Ketua DPD RI: Pondok pesantren "Prototipe Civil Society"

id lanyalla, ketua dpd, ponpes wali songo

Ketua DPD RI: Pondok pesantren "Prototipe Civil Society"

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti (ANTARA/HO)

Pondok juga jadi solusi bagi masyarakat sekitar. Ada yang sakit, minta doa ke kiai. Ada yang tidak punya beras, datang ke pondok. Ada yang punya masalah, minta nasehat kiai, dan seterusnya,” ungkapnya
Lampung Utara (ANTARA) - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam kunjungan kerjanya bersilaturahim ke Pondok Pesantren Wali Songo di Abung Selatan, Lampung Utara, setelah sebelumnya hadir di Ponpes Wali Songo di Lampung Tengah. 

“Pondok Pesantren adalah prototipe dari masyarakat madani atau civil society. Sebab, sejak dulu, pondok selalu bercirikan mandiri dan menjadi solusi bagi masyarakat sekitar dan memberi kontribusi bagi bangsa dan negara ini,” ungkap LaNyalla dalam keterangannya yang diterima di Bandarlampung, Jumat.  

Turut mendampingi Ketua DPD, empat Senator asal Lampung, Ahmad Bastian, Bustami Zainudin, Abdul Hakim dan dr Jihan Nurlela. Juga hadir dalam acara itu Bupati Lampung Utara, Budi Utomo serta Ketua Yayasan Ponpes Wali Songo, HM Abu Noer Choiri dan Pengasuh Ponpes Wali Songo, KH Noer Qomaruddin. 

LaNyalla mengatakan di zaman sebelum kemerdekaan, ponpes sudah menjadi institusi civil society. Saat itu, ponpes tidak hidup dari dana atau santunan yang diberikan oleh penjajah Belanda, tetapi hidup mandiri dari cocok tanam dan semangat gotong royong santri bersama masyarakat sekitar. 

“Pondok juga jadi solusi bagi masyarakat sekitar. Ada yang sakit, minta doa ke kiai. Ada yang tidak punya beras, datang ke pondok. Ada yang punya masalah, minta nasehat kiai, dan seterusnya,” ungkap Senator yang kerap dijuluki Mr Tahajud Call itu. 

Baca juga: LaNyalla bedah spirit "Hubbul Wathon" di harlah Ponpes Wali Songo

Artinya, sambung LaNyalla, pondok benar-benar menjadi institusi masyarakat madani. Karena itu peran ulama dan kiai-kiai pengasuh pondok pesantren saat itu juga tidak bisa dihapus dari sejarah kemerdekaan Indonesia. 

Termasuk peran para ulama dan kiai se-Nusantara dalam memberikan pendapat dan masukan kepada BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang kemudian menjadi PPKI atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. 

Juga sikap legowo para ulama dan kiai, yang demi keberagaman, setuju mengganti dan menghapus anak kalimat "Piagam Jakarta" yang menjadi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, diganti dengan kalimat; "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". 

“Dan puncak dari perjuangan di masa itu, adalah lahirnya Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 oleh Kiai Haji Hasyim Asy’ari di Surabaya,” katanya.
 
Ini artinya, lanjut mantan ketua umum PSSI itu, para ulama dan kiai serta santri dalam wajah Indonesia bukan hanya perintis kemerdekaan, tetapi juga pemilik saham mayoritas. 

“Negara ini sudah mengakui dengan memberikan gelar pahlawan nasional kepada banyak tokoh ulama dan kiai di negara ini, termasuk pengakuan terhadap kontribusi Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 di Surabaya, dimana pada 22 Oktober ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo menjadi Hari Santri, dan masuk dalam kalender hari besar yang diperingati,” katanya.

“Sampai hari ini, cinta bangsa tersebut tetap ditunjukkan dengan peran pondok pesantren sebagai penjaga nilai-nilai moral atau akhlak warga bangsa,” tukas LaNyalla yang dikenal dekat dengan para kiai pengasuh ponpes itu.