LPSK sebut Indonesia darurat kekerasan seksual
Sebanyak 60 hingga 70 persen pemohon itu adalah kasus kekerasan seksual, kata dia
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Maneger Nasution menilai bahwa Indonesia saat ini dalam kondisi darurat kekerasan seksual.
"Kalau Komnas Perempuan menyebut darurat, jadi memang itu betul," kata Maneger Nasution dalam acara bertajuk "Memerangi Penyiksaan dan Tantangan Pelaksanaan Undang-undang terkait Kekerasan Seksual", di Jakarta, Selasa.
Maneger menuturkan dalam 10 permohonan yang masuk ke LPSK, sebanyak enam hingga tujuh permohonan merupakan kasus kekerasan seksual.
"Sebanyak 60 hingga 70 persen pemohon itu adalah kasus kekerasan seksual," kata dia.
Ia menambahkan bahwa LPSK saat ini lebih banyak memberikan penanganan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual.
"Justru kalau pendampingan hukum dalam bentuk pemenuhan hak prosedural itu tidak sebanyak kita memberikan pemulihan. Pemulihan medis, pemulihan psikologis, termasuk psikososial," katanya.LPSK pun mengapresiasi keberadaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU tersebut dinilainya sangat progresif.
"UU ini mencoba melampaui kerumitan hukum yang terjadi selama ini," kata Maneger.
Dalam penerapan UU TPKS ini, pihaknya berharap aparat penegak hukum mempunyai perspektif yang memihak korban dan memiliki rekam jejak penegakan hukum yang baik. Selain itu, LPSK juga berharap agar negara bisa hadir dalam pemulihan bagi korban.
"Diharapkan kehadiran negara yang lebih cepat dalam pemulihan bagi korban. Bagaimana negara harus hadir memberikan hak kepada korban melalui tiga ranah, di hulu, di perlindungan, hingga pemulihan," katanya.
Hal ini karena menurut dia, selain pentingnya hukuman yang diberikan kepada pelaku, upaya pemulihan bagi korban jauh lebih penting.
"Kalau Komnas Perempuan menyebut darurat, jadi memang itu betul," kata Maneger Nasution dalam acara bertajuk "Memerangi Penyiksaan dan Tantangan Pelaksanaan Undang-undang terkait Kekerasan Seksual", di Jakarta, Selasa.
Maneger menuturkan dalam 10 permohonan yang masuk ke LPSK, sebanyak enam hingga tujuh permohonan merupakan kasus kekerasan seksual.
"Sebanyak 60 hingga 70 persen pemohon itu adalah kasus kekerasan seksual," kata dia.
Ia menambahkan bahwa LPSK saat ini lebih banyak memberikan penanganan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual.
"Justru kalau pendampingan hukum dalam bentuk pemenuhan hak prosedural itu tidak sebanyak kita memberikan pemulihan. Pemulihan medis, pemulihan psikologis, termasuk psikososial," katanya.LPSK pun mengapresiasi keberadaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU tersebut dinilainya sangat progresif.
"UU ini mencoba melampaui kerumitan hukum yang terjadi selama ini," kata Maneger.
Dalam penerapan UU TPKS ini, pihaknya berharap aparat penegak hukum mempunyai perspektif yang memihak korban dan memiliki rekam jejak penegakan hukum yang baik. Selain itu, LPSK juga berharap agar negara bisa hadir dalam pemulihan bagi korban.
"Diharapkan kehadiran negara yang lebih cepat dalam pemulihan bagi korban. Bagaimana negara harus hadir memberikan hak kepada korban melalui tiga ranah, di hulu, di perlindungan, hingga pemulihan," katanya.
Hal ini karena menurut dia, selain pentingnya hukuman yang diberikan kepada pelaku, upaya pemulihan bagi korban jauh lebih penting.