Perjalanan Akhir "Ekspedisi Indonesia Biru"

id Perjalanan Akhir Ekspedisi Indonesia Biru, Ekspedisi Indonesia Biru, Dandhy dan Ucok, Dandhy Dwi Laksono, Ucok Suparta

Perjalanan Akhir "Ekspedisi Indonesia Biru"

Dandhy Dwi Laksono saat menayangkan dan mendiskusikan film dokumenternya "Kasepuhan Ciptagelar" di STAIN Metro, Lampung, Sabtu (26/12).(FOTO: ANTARA Lampung/Budisantoso Budiman)

"Perjalanan kami telah menempuh sekitar 20.000 km dilalui, mulai dari Badui pertama kali dan akan diakhiri di Badui lagi, sampai selesai ditargetkan pada 31 Desember 2015 ini," ujar Dandhy pula.
Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Setahun sudah dua orang pengelana bersepeda motor dalam "Ekspedisi Indonesia Biru", Dandhy Dwi Laksono (39) dan "Ucok" Suparta Arz (34), telah berkeliling menembus kawasan pedalaman berbagai daerah di Indonesia.

Keduanya menargetkan pada 31 Desember 2015 ini, akan mengakhiri perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru itu, dengan hasil dokumentasi dan produksi film dokumenter, tulisan dan foto-foto serta video dari berbagai daerah di Indonesia yang telah dijelajahi mereka.

Pada akhir perjalanan yang dimulai 1 Januari 2015 dari kawasan kampung Badui di Banten dan akan diakhiri pula di kampung Badui itu, Dandhy dan Ucok menyempatkan beberapa hari mampir di Provinsi Lampung, dalam perjalanan darat menggunakan dua sepeda motor bebek, menyusuri jalan-jalan di lintas Sumatera dari Aceh hingga ke Bengkulu dan menuju Lampung.

Keduanya saat berada di Provinsi Lampung sempat menyambangi Kota Metro pada Jumat (25/12) bersamaan libur Natal 2015 lalu.

Selama berada di Lampung 2--3 hari ini, Dandhy dan Ucok antara lain pada Sabtu (26/12), hadir sebagai narasumber penayangan dan diskusi salah satu film dokumenter perjalanan mereka, "Kasepuhan Ciptagelar", dokumentasi menjelajah dan membaur dengan masyarakat Desa Ciptagelar bagian dari Kasepuhan Banten Kidul, terletak di kaki Gunung Halimun, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Permukiman cantik berlatar gunung di desa ini tidak berubah selama ratusan tahun. Bahkan, disebutkan mereka berhasil menjaga tradisi selama 600-an tahun. Hal itu terbukti lewat upacara Seren Taun yang telah digelar ke-645 kalinya. Desa ini memang punya tradisi adat yang kuat layaknya warga Badui Provinsi Banten. Ciptagelar menjadi favorit wisatawan karena menyuguhkan wisata seru.

Kasepuhan Banten Kidul adalah kelompok masyarakat adat sub-etnis Sunda yang tinggal di sekitar Gunung Halimun, terutama di wilayah Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat) sebelah barat hingga ke Kabupaten Lebak (Provinsi Banten), dan ke utara hingga ke Kabupaten Bogor. Kasepuhan (sepuh, tua, Red) menunjuk pada adat istiadat lama yang masih dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul melingkup beberapa desa tradisional dan setengah tradisional, yang masih mengakui kepemimpinan adat setempat. Terdapat beberapa Kasepuhan di antaranya adalah Kasepuhan Ciptagelar, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug. Kasepuhan Ciptagelar sendiri melingkup dua Kasepuhan yang lain, yakni Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Sirnaresmi.

Acara nonton bareng dan diskusi Film "Kasepuhan Ciptagelar" yang diadakan Komunitas Cangkir Kamisan itu, digelar di Kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Metro, Lampung, Sabtu siang hingga petang.

Menurut Dharma Setyawan dan Oki Hajiansyah Wahab, pegiat Komunitas Cangkir Kamisan itu, sengaja mengundang dan mendatangkan Tim Ekspedisi Indonesia Biru untuk berbagi pengalaman dan ilmu sekaligus menampilkan dan mendiskusikan hasil penjelajahan mereka.

"Mudah-mudahan kehadiran Tim Ekspedisi Indonesia Biru ini bisa memotivasi dan memberikan inspirasi bagi kami anak-anak muda di Metro untuk berbuat nyata bagi masyarakat sekitar," ujar Dharma yang juga dosen itu pula.

Ratusan mahasiswa dan berbagai anggota komunitas, termasuk para jurnalis, hadir dalam acara yang menghadirkan Dandhy dan Ucok, dengan pembahas/penanggap Kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kota Metro, Yerri Noer Kartiko, dan redaktur LKBN ANTARA Lampung.

