Menkes: Tes genom sekuensing Indonesia rata-rata capai 1.800 per bulan

id Genom Sekuensing, varian delta, vaksinasi, PPKM

Menkes: Tes genom sekuensing Indonesia rata-rata capai 1.800 per bulan

Tangkapan layar Menkes RI Budi Gunadi Sadikin saat menyampaikan keterangan pers secara virtual yang dipantau dari Jakarta, Senin (30/8/2021). (ANTARA/Andi Firdaus)

Tes genom sekuensing untuk mengetahui varian baru ini di tahun 2020 kita lakukan sembilan bulan 140 tes, sekarang dalam waktu delapan bulan kita sudah melakukan 5.788 tes atau sekuens, kata Budi
Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengemukakan tes genom sekuensing Indonesia dalam mendeteksi varian baru SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 sudah mencapai rata-rata 1.800 per bulan.

"Tes genom sekuensing untuk mengetahui varian baru ini di tahun 2020 kita lakukan sembilan bulan 140 tes, sekarang dalam waktu delapan bulan kita sudah melakukan 5.788 tes atau sekuens," kata Budi Gunadi Sadikin saat hadir secara virtual dalam konferensi pers PPKM di YouTube Kemenkomarvest, yang dipantau dari Jakarta, Senin malam.

Menurut Budi, Indonesia punya kapasitas 1.700 hingga 1.800 tes genom sekuensing per bulan untuk mengawasi penyebaran varian baru dan upaya mengantisipasinya.

Baca juga: Menkes: Indonesia bisa lampaui Jerman dalam suntikan vaksin COVID-19

Ia mengatakan proses mutasi virus merupakan sifat alami yang sulit untuk dicegah agar tidak terjadi.

Budi mengatakan salah satunya adalah varian Delta yang berkarakteristik sulit untuk dikendalikan, sebab hampir semua negara yang mengalami kenaikan kasus tinggi, termasuk Indonesia, disebabkan karena adanya mutasi baru varian Delta.

"Sekarang sudah hampir tersebar di seluruh dunia. Ini sulit ditebak, karena semakin lama dunia menunda vaksinasi, pasti di suatu daerah terjadi penularan dan varian baru itu timbul karena adanya penularan," katanya.

Baca juga: Wali Kota: PTM di Bandarlampung akan diterapkan saat PPKM Level 3

Budi mengatakan saat ini terdapat beberapa varian baru yang masuk dalam proses investigasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), salah satunya adalah varian Lamda.

"Tapi memang kita lihat itu masih terkonsentrasi di Amerika Selatan," katanya.