Bandarlampung (ANTARA) - Sebanyak 12 perempuan seniman dari berbagai kota dan provinsi di Indonesia melakukan residensi di Teater Satu Lampung sejak 21 April hingga 3 Mei 2025.
Peserta residensi ini mengikuti program pembacaan dan penciptaan karakter perempuan yang bersumber dari legenda, mitos, folklor; maupun teks dramatik lainnya yang berasal dari Nusantara, dalam sudut pandang perempuan (female Gaze).
“Program ini bertujuan mengubah nasib karakter perempuan yang pada teks asli tersubordinasi oleh budaya patriaki, dengan memberi premis baru yang bisa mengubah pandangan terhadap posisi dan world view perempuan di dalam teks asli sehingga menghasilkan teks baru yg lebih berpihak pada perempuan tanpa mengulang praktik budaya patriarki dalam teks-nya yang baru,” kata Gandi Maulana, Ketua Umum Teater Satu.
Peserta yang berasal dari Medan, Padang, Jambi, Lampung, Jakarta, Jogjakarta, Makasar, dan Kalimantan Barat ini mendapatkan input berupa materi tentang Female Gaze, wacana Feminsme Gloal-Selatan, advokasi perempuan koran kekerasan, aktivisme pemberdayaan perempuan, semiotika, dan metode dekonstruksi sebagai alat pembacaan dan penciptaan karya. Acara yang diselenggarakan di Villa Secret Hills Bandar Lampung ini didukung oleh Dana Indonesiana .
Diawali dengan seleksi dari konsep tentang karakter perempuan yang akan dibaca ulang tiap peserta, portofolio dan presentasi mereka pun jadi bahan pertimbangan untuk tim seleksi memilih seniman perempuan dari berbagai lintas wahana seperti teater, sastra, tari , seni rupa dan musik.
Pemilihan seniman perempuan sebagai peserta adalah pilihan yang tepat untuk memberi ruang bagi mereka untuk menggali pengetahuan dan membuka wawasan lebih luas, karena di Indonesia keterlibatan seniman perempuan dalam even-even seni yang intens relatif lebih lebih kecil daripada laki-laki. Sebab perempuan lebih sering ditempatkan bukan pada posisi strategis di kelompok kesenian.
Hal tersebut selaras dengan salah satu tema yang diusung Teater Satu yaitu Pemberdayaan Perempuan dalam Seni, dengan harapan semakin banyak perempuan pelaku seni yang mampu memiliki independensi dan profesionalitas (otoritas) dalam profesi yang ditekuninya, baik sebagai individu di tengah masyarakat maupun bagian dari sebuah kolektif masyarakat, maka peluang untuk terciptanya sebuah sistem sosial dan budaya yang terbebas dari tindakan represif patriarki akan semakin besar.
Menurut Gandi Maulana, bila jumlah dan kualitas perempuan pelaku seni semakin berkembang di komunitas-komunitas seni, maka melalui institusi sosial yang terbatas ini akan tersebar pengaruh mengenai kesetaraan perempuan di tengah masyarakat yang lebih luas. Konsistensi dan kesungguhan dalam melaksanakan program-program pemberdayaan melalui seni, pada akhirnya akan turut menciptakan Independensi Perempuan di tengah masyarakat dan peradaban. Pada gilirannya, mereka akan mewarisi independensi itu kepada generasi baru.