Usai nonton bareng dan diskusi film itu, Dandhy dan Ucok masih menyempatkan menginap lagi di Metro, dan baru pada Minggu (27/12) pagi melanjutkan perjalanan ke Bandarlampung.

Di Bandarlampung, Dandhy dan Ucok hanya singgah sebentar, antara lain untuk mampir ke sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung dan bertemu serta ngobrol santai dengan beberapa pengurusnya. Setelah itu pada Minggu siang meneruskan perjalanan mereka.

Minggu siang, Dandhy dan Ucok pun bergegas melanjutkan perjalanan ke Kalianda Lampung Selatan, untuk selanjutnya akan menuju Bakauheni dan menyeberang ke Merak, Banten.

Dandhy adalah juga jurnalis adalah Pengurus Majelis Pertimbangan Organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia itu, sedangan Ucok, juga jurnalis yang berasal dari Aceh.

Menurut Dandhy dan Ucok, selepas dari Bandarlampung, mereka akan melanjutkan perjalanan menggunakan dua sepeda motor bebek itu menyusuri Jalan Lintas Tengah Sumatera menuju Kalianda, Lampung Selatan, serta melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Bakauheni untuk menyeberang ke Merak, Banten.

"Rencana nanti mampir dulu tempat keluarga mertua di Kalianda," ujar Dandhy yang ternyata keluarga istrinya tinggal di Kalianda, Lampung Selatan itu pula.

Selanjutnya, dia akan melihat lebih dulu kondisi arus penumpang penyeberangan kapal feri dari Bakauheni ke Merak, bila tak terlalu padat, dia berencana hari itu juga akan segera melanjutkan perjalanan dengan berlayar di Selat Sunda menuju Banten.

Ucok menambahkan, perjalanan awal ekspedisi mereka dimulai pada 1 Januari lalu dari kawasan masyarakat Badui di Banten, dan direncanakan akan diakhiri pula dengan kunjungan persingggahan di Badui Banten itu, sebelum benar-benar mengakhiri perjalanan selama setahun berkeliling Indonesia ini pada 31 Desember 2015 nanti.

Saat tiba kembali di perkampungan warga Badui di Banten itu, duet Dandhy dan Ucok pun bertemu dengan orang-orang di sini yang mereka temui setahun lalu.

Di media sosial facebook "Ekspedisi Indonesia Biru" itu, Dandhy pun menuliskan kesannya kembali ke kampung Badui tersebut:

"Setahun Kemudian. Reuni kecil dengan keluarga Pak Sapri dan Komong di Ciboleger, Banten. Mereka adalah para "bintang film" Badui yang kami rekam setahun lalu, saat memulai ekspedisi ini.

Kami buka ekspedisi ini dari Badui Dalam, dan akan kami tutup dari Badui Dalam pula, esok dan lusa.

Banyak hal terjadi dalam setahun ini. Salah satu dari delapan anak Pak Sapri, memutuskan "turun" menjadi warga Badui Luar.

Komong membawakan kami durian, langsung dari salah satu pohon miliknya di Badui Dalam.

Sulit untuk tidak sentimentil.."

Sebelumnya, saat bertemu Dandhy dan Ucok menjelang melanjutkan perjalanan dari Bandarlampung menuju Bakauheni, Lampung Selatan untuk menyeberang ke Merak, Banten, Ucok berharap: "Mudah-mudahan semua berjalan lancar sesuai rencana dan 31 Desember nanti kami bisa menyelesaikan perjalanan panjang ini."

Dandhy juga menyatakan, setelah menyelesaikan perjalanan ini, dia bersama Ucok akan menuntaskan pembuatan video film dokumenter dari hasil penjelajahan ke seluruh Indonesia itu. "Kami juga akan buat dokumentasi foto dan tulisan serta menerbitkan buku tentang perjalanan itu," katanya pula.

            Bikin Film Dokumenter Lagi
Menurut Dandhy, selama perjalanan Ekspedisi Indonesia Biru dalam setahun ini, sebanyak enam hingga tujuh film dokumenter telah dihasilkan, yaitu: "Baduy", "The Mahuzes", "70 Tahun Merdeka", "Lewa di Lembata", "Kala Benoa", "Samin VS Semen", dan "Kasepuhan Ciptagelar".

Film dokumenter itu, selain dapat ditonton di Youtube, ternyata pula menjadi bahan tontonan sekaligus diskusi oleh sejumlah kalangan kampus dan komunitas di berbagai tempat di Indonesia.

