Bandarlampung (ANTARA) - Pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Presiden Republik Indonesia terpilih, Prabowo Subianto, sebesar delapan persen merupakan target realistik dengan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh komoditas udang budidaya sebagai ujung tombak pendulang devisa.

Sektor budi daya udang mampu berkontribusi sebesar dua persen dari pertumbuhan ekonomi itu bilamana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mampu menertibkan tata aturan budi daya perikanan yang sampai hari ini masih tumpang tindih serta membebaskan para pelaku usaha budidaya tambak udang dari bayang-bayang ketakutan akan dipidanakan oleh aparat penegak hukum dalam setiap kali melangkah membangun usaha.

Demikian benang merah yang bisa disimpulkan dari acara audiensi antara jajaran pengurus sejumlah asosiasi perikanan budi daya dan Komisi IV DPR RI yang berlangsung di Gedung Nusantara, Kompleks DPR-RI, Jakarta, pada Senin (24/6/2024). Audiensi yang dipimpin Wakil Ketua Komisi IV DPR-RI Budhy Setiawan dari Fraksi Partai Golongan Karya itu secara khusus membahas masalah kisruh penanganan tambak udang di Karimun Jawa.

Audiensi itu dihadiri Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Prof Rokhmin Dahuri, Wakil Ketua MAI Budhy Fantigo, Direktur Eksekutif Shrimp Club Indonesia (SCI) Rully Setya Purnama, pengurus pusat SCI Dr Ir Andi Tamsil, Ketua Umum Forum Udang Indonesia (FUI) Budhi Wibowo, Sekretaris Jenderal FUI Coco Kokarkin, Ketua Yayasan Bantuan Hukum Indonesia Menggugat Ahmad Gunawan, serta sejumlah petambak di antaranya Subroto dan Sugeng Cahyono.

"Indonesia juga perlu segera keluar dari midle income trap menuju negara maju dan berdaulat secara ekonomi dengan cara mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen sebagaimana yang dicanangkan bapak Prabowo, selaku Presiden RI terpilih. Target tersebut bisa dicapai jika pemerintah di bawah kepemimpinan bapak Prabowo dan sektor pelaku bisnis bekerja sama bahu-membahu dalam suasana kondusif. Bukan sebaliknya, saling menghajar dan menghancurkan,” papar Prof Rokhmin Dahuri, membuka paparan di hadapan para wakil rakyat.

Menurut Prof  Rokhmin, sebanyak 40 persen nilai ekspor perikanan berasal dari komoditas udang budidaya. Potensi sektor budidaya masih luar biasa besar, mengingat Indonesia punya garis pantai nomor dua terpanjang di dunia, yakni 99,083 kilometer. Bandingkan dengan negara Equador yang hanya memiliki garis pantai 2.000 kilometer tapi bisa menjadi juara pertama dengan mengekspor udang sebesar 1,1 juta ton.

Dengan potensi yang sedemikian besar, Profesor Rokhmin menyayangkan jika Indonesia baru berada di urutan ke lima, dengan volume ekspor 5.500 ton. 

"Kita harus mampu merebut posisi yang kini diduduki Ekuador. Kami telah meneliti kondisi garis pantai seluruh Nusantara dan mendapati sebanyak tiga juta lahan pesisir yang layak bagi budidaya udang. Idealnya, pemerintah segera mendorong pembukaan lahan tambak baru seluas 500 hektare. Kemudian, setiap tahun berikutnya dilakukan pembukaan lahan tambak baru sebesar 100 hektare. Langkah ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi ke level lebih tinggi di mana sektor udang saja akan menyumbang sebesar 2 persen dari total target pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai oleh pemerintah kedepan, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo,” tandas Rokhmin.  

Tambak Karimun Jawa harus beroperasi

Namun dari berbagai uraian yang terungkap dalam forum audiensi antara asosiasi petambak dan Komisi IV DPR-RI, paparan optimistis untuk menjadikan sektor budidaya udang sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, kini tengah menghadapi ancaman sangat serius yang dipicu oleh permasalahan penanganan kasus pencemaran limbah di perairan Karimun Jawa.

Proses hukum yang kini sedang dihadapi para petambak Karimun Jawa serta model penanganan yang memblow-up para petambak seolah-olah sebagai pelaku kriminal telah menciptakan suasana teror dan ketakutan. Di mana nasib serupa yang kini dihadapi para petambak itu juga berpotensi menimpa petambak lain di seluruh pelosok Indonesia.

Diketahui, pemerintah melalui aparatus Penegakan Hukum (Gakkum KLHK) telah menghentikan operasional tambak udang Karimun Jawa dan menahan empat petambak dengan tuduhan pencemaran lingkungan. Keempat petambak tersebut, yakni Sutrisno, Mirah Sanusi Darwiyah, Sugeng Santoso, dan Sugiyono, mulai menghadapi persidangan pertama di Pengadilan Negeri Jepara , pada Selasa (25/6/2024).

Direktur Ekekutif SCI Rully Setya Purnama di hadapan Komisi IV memaparkan, para pembudidaya tambak udang memiliki orientasi mendedikasikan seluruh produksinya untuk tujuan ekspor ke banyak negara terutama Amerika Serikat (AS).

