Wayan, Ketut, Putu, Gede tapi Muslim (Bali)
Denpasar (ANTARA) - "Di sini, kami tetap menamai anak-anak kami dengan Wayan, Ketut, Putu, Made, Komang, dan sebagainya, tapi mereka bersekolah di madrasah atau pesantren," ucap warga Muslim Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali, Abdul Manaf.
Jadi, ada sebutan di depan nama Muslim mereka yang sesuai tradisi Bali, yakni Wayan, Putu, atau Gede (anak pertama); Made, Kadek, atau Nengah (anak kedua); dan Nyoman, Komang, atau Koming (anak ketiga). Contohnya, Wayan Wahab, atau Made Mustofa.
Tokoh Muslim Pegayaman yang pernah menjadi santri di Pesantren An-Nuqoyyah, Guluk-Guluk, Prenduan, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur itu mengaku Muslim Pagayaman hingga kini masih melestarikan budaya Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
"Dalam acara-acara keagamaan, seperti Burdah, Rotibul, Rudat, Ijiban Lombok (Diba'), Barzanji, atau acara keagamaan lainnya, umat Islam di sini juga melestarikan tradisi berpakaian khas Bali, bukan busana Muslim, tapi udeng, kamen, dan lainnya, meski dipakai dalam acara keagamaan Islam," tuturnya.
Sebenarnya, Muslim Pegayaman yang tinggal di desa yang diapit hunian umat Hindu, baik jalan masuk ke desa maupun saat mau keluar dari desa itu, saat ini memiliki jumlah lebih banyak daripada umat Hindu yang tinggal di kawasan hutan gatep (hutan gayam) itu.
"Ada 80-an persen dari 1.652 KK warga Desa Pegayaman itu yang memeluk Islam, namun kami sudah terbiasa hidup bersama dengan saling menghormati, karena itu budaya Hindu tetap dijaga, tapi substansi-nya sudah ajaran Islam," kilahnya, dalam perbincangan di rumahnya, 5 Juli 2020.
Kebiasaan lain adalah tradisi saling antar makanan kepada tetangga di Desa Pegayaman yang disebut sebagai "Desa Muslim" tertua di Bali (1600-an Masehi/masa Kerajaan Buleleng) itu.
Saat hari raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu pun turut memberikan makanan kepada tetangganya yang Muslim, tentunya makanan halal. Sebaliknya, saat Lebaran dan Hari Raya Qurban, Muslim pun melakukan tradisi "ngejot" (memberi makanan kepada tetangga sekitar rumah) atau "ater-ater" (Bahasa Jawa).
"Kami memasukkan nilai-nilai Islam dalam 'ngejot' yakni sedekah. Jadi, kami menghormati budaya Hindu, tapi kami mengemasnya dengan amalan Islam, seperti berdoa, bersedekah, dan sebagainya," ujarnya.
Selain mengakomodasi budaya Hindu yang diberi nilai-nilai Islam, Muslim Pegayaman juga sangat menghormati kegiatan ritual umat Hindu, seperti Hari Suci Nyepi dengan tidak keluar rumah. Bahkan, menjelang Nyepi pun, umat Islam tidak segan membantu tetangganya saat membuat dan mengarak "ogoh-ogoh".
"Tidak hanya itu, masjid/mushalla yang biasanya mengumandangkan azan akan tetap ada azan, tapi tanpa pengeras suara saat Nyepi, sehingga suasana Nyepi tetap berlangsung hening sesuai ritualitas Hindu. Muslim di sini juga menahan diri untuk tidak keluar rumah saat ritual Nyepi, meski tetap beraktivitas," tegasnya.
Dalam masalah pendidikan, Muslim Pegayaman juga cukup memberi perhatian pendidikan dengan nuansa keagamaan bagi anak-anak mereka, mulai dari tingkat ibtidaiyah (MI) hingga tsanawiyah (SMP) dan aliyah (SMA), meski ada percakapan dengan Bahasa Bali.
