Bandarlampung (ANTARA) - Ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandarlampung, Alfarobi akan memanggil kembali pihak Polresta Bandarlampung untuk kedua kalinya dalam perkara sidang praperadilan.
Sidang praperadilan tersebut antara pihak Polresta Bandarlampung selaku termohon melawan Venni Purnamasari melalui tim penasihat hukumnya, Yunizar Akbar selaku pemohon.
"Hari ini termohon tidak hadir, dan kita beri kesempatan untuk memanggil yang kedua kalinya," kata Alfarobi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandarlampung, Jumat.
Sidang praperadilan tersebut terpaksa ditunda lantaran pihak Polresta Bandarlampung selaku termohon tidak dapat hadir tanpa keterangan. Sidang akan kembali dilanjutkan pada Senin mendatang.
"Sidang kita lanjut Senin ya," katanya.
Penasihat hukum Yunizar Akbar dalam gugatan praperadilan meminta kepada majelis hakim untuk pidana pokok tersangka Venni Purnamasari agar tidak disidangkan terlebih dahulu dengan tujuan untuk pengguguran gugatan praperadilan tersebut.
"Kami minta kepada majelis hakim agar pidana pokok tidak dipersidangkan dahulu yang hanya bertujuan untuk menggugurkan gugatan praperadilan ini," kata dia.
Lanjut dia, melalui praperadilan tersebut, kliennya mencoba mencari kebenaran dan keadilan terhadap penetapan dirinya sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana penggelapan oleh penyidik Polresta Bandarlampung yang telah menyalahi aturan.
"Klien kami korban. Korban dari kesewenang-wenangan penyidik Polresta Bandarlampung. Kesewenangan itu dilakukan dengan cara menetapkan tersangka tanpa melalui jalur yang benar," kata dia lagi.
Ia menjelaskan bahwa kesewenangan yang dilakukan pihak Polresta Bandarlampung tersebut berawal adanya laporan polisi nomor: LP/B/544/VIII/2025/SPKT/ POLDA LAMPUNG tertanggal 10 Agustus 2025 atas dugaan tindak pidana penggelapan dengan pemberatan juncto perbarengan tindak pidana sebagaimana Pasal 374 juncto Pasal 64 KUHP.
Dalam praperadilan tersebut, Yunizar menyebutkan bahwa tindakan upaya paksa seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan telah melanggar peraturan perundang-undangan serta telah merampas Hak Asasi Manusia (HAM).
"Berawal tanggal 14 Agustus 2025 saat itu pemohon diajak oleh pelapor dengan dalih untuk mencetak rekening koran teman kerja pemohon, namun dalam perjalanan pemohon justru dibawa ke Polresta Bandarlampung bukan ke bank. Ketika di Polresta Bandarlampung pemohon diajak masuk ke ruang pemeriksaan untuk dimintai keterangannya dan pemohon merasa bingung dan takut dikarenakan pemohon merasa tidak pernah diberikan surat panggilan sebagai saksi serta tidak diberikan kesempatan untuk klarifikasi atas laporan pelapor tersebut," katanya.
Lanjut dia, sekitar pukul 13.00 WIB, pemohon diperiksa oleh Kanit, dan penyidik pembantu untuk dimintai keterangan hingga pukul 24.00 WIB. Dalam pemeriksaan tersebut, menurut dia, ada dugaan intervensi serta tekanan dari pihak pelapor dan lima karyawan pelapor, termasuk tim audit kepada pemohon yang juga disaksikan oleh para petugas yang berada di dalam ruangan pemeriksaan.
Sejak pemeriksaan tersebut, masih kata dia, pemohon praperadilan tidak diperkenankan pulang hingga dilakukan penahanan terhadap pemohon. Pada 15 Agustus 2025 sekitar pukul 16.00 WIB, pelapor datang kembali ke ruangan pemeriksaan bersama tim audit dan empat karyawan lainnya untuk melakukan interogasi terhadap pemohon hingga pukul 20.00 WIB.
Dalam proses interogasi ini, pemohon diduga mengalami intimidasi dan tindakan kekerasan secara fisik oleh pelapor di hadapan para petugas yang berada di dalam ruangan pemeriksaan. Sekira pukul 22.00 WIB-24.00 WIB, pemohon dibawa ke hadapan penyidik untuk pemeriksaan.
"Namun, dalam proses pemeriksaan pelapor kembali melakukan pemukulan ke arah wajah pemohon menggunakan ponsel. Bahkan pelapor secara tanpa hak merampas uang pemohon sebesar Rp4.000.000 dari dalam tas pemohon. Tindakan ini disaksikan oleh suami pemohon dan penyidik yang sedang bertugas," katanya lagi.
"Di tanggal 16 Agustus 2025 sekitar pukul 16.00 WIB pemohon belum dipersilakan pulang, dan justru diperiksa kembali. Dalam pemeriksaan ini, status pemohon diubah menjadi tersangka. Pemohon juga diminta untuk menandatangani surat penangkapan dan penahanan, yang kemudian diserahkan kepada suami pemohon. Setelah itu, pemohon dipindahkan ke ruangan tahanan pada pukul 17.00 WIB untuk menjalani penahanan hingga saat ini," ujarnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut Yunizar, prosedur yang dilakukan oleh termohon terhadap pemohon bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang Penangkapan dan Penetapan Tersangka sehingga sudah sepantasnya dinyatakan batal demi hukum.
