Pengamat: Teroris Tolak Ideologi Bangsa Berkedok Agama

id Aksi Terorisme, Penyebab Aksi Teror, Terorisme, Universitas Bandarlampung, UBL

Sejak Indonesia merdeka dan berdiri sebagai sebuah bangsa yang diikuti terbentuk Pancasila dan UUD 1945 sebagai pilar maupun dasar negara, implementasi terhadap keyakinan sangat rentan digoyang....
Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Bandarlampung, Refandi Ritonga SH MH, menyatakan timbul terorisme berbalut kedok keagamaan merupakan kelanjutan pembentukan pengalihan pola pikir dan sikap dari oknum radikal yang tidak menerima dasar ideologi bangsa saat ini.

Menurut Refandi, di Bandarlampung, Senin (18/1) , kemunculan aksi terorisme yang terpancang pada penyerangan bersenjata api maupun bom bunuh diri diduga dilakukan oleh lima orang pria yang mengklaimkan diri dari sel jaringan kelompok radikal Islamic State Iraq and Syria (ISIS) yang mengguncang sekitar Sarinah di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat, Kamis (14/1) lalu, sekaligus menunjukkan bahwa ideologi bangsa Indonesia saat ini nyatanya belum terimplementasikan secara luas dalam kehidupan bermasyarakat.

Hal itu, katanya lagi, terlihat dari kelemahan implementasi sistem tata negara dari penyerapan dan aktualisasi nilai-nilai sila pertama Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari.

Makanya, kata dia pula, sejak Indonesia merdeka dan berdiri sebagai sebuah bangsa yang diikuti terbentuk Pancasila dan UUD 1945 sebagai pilar maupun dasar negara, implementasi terhadap keyakinan sangat rentan digoyang, dan tidak kuat penerapannya sehingga ada pertentangan hingga memunculkan perbedaan sikap, pendapat dan arah ideologi dari sekelompok orang yang goyah terhadap implementasi nilai-nilai haluan negara itu.

Akademisi lulusan Magister Hukum Universitas Bandarlampung (UBL) tahun 2012 itu, memandang dalam perjalanan bangsa Indonesia di tengah terpaan modernisasi dan globalisasi, juga ditandai merebak demokrasi berbasis kapitalisme, liberalisme hingga hedonisme yang menimalkan asas Demokrasi Pancasila.

Hal itu, katanya lagi, dapat mengakibatkan muncul ketidakpuasan beberapa pihak internal maupun eksternal yang ingin memaksakan perubahan ekstrem dari arah, hak dan wewenang kebijakan bangsa ke marwah garis keras pergerakan organisasi ataupun pemikiran utama pemimpinnya.

"Kita perlu pertanyakan lagi, kemana peran stakeholder bangsa dalam mengantisipasinya. Karena itu, perlu ada peningkatan kerja sama dari pemegang kebijakan, kaum profesional hingga akademisi dan praktisi yang haluannya nasionalis maupun agamais," ujarnya pula.

Refandi menegaskan negara beserta masyarakat perlu lagi melakukan langkah penguatan terhadap nilai Pancasila sebagai buah perjuangan bangsa Indonesia yang terdiri dari keberagaman agama, ras dan suku bangsa yang tidak dimiliki bangsa lain.

Dosen yang juga Ketua Badan Pengawas Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mapala UBL itu melihat marak aksi pemboman, penembakan hingga muncul aliran kepercayaan baru, akibat ingin ulah aksi penonjolan eksistensi maupun kekuatan organisasi yang melawan negara.

"Makanya sebagai bangsa besar, langkah Indonesia dengan menstimuluskan pesan positif di dunia nyata maupun media sosial, terbukti sebagai langkah antisipatif mencegah aksi terorisme berkepanjangan," kata dia.

Selain itu, Refandi yang juga anggota Biro Kemahasiswaan UBL ini, juga berharap peran alim ulama, pemuka kerohanian hingga tokoh masyarakat bisa menyadarkan oknum masyarakat yang telah melenceng dari kaidahnya.

Setelah ini ke depannya, katanya pula, meminta pemerintah dituntut berani menghukum berat atau bahkan mengekstradisi WNI dan atau WNA yang terbukti terlibat gerakan radikal maupun segera merehabilitasi korban-korban yang tercuci otaknya.

"Jika mereka tidak setuju dengan ideologi yang berlaku di Indonesia, negara berkewajiban mengusir mereka. Cara itu dapat menangkal oknum yang bisa terindikasi sebagai dalang atau penggerak aksi-aksi radikal terorisme. Selain itu, semua pihak harus terus menyuntikkan nilai-nilai agama dari pengajaran enam agama dan aliran kepercayaan yang diakui di Indonesia dari segi implementasinya. Ini harus segera dilakukan agar dapat menimalkan, bahkan menghapus paham-paham itu agar tidak bersinggungan luas lagi dengan publik," katanya lagi.