"Tidak sedikit pula, anak-anak sini yang mondok keluar Bali, seperti ke Lombok atau ke Jawa Timur. Saya sendiri mondok ke Madura. Mondok itu sangat penting untuk kehidupan bermasyarakat, karena pesantren mengajarkan ilmu dan karakter," katanya.
Menurut warga Banjar/Dusun Timur, Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng itu, karakter dari pesantren itu pula yang membuatnya bisa menjalankan agama dengan tetap menghargai umat yang beragama lain.
"Sikap toleran itu justru membuat pemeluk agama lain juga menaruh hormat kepada kami. Di sini memang mayoritas Muslim, tapi tidak ada masalah dengan umat Hindu. Istilah para ulama adalah Islam Rahmatan lil Alamin," urainya, lagi.
Toleransi yang diungkapkan Abdul Manaf di Desa Pegayaman, Buleleng itu juga ada di "kawasan utara" lainnya, seperti di Desa Tegallingga, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng; atau di Desa Keramas, Kabupaten Gianyar; dan di Desa Candikuning, Bedugul atau Banjar Taman Mekar Sari, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.
"Di Banjar Taman Mekar Sari, warganya bukan hanya Hindu, tapi ada juga Islam, Katolik dan Protestan, tapi setiap hari raya pada masing-masing agama itu, warga selalu silaturahmi (berkunjung) dan 'ngejot' (berbagi makanan). Itu rutin, seperti Ramadhan saat menjelang hari raya Idul Fitri 2020 yang lalu, tetangga saya yang Islam juga datang ke rumah (silaturahim) dan membagikan makanan kepada keluarga saya (ngejot)," kata warga setempat, Nyoman Hendra.
Hubungan kekeluargaan
Tidak hanya ada di "utara" Bali (Kabupaten Buleleng/Gianyar/Tabanan), namun toleransi serupa juga ada di "desa Muslim" lain yang menyebar di "timur" Pulau Dewata, yakni Desa Sindu, Kecamatan Sidemen (Kabupaten Karangasem); atau di "barat" Bali yakni Desa Lolo'an Timur, Negara (Kabupaten Jembrana), serta di "tengah" Bali (Kota Denpasar).
Yang menarik, hubungan Muslim-Hindu di Bali tidak sedikit pula yang direkatkan oleh hubungan kekeluargaan, seperti Muslim Lombok dengan umat Hindu di Karangasem, Gianyar, dan Buleleng. Atau, hubungan kekerabatan Muslim Bugis dengan umat Hindu di Jembrana, Tabanan, dan Kota Denpasar.
Hubungan kekerabatan itu bermula dari sikap saling membantu dan saling menghormati hingga dirajut dalam pernikahan, atau pemberian tanah dari pihak kerajaan (Hindu) kepada tokoh Muslim.
Misalnya, Masjid Raya Baiturrahman di 'Kampung Jawa' Wanasari, Kota Denpasar itu menempati tanah wakaf dari pemberian pihak Kerajaan Pemecutan, sedangkan masyarakat Madura yang menempati kawasan masjid raya itu juga merupakan keturunan "prajurit" pengawal putri kerajaan, Siti Khotijah.
Di Sindu, Sidemen, Kabupaten Karangasem, yang mayoritas Hindu atau umat Islam hanya 100 KK juga ada jalinan kekerabatan antara Muslim-Hindu. "Awalnya, kakek saya juga beragama Hindu dan akhirnya menjadi generasi pertama yang masuk Islam hingga ayah saya menjadi tokoh Islam di Sindu menjadi kepercayaan Tuan Guru Nuruddin," tutur tokoh Muslim Sindu, H Sak Abdullah.
Namun, tokoh Islam yang pertama kali datang ke Karangasem bukanlah Tuan Guru Nuruddin, melainkan Raden Djimaran yang datang pada masa Kerajaan Karangasem. Data yang ada menyebutkan, Islam masuk ke Pulau Dewata berkat sentuhan dakwah dari tokoh-tokoh Muslim dari Lombok dan Bugis yang berdakwah ala Walisongo (Jawa) hingga akhirnya di Bali muncul istilah "Wali Pitu".
