebih banyak korban.
Dalam taktik baru, pengunjuk rasa berusaha untuk meningkatkan kampanye pembangkangan sipil pada Selasa dengan meminta penduduk membuang sampah ke jalan-jalan di persimpangan jalan utama.
"Aksi mogok sampah ini adalah aksi menentang junta," demikian tertulis pada sebuah poster di media sosial.
Salah satu kelompok utama di balik gerakan unjuk rasa, Komite Pemogokan Umum Nasional, telah meminta pasukan etnis minoritas untuk membantu mereka yang melawan "penindasan yang tidak adil" dari militer.
Sebagai tanda bahwa seruan itu mungkin mendapatkan lebih banyak daya tarik, tiga kelompok merilis surat terbuka pada Selasa untuk meminta militer berhenti membunuh pengunjuk rasa damai dan menyelesaikan masalah politik.
Kelompok yang terdiri dari Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, Tentara Arakan, dan Tentara Pembebasan Nasional Taang memperingatkan jika militer tidak menanggapi seruan itu, maka mereka "akan bekerja sama dengan semua bangsa yang bergabung dengan revolusi Myanmar dalam hal pertahanan diri."
Pemberontak dari berbagai kelompok etnis telah berperang dengan pemerintah pusat selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar. Meskipun banyak kelompok telah setuju untuk gencatan senjata, pertempuran telah berkobar dalam beberapa hari terakhir antara tentara dan pasukan di timur dan utara.
Militer Myanmar selama beberapa dekade membenarkan cengkeramannya pada kekuasaan dengan mengatakan bahwa militer adalah satu-satunya institusi yang mampu menjaga persatuan nasional.
Militer merebut kekuasaan dengan menuduh bahwa pemilu November tahun lalu, yang dimenangkan oleh partai pemenang Nobel Aung San Suu Kyi, curang.
Sumber: Reuters
Berita Terkait
Ini cara Wuling usir rasa khawatir konsumen miliki mobil listrik
Selasa, 8 Oktober 2024 20:29 Wib
KemenPPPA dampingi sejumlah anak terlibat unjuk rasa
Senin, 2 September 2024 21:56 Wib
Kapolresta Bandarlampung: 900 personel diterjunkan saat unjuk rasa
Jumat, 23 Agustus 2024 22:11 Wib
Kapolresta Bandarlampung sebut aksi tolak revisi UU pilkada berjalan damai
Jumat, 23 Agustus 2024 20:11 Wib
Pengunjuk rasa protes dukungan AS untuk Israel di konvensi Demokrat
Selasa, 20 Agustus 2024 12:39 Wib
Wali Kota minta guru tanamkan rasa tanggung jawab siswa
Senin, 15 Juli 2024 16:03 Wib
Pemkot Bandarlampung jelaskan langkah antisipasi banjir pada demonstran
Jumat, 8 Maret 2024 15:35 Wib
Shin Tae-yong ungkap rasa bahagia setelah timnas lolos ke 16 besar
Jumat, 26 Januari 2024 4:21 Wib