KPK dan "pelanggan" bupati

id KPK,OTT KPK,OTT Bupati Kudus

KPK dan "pelanggan" bupati

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kanan) dan Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Yuyuk Andriati saat jumpa pers penetapan Bupati Kudus Muhammad Tamzil sebagai tersangka di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/7/2019). (Antara/Benardy Ferdiansyah)

Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejatinya dibentuk untuk memberantas tindak pidana korupsi terhadap seluruh penyelenggaran pemerintah negara dan bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK sebagai bagian dari wakil rakyat.

Hingga akhir Juli ini, lembaga antirasuah itu kerap diikuti dengan kata bupati seolah bupati merupakan "pelanggan tetap" KPK. Setidaknya, saat ini KPK tengah menangani kasus bupati dari berbagai daerah.

Pada Sabtu (27/7) siang, KPK baru saja menggelar jumpa pers dan menetapkan Bupati Kudus Muhammad Tamzil sebagai tersangka kasus suap jabatan dengan barang bukti uang tunai sebesar Rp170 juta.

Selain Tamzil, Staf Khusus Bupati Kudus Agus Soeranto dan pemberi suap yakni Ptl Sekretaris Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Kudus Akhmad Sofyan turut ditetapkan sebagai tersangka.

Berawal dari pembicaraan Muhammad Tamzil yang meminta kepada Agus Soeranto untuk mencarikan uang sebesar Rp250 juta untuk membayar mobil Nissan Terano miliknya.

Kemudian pada Jumat (26/7) pagi ketika tim KPK yang melihat ajudan Tamzil, Norman berjalan dari ruang kerja Tamzil dengan membawa sebuah tas selempang ke rumah dinas Agus. KPK langsung mengamankan Agus dan Tamzil serta turut menangkap calon kepala DPPKAD Catur Widianto dan staf DPPKAD Subhan di tempat terpisah untuk diperiksa digedung KPK Jakarta, Sabtu (27/7) pagi.

Usai melakukan pemeriksaan sesuai aturan KUHAP dan dilanjutkan dengan gelar perkara, KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi menerima hadiah atau janji terkait pengisian perangkat daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kudus tahun 2019.

Namun, Muhammad Tamzil membantah tuduhan tersebut, menurutnya barang bukti senilai Rp170 juta tidak di tangannya dan membantah telah menyuruh Agus mencarikan uang tersebut.

"Yang jelas, dana itu tidak ada di saya," dalih Tamzil saat keluar dari gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/7).

Selain kasus suap jabatan yang tak diakuinya, Tamzil juga mengelak kasus korupsi pertamanya. Ya, OTT kali ini bukan kali pertamanya bagi Bupati yang baru menjabat 10 bulan itu.

Ia bersama Agus Soeranto sebelumnya pernah bekerja sama di Pemprov Jateng saat menjabat sebagai Bupati Kudus periode 2003-2008. Tamzil terbukti bersalah melakukan korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus untuk Tahun Angaram 2004 yang merugikan negara sekitar Rp2,84 miliar meskipun pada penyelidikan terdapat pengembalian kerugian Rp1,8 miliar.

Saat itu, Muhammad Tamzil divonis bersalah dengan hukuman 1 tahun 10 bulan penjara dan denda Rp100 juta subside 3 bulan kurungan.

Saat diwawancara ketika hendak mencalonkan diri sebagai calon Bupati Kudus periode 2018-2023, Tamzil mengatakan ia mengembalikan kepada masyarakat Kudus, apalagi yang ia lakukan sebelumnya dalam pengadaan alat dan laboratorim hingga kini masih dimanfaatkan walaupun ada proses yang tidak dilalui sehingga Tamzil harus mempertanggungjawabkannya.

"Kalau yang pertama itu kan saya istilahnya tidak ada kerugian negara pada waktu itu karena saya hanya salah prosedur," ujar Tamzil yang sudah menggunakan rompi tahanan KPK, Sabtu (27/7).

Tak hanya Bupati yang sedang menjabat, KPK juga memasang radar pada mantan Bupati. Salah satunya mantan Bupati Kutai Kartanegara Kalimantan Timur Rita Widyasari (RIW) tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) atau gratifikasi sebesar Rp110,72 miliar dan suap Rp6 miliar dari para pemohon izin dan rekanan proyek selama 2010-2017.

Meskipun Rita sudah dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Pondok Bambu setelah dijatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 6 Juli 2018 lalu, KPK masih melakukan penyidakan kasus tersebut.