"Raden Djimaran itu datang ke Bali sebagai pengobat atau dukun yang mengobati orang sakit," kata tokoh Muslim Sindu yang kelahiran Desa Candikuning, Bedugul, Kabupaten Tabanan itu mengenang masa kecil saat mengikuti ayahnya mendakwahkan Islam di kawasan 'kebun raya' Bedugul itu.
Menurut tokoh Muslim Candikuning yang kelahiran 70-an tahun lalu itu, Raden Djimaran sebagai tokoh Muslim yang datang ke Karangasem itu tidak mendakwahkan Islam dengan ucapan, melainkan dengan perbuatan yakni membantu mengobati masyarakat Sindu yang sakit.
"Kalau ada orang sakit, beliau bertanya apakah punya ayam atau buah-buahan, kalau ada ayam, maka dimasak dan masakannya dibagikan ke tetangga, kemudian berdoa bersama-sama setelah makan untuk mendoakan kesembuhan orang yang sakit. Alhamdulillah, sembuh," ujarnya dalam perbincangan dengan didampingi keponakannya, Hj Suni'ah, pada 21 Juni 2020.
Atas kebaikan Raden Djimaran itulah, maka Pedande (pimpinan agama umat Hindu) memberi tempat/tanah di Sindu, Sidemen, kemudian saat Gunung Agung yang berjarak 12 kilometer dari Sindu itu meletus pada tahun 1963, maka masyarakat Sindu yang berjarak 12 kilometer dari kaki Gunung Agung pun mengungsi dan kini tinggal 100 KK yang Muslim di Sindu.
"Saat mengungsi itulah ada yang berhenti di Desa Keramas, Kabupaten Gianyar, yang akhirnya berkembang menjadi 'desa Muslim' di Gianyar, tapi kakek dan ayah saya (Lasyim) bersama Tuan Guru Alimun mengungsi sampai ke Candikuning (Bedugul). Jadi, Gunung Agung meletus itu justru mendorong Islam berkembang, tapi faktor utamanya ya hubungan baik Muslim-Hindu," ungkapnya.
Baik di Desa Sindu (Karangasem), Desa Keramas (Gianyar), maupun Desa Candikuning (Tabanan), hubungan toleran antar Hindu-Muslim pun berkembang dari generasi ke generasi, bahkan "hubungan" Muslim di Sindu dan Candikuning pun cukup erat, karena Tuan Guru Nuruddin (Sindu) dan Tuan Guru Alimun (Candikuning) selalu berkomunikasi.
"Kalau ada Ngaben di griya (rumah) Pedande (pemuka agama Hindu), maka Muslim pun ikut menghormati dan membantu. Sebaliknya, kalau ada tokoh Muslim yang meninggal pun, maka Pedande dan umat Hindu pun ikut mengantar hingga ke pemakaman, seperti saat pemakaman Tuan Guru Nuruddin," paparnya.
Bahkan, tiga tahun lalu (2017), ada Pedande yang meninggal dunia dan berwasiat agar keluarganya mengundang Rudat (kesenian Muslim) sebelum prosesi Ngaben. Acara itu berlangsung meriah dengan disaksikan umat Hindu-Muslim setempat.
Namun, ia mengaku hubungan Muslim-Hindu di Candikuning, Bedugul (Tabanan) tidak seharmonis di Sindu, karena adanya "gangguan" dari segelintir kelompok Muslim yang "merusak" hubungan Muslim-Hindu yang selama bertahun-tahun cukup rukun, saling menghormati, dan saling bersilaturahim. Segelintir kelompok Muslim itu merusaknya dengan "politik" (khilafah).
"Politik (ideologis) ya begitulah, berpotensi memecah dan membelah masyarakat, apalagi politik yang dikemas dengan agama, tapi kami bersyukur masih mampu menjaga keharmonisan Hindu-Muslim di sini, karena komunikasi yang cukup baik antartokoh Muslim-Hindu dan hubungan baik antartokoh Muslim dari 'lintas desa' di Candikuning, Sindu, Pegayaman, Tegallingga, Keramas, dan lainnya," ucap sesepuh Muslim di Sindu (Karangasem) dan Candikuning (Tabanan) itu.