Ketatnya negara-negara buyer dalam memperlakukan produk ekspor udang asal Indonesia sejatinya sudah menciptakan kesadaran di benak para pembudidaya untuk mempraktekkan proses budidaya yang ramah lingkungan dan seminimal mungkin mengasilkan limbah buangan.

Dipaparkan Rully, para petambak secara umum sangat sadar kualitas input produk yang akan dipakai untuk budidaya udang. Produk-produk tersebut, menurut Rully, haruslah tersertifikasi, teregistrasi sesuai standar SNI. Selain itu, sambung dia, juga terbebas dari unsur cemaran logam berat dan bebas antibiotik.

Para buyer di luar negeri, lanjut Rully,  akan menghukum eksportir udang Indonesia dengan menolak produk udang jika mendapati ada sedikit saja kandungan antibiotik, logam berat atau unsur pencemaran lainnya. Dengan tingginya kesadaran akan seriusnya ancaman para buyer luar negeri, ujar dia, seharusnya pendekatan yang dilakukan pemerintah kepada para petambak dalam kasus-kasus lingkungan hidup cukup dengan cara persuasif, dengan menerapkan tindakan adimnistratif.

Kenyataan lain di lapangan, para petambak dihantui ancaman pidana hingga 10 tahun dan denda sampai trliunan jika aparat mendapati air buangan dari IPAL tambak berada di atas baku mutu. Ancaman pidana bisa terjadi meskipun kelebihan baku mutu hanya 0,01 dari batas yang ditentukan.

"Ini sangat mengerikan buat dunia usaha perikanan budidaya. Padahal, pelanggaran seperti itu, sepatutnya cukup dengan sanksi administratif dan kewajiban untuk memperbaiki kualitas IPAL. Pendekatan yang bersifat persuasif dan pembinaan seperti itu pernah terjadi di masa lalu tapi berubah drastis saat ini," papar Rully .

Oleh karena itulah,  Rully mengungkapkan, jika keempat petambak yang kini tengah dipidanakan itu diputus bersalah di pengadilan sebagai pelaku pencemaran lingkungan, itu ibarat lonceng kematian bagi para petambak di seluruh pelosok tanah air. “Kami akan selalu dihantui perasaan was-was dan ketakutan. Netizen dan pegiat lingkungan akan semakin bersemangat mengembuskan tudingan sebagai pelaku pencemaran lingkungan lewat medsos  yang belum tentu punya dasar, lalu berakhir di pengadilan seperti yang dihadapi petambak Karimun Jawa,” ujar Rully.

Keprihatinan juga disampaikan Pengurus Pusat SCI Dr Ir Andi Tamsil M Si di hadapan anggota DPR RI Komisi IV tersebut. 

Menurut dia, sejak tuduhan pencemaran lingkungan dialamatkan kepada para petambak Karimun Jawa, seluruh asosiasi budi daya perikanan berusaha melakukan audiensi dengan para pengambil keputusan lintas kementerian dan lembaga. Hal itu ditempuh, ungkap Tamsil, bukan ditujukan untuk mengadu domba antarlembaga, melainkan dalam rangka meminta perlindungan lantaran tuduhan yang diterima para petambak dinilai berlebihan dan tidak proporsional.

“Bukan hanya dari netizen dan pegiat lingkungan. Saya bahkan merasa dipermalukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono di depan publik saat dalam sebuah acara perikanan di Hotel Rizt Carlton. Dalam forum saya mencoba menyampaikan situasi yang terjadi di Karimun Jawa dan jawaban Pak Menteri sangat mencengangkan karena menyebut tidak ada satupun petambak Karimun Jawa yang membangun IPAL. Kami sampai harus terjun ke lapangan untuk memastikan bahwa 100 persen petambak Karimun Jawa sudah membangun IPAL dengan derajat kualitas yang berbeda-beda,” tandas Tamsil.

Sementara itu, Ketua Umum FUI Budhi Wibowo pada kesempatan itu mengingatkan, kisruh penanganan tambak udang Karimun Jawa telah menjadi pembicaraan di beberapa forum internasional, khususnya di antara para buyer. Penanganan kasus tersebut telah memunculkan imej bahwa produk udang Indonesia dibudidayakan dengan cara yang tidak ramah lingkungan.

“Ini sangat berbahaya. Terutama, karena kita sedang menghadapi tren penurunan ekspor pada kurun waktu dua tahun terakhir rata-rata sebesar 5 persen. Buyer sangat sensitif dengan informasi seperti ini,” ujarnya.

Bertolak dari semua kondisi tersebut, menutup audensi, Ketua MAI Rokhim Dahuri meminta dukungan dari jajaran Komisi IV DPR RI agar mau mendorong terciptanya sinergitas antara usaha budidaya tambak udang Karimun Jawa dan BTN Karimun Jawa. Menanggapi itu, para anggota Komisi IV DPR RI menyatakan sangat mendengarkan suara para petambak dan asosiasi perikanan budidaya serta menjanjikan akan menyampaikan seluruh uraian dan pemikiran kepada rekan kerja Komisi IV yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).


Pewarta : Agus Wira Sukarta
Editor : Edy Supriyadi
Copyright © ANTARA 2024