"Pada pemeriksaan hari ini, penyidik melakukan penyitaan terhadap aset tersangka RIW dalam kaitannya dengan kasus TPPU. Aset yang disita berupa tanah dan bangunan di Villa Tamara Samarinda," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu (23/7).

Sebelumnya KPK telah menyita aset-aset milik Rita senilai Rp70 miliar berupa rumah, tanah, apartemen, dan barang lainnya. Selain itu, KPK juga memerikasa lima saksi yang dilakukan di Aula Polresta Samarinda, Kota Samarinda, Kalimantan Timur.

Tak cukup dengan penyidikan Rita, KPK tengah mendalami kasus gratifikasi mantan Bupati Bogor, Rachmat Yasin yang diduga meminta, menerima atau memotong pembayaran dari beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebesar Rp8.931.326.223.

Uang tersebut diduga digunakan untuk biaya operasional bupati dan kebutuhan kampanye pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif pada 2013 dan 2014.

Selain itu, Rachmat juga diduga menerima gratifikasi berupa tanah seluas 20 hektare di Jonggol, Kabupaten Bogor dan mobil Toyota Vellfire senilai Rp825 juta yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban serta tidak dilaporkan ke KPK dalam waktu paling lambat 30 hari kerja.

Meski Rachmat telah bebas pada 8 Mei 2019 lalu setelah menjalani masa hukuman di Lapas Sukamsikin Bandung, KPK masih mendalami kasus tersebut dengan memanggil dua saksi yakni Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bogor Yous Sudrajat dan PNS pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor Kadarwati Rabu (24/7).

"Penyidik mendalami keterangan dari saksi-saksi ini terkait dengan bagaimana modus-modus pemotongan tersebut, permintaan pada dinas-dinas. Misalnya, pemotongan dari anggaran-anggaran yang ada agar seolah-olah disebut sebagai utang," tutur Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu.

Berbeda dengan Bupati lainnya yang sedang dalam penanganan KPK, Bupati Simeulue Darmili masih dalam penanganan tim penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh. Namun kasusnya tetap sama, yakni korupsi penyertaan modal pada Perusahaan Daerah Kabupaten Simeulue (PDKS).

Darmili ditetapkan sebagai tersangka penyertaan modal pada PDKS sejak 2002 hingga 2012 sebanyak Rp227 miliar dengan indikasi kerugian negara mencapai Rp51 miliar.

Kejati Aceh menangani kasus korupsi PDKS sejak 2015 dan telah menyita rumah dan mobil Anggota DPRK Simeulue periode 2014-2019 itu. Namun hingga kini, Darmili sudah dua kali tidak kunjung datang untuk melakukan pemeriksaan di Kejati Aceh sehingga pemeriksaan diundur pada Senin (29/7) mendatang.

"Tersangka Darmili meminta pemeriksaanya dijadwalkan pada Senin mendatang. Permintaan tersebut juga sudah disampaikan kepada penyidik," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Aceh Munawai di Banda Aceh, Jumat (26/7).

Tanggapan

Berkaca dari kasus Tamzil yang seolah tak jera, KPK mengingatkan agar pada Pilkada tahun 2020, partai politik tidak lagi mengusung calon kepala daerah dengan rekam jejak yang buruk.

"Jangan pernah lagi memberikan kesempatan kepada koruptor untuk dipilih," tegas Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/7).

KPK juga mengingatkan kasus jual-beli jabatan tidak boleh terjadi lagi karena merusak tatanan pemerintahan dan tidak sejalan dengan rencana pemerintah untuk pengembangan SDM yang profesional sebagai salah satu tujuan dari reformasi birokrasi dari program Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Stranas PK).

Sedangkan pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Prof Hibnu Nugroho menilai Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) perlu dikaji kembali untuk mengeleminasi terjadinya kasus korupsi.

"Waktu itu kan putusannya (Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, red) belum sampai ke pencabutan hak politik kan? Ke depan memang kalau kaitannya dengan jabatan politik mungkin harus (dikaji kembali), saya kira itu langkah yang tepat untuk mengeliminasi orang-orang yang pernah berbuat kejahatan," ujarnya di Purwokerto, Sabtu (27/7).

Menurutnya, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah itu erat kaitannya dengan masalah integritas. Hibnu menilai intergritas seseorang menjadi taruhan ketika ada godaan-godaan yang mempengaruhi atas jabatannya.