Jadi, ada sebutan di depan nama Muslim mereka yang sesuai tradisi Bali, yakni Wayan, Putu, atau Gede (anak pertama); Made, Kadek, atau Nengah (anak kedua); dan Nyoman, Komang, atau Koming (anak ketiga). Contohnya, Wayan Wahab, atau Made Mustofa.
Tokoh Muslim Pegayaman yang pernah menjadi santri di Pesantren An-Nuqoyyah, Guluk-Guluk, Prenduan, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur itu mengaku Muslim Pagayaman hingga kini masih melestarikan budaya Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
"Dalam acara-acara keagamaan, seperti Burdah, Rotibul, Rudat, Ijiban Lombok (Diba'), Barzanji, atau acara keagamaan lainnya, umat Islam di sini juga melestarikan tradisi berpakaian khas Bali, bukan busana Muslim, tapi udeng, kamen, dan lainnya, meski dipakai dalam acara keagamaan Islam," tuturnya.
Sebenarnya, Muslim Pegayaman yang tinggal di desa yang diapit hunian umat Hindu, baik jalan masuk ke desa maupun saat mau keluar dari desa itu, saat ini memiliki jumlah lebih banyak daripada umat Hindu yang tinggal di kawasan hutan gatep (hutan gayam) itu.
"Ada 80-an persen dari 1.652 KK warga Desa Pegayaman itu yang memeluk Islam, namun kami sudah terbiasa hidup bersama dengan saling menghormati, karena itu budaya Hindu tetap dijaga, tapi substansi-nya sudah ajaran Islam," kilahnya, dalam perbincangan di rumahnya, 5 Juli 2020.
Kebiasaan lain adalah tradisi saling antar makanan kepada tetangga di Desa Pegayaman yang disebut sebagai "Desa Muslim" tertua di Bali (1600-an Masehi/masa Kerajaan Buleleng) itu.
Saat hari raya Galungan dan Kuningan, umat Hindu pun turut memberikan makanan kepada tetangganya yang Muslim, tentunya makanan halal. Sebaliknya, saat Lebaran dan Hari Raya Qurban, Muslim pun melakukan tradisi "ngejot" (memberi makanan kepada tetangga sekitar rumah) atau "ater-ater" (Bahasa Jawa).
"Kami memasukkan nilai-nilai Islam dalam 'ngejot' yakni sedekah. Jadi, kami menghormati budaya Hindu, tapi kami mengemasnya dengan amalan Islam, seperti berdoa, bersedekah, dan sebagainya," ujarnya.
Selain mengakomodasi budaya Hindu yang diberi nilai-nilai Islam, Muslim Pegayaman juga sangat menghormati kegiatan ritual umat Hindu, seperti Hari Suci Nyepi dengan tidak keluar rumah. Bahkan, menjelang Nyepi pun, umat Islam tidak segan membantu tetangganya saat membuat dan mengarak "ogoh-ogoh".
"Tidak hanya itu, masjid/mushalla yang biasanya mengumandangkan azan akan tetap ada azan, tapi tanpa pengeras suara saat Nyepi, sehingga suasana Nyepi tetap berlangsung hening sesuai ritualitas Hindu. Muslim di sini juga menahan diri untuk tidak keluar rumah saat ritual Nyepi, meski tetap beraktivitas," tegasnya.
Dalam masalah pendidikan, Muslim Pegayaman juga cukup memberi perhatian pendidikan dengan nuansa keagamaan bagi anak-anak mereka, mulai dari tingkat ibtidaiyah (MI) hingga tsanawiyah (SMP) dan aliyah (SMA), meski ada percakapan dengan Bahasa Bali.
"Tidak sedikit pula, anak-anak sini yang mondok keluar Bali, seperti ke Lombok atau ke Jawa Timur. Saya sendiri mondok ke Madura. Mondok itu sangat penting untuk kehidupan bermasyarakat, karena pesantren mengajarkan ilmu dan karakter," katanya.
