Pemerataan daging kurban oleh Dompet Dhuafa hingga Papua

id Dompet Dhuafa, Sorong Papua, pemerataan kuban ke Papua,Iduladha

Pemerataan daging kurban oleh Dompet Dhuafa hingga Papua

Pemerataan daging kurban oleh Dompet Dhuafa hingga Papua. ANTARA-HO-DOMPET DHUAFA

Sorong, Papua (ANTARA) - Di sudut terpencil Kurowato, Kecamatan Aimas, Kabupaten Sorong, Papua, setiap hari, Amsiah harus menempuh perjalanan cukup jauh, berjalan kaki menyusuri medan berat demi satu tujuan yaitu mencari nafkah untuk kedua anaknya.

Setiap hari, tujuannya adalah batu karang yang menjadi sumber penghasilan utama Amsiah. Ia membelah batu karang menggunakan linggis.

“Pergi cuma belah batu karang, pagi jam tujuh atau delapan saya berangkat, pulang bisa sore jam empat atau setengah lima di Klaleng Ampat, lumayan jauh, saya jalan kaki ke sana, balik juga jalan kaki kalau ada truk kita numpang,” ujar Amsiah (22) saat diwawancarai Rabu (14/5).

Selain jarak dan waktu, proses yang ia lakukan juga menguras tenaga.

“Di bawah itu kasih pindah, baru kasih naik baru kita dapat batu dan pake linggis kita belah batu karang,” ujar Amsiah.

Setiap insan dihadapkan pada pilihan dalam hidup mulai dari hal-hal sederhana hingga keputusan besar seperti karier, hubungan, dan tujuan hidup.

Dalam masyarakat, peran kepala keluarga biasanya diemban oleh laki-laki. Namun, tidak semua kisah berjalan sesuai pakem itu. Amsiah, misalnya, harus menjalani peran ganda sebagai ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya, karena suaminya telah menutup usia sejak tahun 2023 dikarenakan sakit yang dideritanya.

Bukan karena keinginan, melainkan karena keadaan yang menuntutnya untuk kuat, dan menjadi segalanya bagi keluarga. Pilihan itu bukan yang mudah, tapi ia menerimanya dengan lapang, karena cinta dan tanggung jawab kerap membuat manusia mampu melampaui batas dirinya.

“Suami saya sudah meninggal jadi terpaksa saya cari pekerjaan sendiri untuk anak-anakkan kita mata pencaharian juga itu mau ga mau,” kata Amsiah dengan tegar.

Kini ia tinggal bersama ibunya dan harus menghidupi anak-anak seorang diri. Rutinitas paginya dimulai dengan memasak nasi, memastikan anak-anak tidak pulang sekolah dalam keadaan lapar.

Dalam sehari, jika beruntung, Amsiah bisa membawa pulang setengah hingga satu rit batu.Namun, pekerjaan ini tak selalu pasti. Sering kali ia harus menunggu lama sampai ada trek yang bisa mengangkut batu-batu itu.

“Kalau dapat ya alhamdulillah, kita pulang,” kata Amsiah.

Namun, di tengah perjuangan itu, momen seperti Iduladha tahun lalu menghadirkan haru dan syukur. Di tengah kesulitan yang dirasakan Amsiah, dapat memberikan kebahagiaan bagi Amsiah dan anak-anaknya, karena ia dapat merasakan daging kurban di momen hari raya.

“Kalau ada rezeki kita beli ikan juga, kalau tidak ada kita makan sayur kangkung saja, makan dengan anak anak,” ujarnya pula.

Kurban Sengaruh itu juga dirasakan Amsiah, yang dapat memberikan kebahagiaan sederhana bagi Amsiah dan keluarga kecilnya.

“Alhamdulillah, di Idul Adha ini bisa dapat daging kurban, senang juga, makan dengan nasi. Anak-anak juga makan, iya senang juga ya dapat daging, terima kasih Dompet Dhuafa,” ujarnya sambil tersenyum kepada sang anak.

Kini, harapan Amsiah tinggal satu bisa menyekolahkan anak-anaknya. Harapan ini juga yang menjadi mimpi terakhir sang suami.

“Dia mau kasih sekolah anak-anaknya, tapi butuh biaya buat anak anak sekolah,” kata Amsiah lagi.

Amsiah tetap berdiri teguh, perjuangan dan pengorbanannya dimaknai sebagai simbol ketangguhan perempuan demi masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya.

Berita kerja sama

Pewarta :
Editor : Budisantoso Budiman
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.