Menurut Dandhy dan Ucok, selain film dokumenter yang sudah selesai edit dan telah ditayangkan di Youtube itu, mereka masih harus membikin dan menyelesaikan belasan lagi film dokumenter dari perjalanan keliling Indonesia itu.

Mereka berdua telah merencanakan setidaknya sebanyak 20 tema film dokumenter akan dihasilkan dari perjalanan panjang itu, selain dokumentasi berupa foto dan tulisan/artikel.

"Perjalanan kami telah menempuh sekitar 20.000 km dilalui, mulai dari Badui pertama kali dan akan diakhiri di Badui lagi, sampai selesai ditargetkan pada 31 Desember 2015 ini," ujar Dandhy yang juga CEO WatchdoC Documentary Maker itu pula.

Film dokumenter yang dihasilkan dua jurnalis itu, telah menjadi bahasan dan kajian diskusi di kampus-kampus sejumlah daerah di Indonesia, termasuk oleh berbagai komunitas lainnya.

Namun, di antara film itu sempat pula menimbulkan kontroversi dan reaksi dari sejumlah pihak, seperti penayangan dan diskusi Film "Samin VS Semen" di kampus tertentu dilarang dan dibubarkan karena alasan berbau ajaran komunis.

Film dokumenter itu mengisahkan tentang perlawanan penganut ajaran Samin di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, Jawa Tengah menentang adanya pabrik semen terbesar di Tanah Air, yaitu Semen Gresik dan Indocement Group yang akan membangun pabrik di daerah mereka.

Film itu mengambil latar belakang tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Pati dan Rembang (Jawa Tengah), serta Tuban di Jawa Timur.

Dandhy menegaskan, salah satu dorongan untuk melaksanakan ekspedisi itu adalah keprihatinan terhadap kehadiran televisi di Indonesia yang minim edukasi.

"Ekspedisi ini bukan sekadar jalan-jalan. Bukan hanya mengangkat eksotisme objek wisata. Tapi mengangkat aktualitas dan problematika masyarakat setempat, adat, tradisi, maupun kearifan lokal di luar gambaran umum yang selama ini ditampilkan di publik," ujarnya lagi.

Ia mengaku sejak awal tidak berminat mengangkat eksotisme maupun sekadar menampilkan keindahan atau pesona wisata dari daerah yang dijelajahinya, karena menganggap semua hal itu sudah dilakukan banyak media televisi saat ini.

Namun dalam ekspedisi kali ini, keduanya berniat menampilkan kondisi aktual kondisi masyarakat Indonesia seutuhnya, dari sisi positif maupun sebaliknya, untuk menjadi gambaran komprehensif kekinian bangsa dan negeri ini.

Setelah melakukan perjalanan panjang itu, Dandhy pun dengan lantang berani mengkritik kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dalam berbagai bidang.

Menurut dia, berdasarkan fakta hasil ekspedisi itu, sesungguhnya telah terjadi kebijakan yang kerap keliru dan salah urus di lapangan yang berdampak buruk bagi masyarakat maupun lingkungan sekitarnya.

Dia juga menyoroti fakta agama-agama baru yang membuang begitu saja ajaran animisme dan dinamisme, tanpa berpikir panjang lagi untuk menjaga nilai-nilai luhur dan kearifan yang tersimpan di dalamnya.

Namun belakangan faktanya, ajaran baru yang dinilai lebih modern dan rasional itu, justru telah gagal menerjemahkan dan melestarikan peradaban maupun kearifan tradisional yang justru sangat baik untuk tetap dipertahankan, karena terbukti telah mampu menjaga harmoni dan keserasian dalam masyarakat yang cinta dan melestarikan lingkungan, tidak berkonflik serta hidup penuh kebersamaan dan gotong-royong.

"Animisme dan dinamisme dicibir atau dibully. Tapi kemudian, adat, tradisi dan kebudayaan serta kearifan tradisional menjadi tergerus. Lingkungan hidup yang semula dikeramatkan dan disembah pun dibiarkan menjadi tak terurus lagi dan akhirnya rusak serta hancur. Sistem pendidikan yang dikembangkan justru mengelaborasi konflik," ujar Dandhy lagi.

Ia menuding, ada yang salah di dalam kebijakan atas agama, kebudayaan maupun sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia saat ini.

"Sistem pendidikan kita ternyata tidak mampu mengadaptasi kondisi aktual dan lokal yang harus dihadapi setiap saat. Gagal menghadapi tantangan keseharian. Esensi pendidikan yang keliru," ujarnya lagi.

