Jawa Barat (ANTARA Lampung) - "...jika saja kami tidak memikirkan masyarakat desa lain yang posisinya di bawah, karena Desa Cupang berada lebih tinggi, bisa saja kami membiarkan saja sampah dan limbah mengalir ke bawah, toh kami tidak terkena ancaman banjir atau longsor, tapi kami lebih memilih untuk disiplin membuang sampah sehingga tidak menimbulkan malapetaka bagi kami dan orang lain..." ujar Casmana Badra Renggana (60), aparat pemerintahan desa saat mewakili "Kuwu" atau Kepala Desa Cupang, Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Emon Sulaeman pada Kamis (26/11).

Itulah testimoni Kepala Urusan Pemerintahan Desa Cupang itu, yang punya makna spiritual mendalam mengenai hubungan antarmanusia terhadap lingkungannya.

Pernyataan itu kian menohok tatkala saat ini para kepala pemerintahan dan kepala negara serta pemangku kepentingan dunia sedang bersiap-siap menyongsong Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (Conference of Parties/COP) 21, yang akan diselenggarakan di Paris, Perancis, pada 30 November sampai 11 Desember 2015.

Mengapa menohok? Karena suara dari kampung di pelosok, oleh orang kecil, dan juga dengan skala "aksi lokal" itu  -- meski punya makna dan pengaruh besar pada penyelamatan lingkungan dunia -- tentu saja akan tenggelam dengan "aksi-aksi global" di forum COP 21 itu, dan pasti akan memantik magnet media massa untuk lebih tertarik pada panggung antarbangsa itu ketimbang "aksi lokal" dari sekumpulan kecil warga Desa Cupang itu.

Di tengah persiapan COP 21, yang masih dibayang-bayangi kekhawatiran pasca-tragedi berdarah di Paris pada 13 November 2015, "aksi lokal" di Desa Cupang itu tampaknya bisa menjadi teladan, tidak saja bagi desa setempat, namun juga ikhtiar dari Indonesia akan sumbangsihnya bagi penyelematan lingkungan hidup.

Lantas, apa yang berarti dari "aksi lokal" di Desa Cupang itu?

Kolaborasi pemerintah desa, warganya, dan juga peran serta dari pihak swasta, yakni melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) Indocement Tunggal Prakarsa (Tbk) Pabrik Palimanan, Cirebon, dengan ikhtiar bersama, akhirnya mampu mengantarkan Desa Cupang meraih penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup --kini Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup -- untuk Program Kampung Iklim (Proklim) pada 2014.

"(Prestasi) itulah yang kemudian berbuah bagi kami, di mana perwakilan dari Desa Cupang bisa masuk Istana dan bertemu Presiden," kata Casmana Badra Renggana didampingi "local hero" dari kalangan perempuan di desa itu, yakni Ketua Pengelola Sampah Mandiri Ramah Lingkungan (PSM-RL" Al-Karimah atau "Bank Sampah" Tati Sumiati dan Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Emi Sunemi.

Bagi masyarakat desa, dapat masuk ke Istana dan bertemu dengan Presiden (kala itu) Susilo Bambang Yudhoyono, tidak saja punya nilai, namun lebih dari itu dengan predikat prestasi menjadi juara kedua tingkat nasional untuk Proklim lebih berarti dan membanggakan.

             Bank sampah
Desa Cupang adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 192 hektare, terdiri atas enam dusun, tujuh blok, enam rukun warga (RW) dan 20 rukun tangga (RT).

Dilihat dari topografi dan kontur Desa Cupang bertebing dan secara umum berupa lahan sawah seluas 82 hektare dan lahan darat seluas 110 hektare berada pada ketinggian 120 meter di atas laut (mdl) dengan suhu 30 derajat Celsius.

Berdasarkan data terakhir hasil Sensus Penduduk tahun 2010, tercatat sebanyak 3.354 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga 1.205 KK.

Ketua PSM-LR Al-Karimah Tati Sumiati menjelaskan awal mula "aksi lokal" warga desa, khususnya kaum perempuan, diawali pada 2011 dengan visi awal agar sampah tidak menjadi masalah.

Dengan fasilitasi dan program bantuan terkait dari tim CSR Indocement Pabrik Palimanan aksi dilakukan dengan mengumpulkan sampah dan kemudian memilah hingga lahir "Bank Sampah", yang tidak saja untuk kepentingan lingkungan, namun ada nilai tambah ekonomi lainnya.

Bahan sampah yang dapat didaur ulang kemudian dapat dibuat menjadi kerajinan seperti tas, keset dan lainnya. Hasilnya kemudian bisa dijual sehingga ada manfaat ekonomi katanya.

"Dulu pada 2011 manfaat ekonomi yang bisa didapat senilai Rp750 ribu, namun pada 2014 kami bisa meningkatkan nilainya menjadi Rp9,3 juta," katanya.