Menurut warga Banjar/Dusun Timur, Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng itu, karakter dari pesantren itu pula yang membuatnya bisa menjalankan agama dengan tetap menghargai umat yang beragama lain.
"Sikap toleran itu justru membuat pemeluk agama lain juga menaruh hormat kepada kami. Di sini memang mayoritas Muslim, tapi tidak ada masalah dengan umat Hindu. Istilah para ulama adalah Islam Rahmatan lil Alamin," urainya, lagi.
Toleransi yang diungkapkan Abdul Manaf di Desa Pegayaman, Buleleng itu juga ada di "kawasan utara" lainnya, seperti di Desa Tegallingga, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng; atau di Desa Keramas, Kabupaten Gianyar; dan di Desa Candikuning, Bedugul atau Banjar Taman Mekar Sari, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.
"Di Banjar Taman Mekar Sari, warganya bukan hanya Hindu, tapi ada juga Islam, Katolik dan Protestan, tapi setiap hari raya pada masing-masing agama itu, warga selalu silaturahmi (berkunjung) dan 'ngejot' (berbagi makanan). Itu rutin, seperti Ramadhan saat menjelang hari raya Idul Fitri 2020 yang lalu, tetangga saya yang Islam juga datang ke rumah (silaturahim) dan membagikan makanan kepada keluarga saya (ngejot)," kata warga setempat, Nyoman Hendra.
Hubungan kekeluargaan
Tidak hanya ada di "utara" Bali (Kabupaten Buleleng/Gianyar/Tabanan), namun toleransi serupa juga ada di "desa Muslim" lain yang menyebar di "timur" Pulau Dewata, yakni Desa Sindu, Kecamatan Sidemen (Kabupaten Karangasem); atau di "barat" Bali yakni Desa Lolo'an Timur, Negara (Kabupaten Jembrana), serta di "tengah" Bali (Kota Denpasar).
Yang menarik, hubungan Muslim-Hindu di Bali tidak sedikit pula yang direkatkan oleh hubungan kekeluargaan, seperti Muslim Lombok dengan umat Hindu di Karangasem, Gianyar, dan Buleleng. Atau, hubungan kekerabatan Muslim Bugis dengan umat Hindu di Jembrana, Tabanan, dan Kota Denpasar.
Hubungan kekerabatan itu bermula dari sikap saling membantu dan saling menghormati hingga dirajut dalam pernikahan, atau pemberian tanah dari pihak kerajaan (Hindu) kepada tokoh Muslim.
Misalnya, Masjid Raya Baiturrahman di 'Kampung Jawa' Wanasari, Kota Denpasar itu menempati tanah wakaf dari pemberian pihak Kerajaan Pemecutan, sedangkan masyarakat Madura yang menempati kawasan masjid raya itu juga merupakan keturunan "prajurit" pengawal putri kerajaan, Siti Khotijah.
Di Sindu, Sidemen, Kabupaten Karangasem, yang mayoritas Hindu atau umat Islam hanya 100 KK juga ada jalinan kekerabatan antara Muslim-Hindu. "Awalnya, kakek saya juga beragama Hindu dan akhirnya menjadi generasi pertama yang masuk Islam hingga ayah saya menjadi tokoh Islam di Sindu menjadi kepercayaan Tuan Guru Nuruddin," tutur tokoh Muslim Sindu, H Sak Abdullah.
Namun, tokoh Islam yang pertama kali datang ke Karangasem bukanlah Tuan Guru Nuruddin, melainkan Raden Djimaran yang datang pada masa Kerajaan Karangasem. Data yang ada menyebutkan, Islam masuk ke Pulau Dewata berkat sentuhan dakwah dari tokoh-tokoh Muslim dari Lombok dan Bugis yang berdakwah ala Walisongo (Jawa) hingga akhirnya di Bali muncul istilah "Wali Pitu".