Menurut Dandhy, perjalanan itu dilakukan tanpa dukungan biaya dari sponsor, tapi hasil dari menabung selama lima tahun, termasuk menggunakan tabungan milik istrinya. "Saya menyiapkan ekspedisi ini dengan menabung selama lima tahun, dan tabungan itu dihabiskan dalam perjalanan hanya setahun ini," ujarnya sambil tersenyum pula.

Namun dia mengaku, setelah melakukan perjalanan yang menghabiskan dana tabungan dia dan istrinya selama bertahun-tahun disimpan itu, kini justru merasa bertambah kaya, yaitu kaya persaudaraan dan mendapatkan pengalaman baru yang luar biasa.

Perjalanan Tim Ekspedisi Indonesia Biru itu, dimulai dari Rumah Watchdoc di Pondokgede, Bekasi (Jawa Barat) pada 1 Januari 2015, pukul 09.00 WIB.

"Kami sengaja memilih memulai perjalanan dari Indonesia bagian timur, karena selama ini umumnya ekspedisi pernah dilakukan sebelumnya dimulai dari Indonesia bagian barat, sehingga ketika sampai Indonesia timur sudah kehabisan logistik dan kelelahan. Kami sengaja memulai dari timur Indonesia agar dapat mengangkat fenomena yang banyak tidak diketahui umum, saat logistik mencukupi dan tenaga masih segar bugar," kata Dandhy lagi.

Rute perjalanan yang dilalui Dandhy dan Ucok itu, antara lain menyusuri sisi selatan Pulau Jawa, Semarang, Yogyakarta, ke timur melintasi Bali, Nusa Tenggara, Timor, Papua, Kepulauan Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera menyusuri Aceh ke Mentawai (Sumbar) dan singgah di Lampung, dan kemudian bersiap kembali ke tanah Jawa singgah di Baduy lagi, sebelum kembali ke tempat awal melakukan perjalanan pada 31 Desember nanti.

Selama perjalanan itu, Dandhy dan Ucok dengan dukungan peralatan yang sudah disiapkan, beberapa kamera, termasuk drone, adalah untuk mendokumentasikan aktivitas sosial ekonomi masyarakat (livelihood), keragaman hayati (biodiversity), kearifan budaya lokal, isu energi dan permasalahan lingkungan hidup yang didokumentasikan melalui foto, video, maupun tulisan dan disebarluaskan bagi kepentingan publik.

Berbagai bahan publikasi dan perkembangan terkait ekspedisi itu, bisa dinikmati khalayak di media umum maupun media sosial sepanjang perjalanan, termasuk di laman Facebook "Ekspedisi Indonesia Biru".

Sedangkan dokumentasi berupa tulisan yang lebih panjang, foto, dan video secara utuh, akan diluncurkan usai ekspedisi yang dijadwalkan selesai 31 Desember 2015 nanti.

Dandhy dan Ucok berjanji, semua hasil perjalanan dalam ekspedisi ini akan diolah, dikelola, dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik melalui karya jurnalistik feature video, artikel, esai foto, buku, maupun film dokumenter, dengan menceritakan tentang kehidupan sosial yang berkeadilan secara ekonomi, arif dalam budaya, dan lestari bagi lingkungan.

"Mudah-mudahan hasil ekspedisi kami ini dapat memberi gambaran nyata dan bisa menjawab berbagai persoalan di tengah masyarakat dan bangsa ini, ketika kebijakan publik, kekuatan modal, dan perubahan sosial memiliki dampak-dampak yang tidak selalu sejalan dengan kehendak dan keinginan masyarakat setempat," ujar Dandhy yang dianggukkan pula oleh Ucok, rekan seperjalanannya itu.

Dandhy dan Ucok terbukti mampu menimbulkan reaksi "mengguncang" atas karya film dokumenter telah dipublikasikan mereka, dan dipastikan karya film dokumenter, video, artikel atau tulisan dan dokumentasi foto maupun buku yang akan mereka hasilkan lagi nantinya masih akan menggetarkan dan mengguncang -guncang lagi negeri ini selanjutnya.

Guncangan yang semestinya membuka mata Indonesia, ternyata banyak hal telah terjadi di tengah masyarakat saat ini perlu dilakukan instrospeksi, evaluasi, dan koreksi, untuk menuju Indonesia yang lebih lestari, manusiawi dan beradab, serta benar-benar maju yang kemajuannya dirasakan seluruh warga negeri ini.

Itulah agaknya obsesi dan tujuan akhir dari Ekspedisi Indonesia Biru yang dilakukan duet Dandhy Dwi Laksono dan "Ucok" Suparta Arz.

Hasil Ekspedisi Indonesia Biru dalam perjalanan panjang dan melelahkan itu, seharusnya memberi manfaat ganda bagi negeri ini dan kita semua.