3.200 warga Pantai Gading melarikan diri ke luar negeri karena pilpres ricuh

id konflik di Pantai Gading,UNHCR Pantai Gading,sengketa pilpres di Pantai Gading,Presiden Pantai Gading

3.200 warga Pantai Gading melarikan diri ke luar negeri karena pilpres ricuh

Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara (REUTERS/Thierry Gouegnon)

Jakarta (ANTARA) - Sekitar 3.200 warga Pantai Gading melarikan diri dari negaranya dan mengungsi di Liberia, Ghana, dan Togo, akibat bentrok antara aparat dan masyarakat yang menolak hasil pemilihan presiden pada 31 Oktober 2020, demikian laporan PBB saat jumpa pers.

"Per 2 November 2020, lebih dari 3.200 warga Pantai Gading mengungsi di Liberia, Ghana, dan Togo. Sebagian besar pengungsi merupakan perempuan dan anak-anak dari wilayah barat dan barat daya Pantai Gading. Beberapa dari mereka merupakan eks pengungsi yang baru saja dipulangkan, tetapi terpaksa kembali melarikan diri," kata Juru Bicara UNHCR, Boris Cheshirkov, saat jumpa pers, Selasa (3/11), yang informasinya diterima di Jakarta, Rabu.

Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara kembali memenangkan pemilihan presiden bulan lalu dan ia pun menjabat untuk tiga periode berturut-turut. Walaupun demikian, kalangan oposisi menolak kemenangan Ouattara dan memboikot hasil pilpres. Penolakan itu juga diiringi oleh  unjuk rasa dari ribuan warga Pantai Gading yang akhirnya berujung ricuh.



Bentrok antara aparat dan massa aksi mengakibatkan setidaknya belasan orang tewas dan banyak warga luka-luka, kata Cheshirkov saat membacakan laporan terbaru UNHCR terkait situasi di Pantai Gading.

Meskipun ada unjuk rasa, Komisi Pemilihan Umum Pantai Gading pada Senin (2/11) tetap mengumumkan kemenangan Ouatttara pada pemilihan presiden tahun ini dengan perolehan suara 94,27 persen.

"Terkait dengan situasi di lapangan, kami menerima sejumlah laporan belasan orang tewas dan banyak warga luka-luka, dan insiden itu mengingatkan banyak orang terhadap peristiwa kerusuhan pada 2010-2011 yang menyebabkan 3.000 orang tewas, lebih dari 300.000 orang melarikan diri dari wilayah konflik, dan sekitar satu juta warga terusir paksa dari rumahnya," terang Cheshirkov.

Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi belum lama ini, kerusuhan saat 2010-2011 juga terjadi akibat sengketa hasil pemilihan presiden.

"Sejauh ini, kami masih memeriksa data para pengungsi dan ke mana tujuan mereka. Oleh karena itu, kami meningkatkan kapasitas pendataan dan pelacakan dengan mengerahkan lebih banyak staf ke lapangan," kata juru bicara UNHCR.

Dalam kesempatan itu, Cheshirkov atas nama UNHCR dan PBB menyambut baik serta mengucapkan terima kasih kepada tiga negara tetangga Pantai Gading, yaitu Ghana, Togo, dan Liberia yang bersedia membuka perbatasan dan menerima para pengungsi, meskipun di tengah situasi pandemi COVID-19.

UNHCR berkomitmen meningkatkan koordinasi dan memperkuat kerja sama dengan negara-negara tujuan para pengungsi untuk menyusun rencana lebih lanjut, termasuk jika nantinya krisis politik di Pantai Gading kian memburuk, jelas Cheshirkov.

Terkait kerusuhan di Pantai Gading, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres telah mendesak seluruh pihak untuk berhenti memicu kekerasan, menyebarkan berita bohong, dan menggunakan ujaran kebencian. Guterres juga mendorong pihak-pihak yang berkonflik agar berdialog demi menyelesaikan sengketa hasil pilpres.