"Raden Djimaran itu datang ke Bali sebagai pengobat atau dukun yang mengobati orang sakit," kata tokoh Muslim Sindu yang kelahiran Desa Candikuning, Bedugul, Kabupaten Tabanan itu mengenang masa kecil saat mengikuti ayahnya mendakwahkan Islam di kawasan 'kebun raya' Bedugul itu.
Menurut tokoh Muslim Candikuning yang kelahiran 70-an tahun lalu itu, Raden Djimaran sebagai tokoh Muslim yang datang ke Karangasem itu tidak mendakwahkan Islam dengan ucapan, melainkan dengan perbuatan yakni membantu mengobati masyarakat Sindu yang sakit.
"Kalau ada orang sakit, beliau bertanya apakah punya ayam atau buah-buahan, kalau ada ayam, maka dimasak dan masakannya dibagikan ke tetangga, kemudian berdoa bersama-sama setelah makan untuk mendoakan kesembuhan orang yang sakit. Alhamdulillah, sembuh," ujarnya dalam perbincangan dengan didampingi keponakannya, Hj Suni'ah, pada 21 Juni 2020.
Atas kebaikan Raden Djimaran itulah, maka Pedande (pimpinan agama umat Hindu) memberi tempat/tanah di Sindu, Sidemen, kemudian saat Gunung Agung yang berjarak 12 kilometer dari Sindu itu meletus pada tahun 1963, maka masyarakat Sindu yang berjarak 12 kilometer dari kaki Gunung Agung pun mengungsi dan kini tinggal 100 KK yang Muslim di Sindu.
"Saat mengungsi itulah ada yang berhenti di Desa Keramas, Kabupaten Gianyar, yang akhirnya berkembang menjadi 'desa Muslim' di Gianyar, tapi kakek dan ayah saya (Lasyim) bersama Tuan Guru Alimun mengungsi sampai ke Candikuning (Bedugul). Jadi, Gunung Agung meletus itu justru mendorong Islam berkembang, tapi faktor utamanya ya hubungan baik Muslim-Hindu," ungkapnya.
Baik di Desa Sindu (Karangasem), Desa Keramas (Gianyar), maupun Desa Candikuning (Tabanan), hubungan toleran antar Hindu-Muslim pun berkembang dari generasi ke generasi, bahkan "hubungan" Muslim di Sindu dan Candikuning pun cukup erat, karena Tuan Guru Nuruddin (Sindu) dan Tuan Guru Alimun (Candikuning) selalu berkomunikasi.
"Kalau ada Ngaben di griya (rumah) Pedande (pemuka agama Hindu), maka Muslim pun ikut menghormati dan membantu. Sebaliknya, kalau ada tokoh Muslim yang meninggal pun, maka Pedande dan umat Hindu pun ikut mengantar hingga ke pemakaman, seperti saat pemakaman Tuan Guru Nuruddin," paparnya.
Bahkan, tiga tahun lalu (2017), ada Pedande yang meninggal dunia dan berwasiat agar keluarganya mengundang Rudat (kesenian Muslim) sebelum prosesi Ngaben. Acara itu berlangsung meriah dengan disaksikan umat Hindu-Muslim setempat.
Namun, ia mengaku hubungan Muslim-Hindu di Candikuning, Bedugul (Tabanan) tidak seharmonis di Sindu, karena adanya "gangguan" dari segelintir kelompok Muslim yang "merusak" hubungan Muslim-Hindu yang selama bertahun-tahun cukup rukun, saling menghormati, dan saling bersilaturahim. Segelintir kelompok Muslim itu merusaknya dengan "politik" (khilafah).
"Politik (ideologis) ya begitulah, berpotensi memecah dan membelah masyarakat, apalagi politik yang dikemas dengan agama, tapi kami bersyukur masih mampu menjaga keharmonisan Hindu-Muslim di sini, karena komunikasi yang cukup baik antartokoh Muslim-Hindu dan hubungan baik antartokoh Muslim dari 'lintas desa' di Candikuning, Sindu, Pegayaman, Tegallingga, Keramas, dan lainnya," ucap sesepuh Muslim di Sindu (Karangasem) dan Candikuning (Tabanan) itu.