Sedangkan Ketua KWT Desa Cupang Emi Sunemi menambahkan kaum perempuan desa itu juga mampu meraih prestasi untuk program ketahanan pangan, yakni menjadi juara pertama se-Kabupaten Cirebon.

"Tidak ada lahan yang tidak dimanfaatkan warga untuk ditanami, baik sayuran dan buah-buahan, dan pohon lainnya," katanya.

Kebutuhan rumah tangga akan sayuran dan buah-buahan bisa disediakan melalui pemanfaatan tanah pekarangan sehingga tidak harus mengeluarkan biaya lagi.

"Semua bisa disediakan sendiri," ujarnya.

General Manager Indocement Pabrik Palimanan Budiono Hendranata menilai sinergi bersama, yang akhirnya mengantarkan Desa Cupang dinobatkan sebagai salah satu yang berprestasi dalam Proklim membuktikan kebersamaan adalah kunci untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

"Tentu saja, contoh baik semacam ini ke depan bisa dijaga dan terus ditularkan ke desa lain," katanya didampingi Corporate Social Responsibility & Security Division (CSRS) Manager Indocement Sahat Panggabean.

           Perkuat aksi lokal
Menurut KLH (http://www.menlh.go.id/proklim-aksi-lokal-adaptasi-dan-mitigasi-perubahan-iklim/, isu perubahan iklim telah menjadi perhatian banyak pihak baik di tingkat internasional, regional, nasional dan lokal.

Berbagai kejadian terkait dengan kondisi iklim yang tidak menentu seperti banjir, kekeringan, longsor, gelombang  tinggi, dan peningkatan muka air laut semakin sering terjadi dengan intensitas yang semakin meningkat, sehingga menimbulkan korban jiwa serta kerugian ekonomi dan ekologi.

Kondisi tersebut perlu disikapi dengan memperkuat aksi nyata di tingkat lokal yang dapat berkontribusi terhadap upaya mitigasi untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) serta upaya adaptasi untuk meningkatkan kapasitas seluruh pihak dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Aksi nyata adaptasi dan mitigasi perubahan iklim menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penerapan strategi pembangunan rendah karbon dan tahan perubahan iklim, yang perlu terus dikembangkan dan diperkuat pelaksanaannya.

Guna mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam melaksanakan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, Menteri Lingkungan Hidup dalam acara National Summit Perubahan Iklim Ke-1 di Bali, pada Oktober 2011, telah meluncurkan Program Kampung Iklim (ProKlim).

Melalui pelaksanaan Proklim, pemerintah memberikan penghargaan terhadap masyarakat pada lokasi minimal setingkat RW/Dusun/Dukuh dan maksimal setingkat Kelurahan/Desa yang secara berkesinambungan telah melakukan "aksi lokal" terkait dengan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat dikembangkan dan dilaksanakan di tingkat lokal mencakup antara lain pengendalian banjir, longsor atau kekeringan, peningkatan ketahanan pangan, penanganan kenaikan muka air laut, pengendalian penyakit terkait iklim, pengelolaan dan pemanfaatan sampah/limbah, penggunaan energi baru, terbarukan dan konservasi energi, budi daya pertanian rendah emisi GRK, peningkatan tutupan vegetasi, pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan .                          
Kenurut Kurniadi S.Hut, penyusun bahan adaptasi peribahan iklim Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jabar penduduk Desa Cupang merasakan terjadi perubahan frekuensi maupun intensitas hujan dan adanya pergeseran musim datangnya awal musim hujan.

Kini, sepanjang mata memandang suasana hijau mewarnai desa itu.

Bahkan, dalam laporan BPLHD kini perubahan suhu juga dirasakan penduduk Desa Cupang yang dirasakan sekarang lebih sejuk.

Proklim secara garis besar adalah suatu lokasi yang masyarakatnya melakukan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara terukur dan berkesinambungan.

Program ini memberikan pengakuan terhadap partisipasi aktif masyarakat yang telah melaksanakan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang terintegrasi, sehingga dapat mendukung target penurunan emisi GRK nasional dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.

Selain itu, memberikan kontribusi terhadap upaya penanganan perubahan iklim secara global, termasuk pencapaian target penurunan emisi GRK baik secara nasional (26 persen pada tahun 2020) maupun internasional.

Di samping itu, meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi variabilitas iklim dan dampak perubahan iklim, tersedianya data kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta potensi pengembangannya di tingkat lokal yang dapat menjadi bahan masukan dalam perumusan kebijakan, strategi dan program terkait perubahan iklim.

"Aksi lokal" warga Desa Cupang, meski tidak hiruk-pikuk telah memberi teladan bagi penyelamatan lingkungan, sehingga tidak berlebihan jika mereka yang melaksanakan "aksi global" perlu lebih memberikan dukungan dan ruang bagi "aksi-aksi lokal" di masa depan.

Pewarta : Andi Jauhari
Editor :
Copyright © ANTARA 2024