Jami Al-Anwar Masjid Tertua dan Bersejarah di Lampung

id Masjid Jami Al-Anwar Tertua di Lampung, Masjid Tertua di Lampung, Masjid Tertua Lampung

Jami Al-Anwar Masjid Tertua dan Bersejarah di Lampung

Masjid Jami Al-Anwar di Kangkung, Telukbetung Selatan, Bandarlampung, masjid tertua dan bersejarah di Provinsi Lampung. (FOTO: ANTARA Lampung/Dwi Agustina Sakti)

Bandarlampung (Antaranews Lampung) - Masjid Jami Al-Anwar dikenal sebagai masjid tertua yang ada di Provinsi Lampung dan masih bertahan sampai sekarang, meskipun beberapa kali harus direnovasi, termasuk ketika rusak berat saat Gunung Krakatau (induk) di Selat Sunda meletus dahsyat tahun 1883 lalu.

Menurut catatan dari sejumlah sumber, setidaknya masjid ini sudah ada sejak tahun 1839 atau sudah berfungsi sejak sekitar 180 tahun lalu walaupun semula hanya berupa surau atau langgar kecil.

Lokasi masjid ini di Jalan Laksamana Malahayati No. 100, Kelurahan Kangkung, Kecamatan Teluk Betung Selatan, Kota Bandarlampung. Berlokasi sedikit ke pinggir dari pusat bisnis di kawasan Telukbetung, Bandarlampung. Tak jauh pula dari pusat belanja oleh-oleh kuliner khas Lampung di bagian seberang depannya.

Masjid ini juga memiliki banyak peninggalan bersejarah yang masih ada sampai sekarang.

Pemerintah Provinsi Lampung melalui Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Lampung telah menetapkan masjid ini sebagai masjid tertua dan bersejarah di Bandarlampung. Hal ini tertuang di dalam SK No.: Wh/2/SK/147/1997.

Menurut penuturan Sumanta (51), salah satu pengurus Masjid Jami Al-Anwar sejak 6 tahun yang lalu, masjid ini merupakan masjid tertua yang ada di Provinsi Lampung, bahkan masjid ini berdiri sebelum Gunung Krakatau meletus, 26-27 Agustus 1883.

"Masjid ini termasuk masjid yang tertua di Lampung, berdirinya bahkan sebelum Gunung Krakatau meletus. Gunung Krakatau kan meletusnya tahun 1883, masjid ini sudah ada sejak tahun 1839, tetapi menurut informasi saat itu masih berbentuk surau," ujar Sumanta, saat ditemui di Masjid Jami Al-Anwar belum lama ini.

Catatan sejarah yang ada, masjid ini dibangun oleh ulama pendatang yang berasal dari Pulau Sulawesi dari Suku Bugis. Semula masih dalam bentuk surau atau mushala yang digunakan oleh para ulama tersebut untuk perkumpulan mengaji, bersama dengan ulama dan masyarakat setempat lainnya.

"Awalnya dibangun oleh para ulama dari Pulau Sulawesi yang kemudian datang ke Lampung, yaitu Daeng Muhammad Ali, KH Muhammad Said, dan H Ismail. Setelahnya mereka mendirikan surau untuk mengaji bersama ulama dan siapa pun masyarakat yang ingin mengaji bersama," ujarnya pula.

Surau atau mushala ini kemudian mengalami beberapa renovasi dan perluasan bangunan, sehingga kemudian membentuk sebagai sebuah masjid.

Awal renovasi dilakukan lima tahun setelah Gunung Krakatau meletus, sekitar tahun 1888, bersama dengan para ulama dan masyarakat dengan langsung mendirikan masjid yang lebih permanen pada tahun itu, lalu dilanjutkan lagi renovasi setelahnya, termasuk yang kemudian dilakukan pada tahun 1972, dan terakhir pada tahun 2015 lalu.

"Untuk renovasinya, saat Gunung Krakatau meletus, mushalanya rusak hanya menyisakan tiang-tiangnya saja. Jadi pada tahun 1888, menurut informasi, renovasi dilakukan dengan tetap mempertahankan enam tiang yang ada. Enam tiang tersebut menggambarkan Rukun Iman.

Lalu, pada tahun 1972, renovasi dilakukan kembali dengan memperluas bangunan menjadi lebih besar karena jemaah yang datang pada saat Shalat Jumat dan hari-hari besar semakin banyak jumlahnya.

Terakhir, perbaikan dan renovasi masjid ini dilakukan sekitar tahun 2015 sampai 2016, yang diganti atap masjid, awalnya genteng biasa menjadi seng baja.

Dalam buku berjudul "Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia" karya Abdul Baqir Zein tahun 1999, dijelaskan keenam tiang masjid itu yang dibangun pada tahun 1888 tersebut dibuat bukan menggunakan semen, melainkan menggunakan campuran telur ayam dan kapur.

Lalu, setelahnya masjid ini dinamakan Masjid Al-Anwar yang artinya bercahaya, nama tersebut diharapkan agar masjid tersebut dapat menjadi sumber cahaya kehidupan yang dapat menerangi umat. Nama masjid itulah yang dipakai sampai sekarang.

