BPH Migas targetkan 73 titik BBM satu harga

id bbm satu harga, pertamina,kepala bph mmigas,fansurullah asa

BPH Migas targetkan 73 titik BBM satu harga

Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa. (ANTARA/Aprillio Akbar)

Tahun ini kami usulkan awalnya cuma 54 lokasi, tetapi setelah bertemu Pertamina dan swasta, dinaikkan menjadi 73 titik, kata Fansurullah
Jakarta (Antara) - Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) menargetkan pada 2018 Program Bahan Bakar Minyak (BBM) Satu Harga akan disalurkan pada 73 titik di seluruh Indonesia.

Saat menemui Ketua MPR RI Zulkifili Hasan, di Kompleks Parlemen DPR MPR Jakarta, Senin (19/2), Kepala BPH Migas Fansurullah Asa mengatakan sebanyak 73 titik lokasi penyaluran BBM Satu Harga tersebut diprioritaskan di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) dan Indonesia timur di Papua dan Papua Barat.

"Tahun ini kami usulkan awalnya cuma 54 lokasi, tetapi setelah bertemu Pertamina dan swasta, dinaikkan menjadi 73 titik," kata Fansurullah yang akrab disapa Ifan.

Ifan menyebutkan dari 73 titik yang ditargetkan pada tahun ini, 67 lokasi akan dibangun oleh PT Pertamina (Persero) dan enam titik lainnya oleh PT AKR Corporindo.

Salah satu lokasi penyalur BBM Satu Harga yang sudah selesai pembangunannya dan siap diresmikan sekitar dua pekan mendatang, yaitu berada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Ada pun selama 2017, BPH Migas mencatat pembangunan SPBU penyalur BBM Satu Harga mencapai 57 titik yang terdiri dari 54 titik oleh Pertamina dan tiga titik oleh AKR Corporindo.

Dalam audiensi dengan Ketua MPR, BPH Migas juga mengusulkan adanya subpenyalur BBM Satu Harga untuk menjamin ketersediaan dan kelancaran distribusi serta memastikan harga BBM yang dijual sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah.

Ifan memaparkan rasio jumlah penduduk Indonesia dengan SPBU yang tersedia tidak sebanding, padahal idealnya satu SPBU melayani 35 ribu orang dengan rata-rata radius 300 kilometer. Sedangkan, saat ini Indonesia baru mempunyai sekitar 7.000 SPBU.

Menurut dia, pembangunan subpenyalur BBM lebih efisien karena hanya membutuhkan biaya investasi sekitar Rp50 juta sampai dengan Rp100 juta yang dikelola melalui sistem koperasi atau badan usaha milik desa (Bumdes).

"Jumlah penduduk begitu banyak. Kalau dipaksakan bangun SPBU tidak ada yang mau karena tidak masuk keekonomiannya. Balik modal bisa 20 tahun misalnya, belum lagi biaya angkut Pertamina. Maka itu, muncul subpenyalur," kata Ifan lagi.