Bandarlampung (ANTARA) - Mahasiswa dan buruh menyayangkan perkataan Wali Kota Bandarlampung Herman HN menanggapi aksi unjuk rasa sejumlah elemen menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di depan Gedung DPR Provinsi Lampung, pada Rabu (7/10).
"Kami menilai ucapan spontan wali kota tersebut dianggap sangat tidak memihak nasib para pekerja atau buruh di Kota Bandarlampung yang sedang memperjuangkan nasib para buruh," kata Ketua bidang Konsolidasi, Dewan Pengurus Pusat Federasi Hukatan KSBSI Yuce Hengki Sandok, dalam keterangannya, di Bandarlampung, Jumat.
Menurutnya, sebagai seorang pemimpin seharusnya tidak berbicara seperti itu, karena melukai para buruh.
Ia mengatakan bahwa mahasiswa dan buruh hanya menyampaikan hak yang diatur dalam konstitusi yang perlu difasilitasi untuk menyampaikan kepada pemerintah pusat.
Sebagai masyarakat bawah, lanjutnya, pihaknya tidak percaya lagi terhadap pemimpin seperti itu jika perkataannya tidak sesuai dan tidak memberikan kesejukan dalam masyarakat dalam kondisi seperti itu.
Meskipun Wali Kota Herman HN sudah meminta maaf, kata dia, tentunya pihaknya belum bisa menerima itu karena menyakitkan hati sementara mereka berjuang untuk masyarakat.
"Saya mewakili suara buruh mengimbau kepada para buruh jangan lagi memilih pemimpin yang tidak memperhatikan nasib para buruh," kata Yuce.
Sementara itu, salah satu perwakilan mahasiswa dari UIN Raden Intan, Akhmad Lathif Abdillah, mengatakan tidak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Wali Kota Bandarlampung tersebut.
Aksi ini dilakukan secara serempak se-Indonesia jadi seharusnya memfasilitasi untuk menyampaikan kepada pemerintah pusat untuk mendukung perjuangan mahasiswa dan para buruh ini.
"Setelah banyak korban pertumpahan darah, kok malah dia bilang begitu, itu yang membuat saya kurang setuju, setidaknya kami kan sudah berjuang," kata dia.
Perwakilan mahasiswa dari Polinela, Yongki, yang tergabung dalam aksi tersebut mengatakan, para mahasiswa turun ke jalan dalam aksi "Lampung Memanggil", dengan hati nurani.
Pihaknya tidak percaya kepada pemerintah, oleh karena itu ingin menyampaikan kepada DPRD Provinsi Lampung agar mendesak pemerintah pusat agar presiden tidak mengesahkan undang-undang tersebut.
"Kami menilai ucapan spontan wali kota tersebut dianggap sangat tidak memihak nasib para pekerja atau buruh di Kota Bandarlampung yang sedang memperjuangkan nasib para buruh," kata Ketua bidang Konsolidasi, Dewan Pengurus Pusat Federasi Hukatan KSBSI Yuce Hengki Sandok, dalam keterangannya, di Bandarlampung, Jumat.
Menurutnya, sebagai seorang pemimpin seharusnya tidak berbicara seperti itu, karena melukai para buruh.
Ia mengatakan bahwa mahasiswa dan buruh hanya menyampaikan hak yang diatur dalam konstitusi yang perlu difasilitasi untuk menyampaikan kepada pemerintah pusat.
Sebagai masyarakat bawah, lanjutnya, pihaknya tidak percaya lagi terhadap pemimpin seperti itu jika perkataannya tidak sesuai dan tidak memberikan kesejukan dalam masyarakat dalam kondisi seperti itu.
Meskipun Wali Kota Herman HN sudah meminta maaf, kata dia, tentunya pihaknya belum bisa menerima itu karena menyakitkan hati sementara mereka berjuang untuk masyarakat.
"Saya mewakili suara buruh mengimbau kepada para buruh jangan lagi memilih pemimpin yang tidak memperhatikan nasib para buruh," kata Yuce.
Sementara itu, salah satu perwakilan mahasiswa dari UIN Raden Intan, Akhmad Lathif Abdillah, mengatakan tidak setuju dengan apa yang disampaikan oleh Wali Kota Bandarlampung tersebut.
Aksi ini dilakukan secara serempak se-Indonesia jadi seharusnya memfasilitasi untuk menyampaikan kepada pemerintah pusat untuk mendukung perjuangan mahasiswa dan para buruh ini.
"Setelah banyak korban pertumpahan darah, kok malah dia bilang begitu, itu yang membuat saya kurang setuju, setidaknya kami kan sudah berjuang," kata dia.
Perwakilan mahasiswa dari Polinela, Yongki, yang tergabung dalam aksi tersebut mengatakan, para mahasiswa turun ke jalan dalam aksi "Lampung Memanggil", dengan hati nurani.
Pihaknya tidak percaya kepada pemerintah, oleh karena itu ingin menyampaikan kepada DPRD Provinsi Lampung agar mendesak pemerintah pusat agar presiden tidak mengesahkan undang-undang tersebut.