Meskipun telah mengalami beberapa kali renovasi, ada beberapa hal yang tetap dipertahankan di masjid tersebut, seperti meriam peninggalan Belanda yang ada di depan masjid, beduk hadiah dari musabaqah tilawatil quran (MTQ) yang tetap disimpan sampai sekarang, serta kitab-kitab peninggalan sejak dahulu dari berbagai bahasa yang disimpan di perpustakaan masjid ini.

"Yang paling dipertahankan di masjid ini adalah meriam Belanda di depan yang masih ada sampai sekarang, karena dulu kan belum ada sirine masjid seperti zaman sekarang, itu digunakan buat peringatan buka puasa. Kalau sekarang hanya dibuat pajangan. Lalu, ada beduk kecil, dari 1988 hasil dari MTQ Nasional di Way Halim, Bandarlampung yang disimpan di sini. Yang paling dijaga juga ada kitab-kitab kuno, peninggalan dari dulu, kitab-kitab tersebut ada dalam beberapa bahasa, seperti Arab, Belanda, Portugis, dan beberapa bahasa lain yang sekarang masih disimpan di perpustakaan masjid ini," kata Sumanta pula.

Menurutnya, untuk perpustakaan tersebut, dulu dibuka untuk umum dan ada yang menjaganya, yaitu Noval Arbai. Akan tetapi, sekarang ditutup karena yang menjaga sudah sibuk, sejak ojek online ramai, dia jadi menjadi pengojek online itu. Padahal sebenarnya waktu dibuka untuk umum, perpustakaannya lumayan banyak yang berkunjung, katanya lagi.

Bekas Markas Pejuang
Masjid Jami Al-Anwar bukan hanya menjadi masjid tertua di Lampung dan tempat bagi masyarakat untuk belajar mengaji sejak zaman dulu, tetapi juga menjadi tempat atau markas bagi para pejuang kemerdekaan di Lampung.

Masjid ini selalu menjadi tempat bagi para pejuang kemerdekaan bersama dengan para ulama untuk mengatur strategi perjuangan yang dilakukan seusai shalat dan mengaji.

Dalam buku berjudul "Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia" karya Abdul Baqir Zein tahun 1999, para tokoh dan ulama yang terlibat dalam membentuk strategi perjuangan di antaranya adalah Haji Alamsyah Ratu Prawiranegara (mantan Menteri Agama RI), Kapten Subroto, KH Nawawi, dan KH Thoha.

Selain para tokoh besar yang terlibat, dalam buku tersebut dikatakan bahwa masyarakat pun ikut bahu membahu dalam mempertahankan Bumi Lampung, Sang Bumi Ruwa Jurai ini dari jajahan Kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka.

Masjid Jami Al-Anwar juga sering dijadikan sebagai tempat singgah dan menginap bagi para peziarah dari luar pulau, terutama dari Pulau Jawa yang sedang berziarah ke Lampung.

"Masjid ini juga sering dijadikan tempat singgah bagi peziarah dari luar pulau, terutama Pulau Jawa, bahkan mereka kalau sehabis berziarah biasanya mereka menginapnya di sini. Mungkin karena masjid ini masjid yang sudah ada lama, jadi orang-orang di Pulau Jawa yang suka berziarah turun temurun tahu masjid ini, jadi kalau sehabis berziarah, ya ke sini," ujar Sumanta lagi.

Saat ditanya harapan ke depan untuk Masjid Jami Al-Anwar ke depannya, Sumanta selaku pengurus masjid bersejarah berusia sekitar 180-an tahun ini, mengatakan ingin sekali halaman depan masjid dibuat beraspal semua, biar lebih rapi dan bersih dilihat, serta beberapa pintu mungkin bisa ditutup agar anak-anak yang bermain tidak bolak-balik di masjid agar masjid terlihat lebih suci dan menjaga ketertiban serta keadaban sehingga khusyuk beribadah umat di salam masjid ini.

Lingkungan sekitar masjid ini memang telah dipadati permukiman warga, sehingga seringkali anak-anak menggunakannya untuk bermain dan bercengkerama. Apalagi sisi tengah masjid ini terdapat jalan lurus menembus ke dalam ke bagian sisi lain jalan umum di sebelahnya dari pintu masuk masjid di depannya.

"Ke depannya maunya lebih dibersihkan halaman depan, ya diaspal, biar rapi dan teratur untuk parkir juga. Terus pintunya juga, mungkin beberapa pintu bisa ditutup, biar anak-anak tidak terlalu sering bolak-balik ke masid buat lewat atau bermain, karrna ini kan tempat ibadah, biar lebih suci, dilihatnya juga enak kalau bersih dan tertib," ujar Sumanta pula.

Masjid Jami Al-Anwar sebagai masjid tertua di Lampung benar-benar memiliki nilai bersejarah yang tinggi dan berarti bagi umat serta terbukti hingga kini tetap dapat dipertahankan fungsinya, bukan hanya bagi warga dan umat Islam sekitarnya, tapi juga bagi para peziarah dari daerah lain yang datang ke Lampung.

Semua pihak semestinya peduli untuk terus menjaga dan mempertahankan keberadaan serta fungsi secara optimal dari Masjid Jami Al-Anwar ini, agar tetap terjaga sepanjang masa.