Jakarta (Antaranews Lampung) - Di antara beragam faktor risiko munculnya demensia, merasa kesepian adalah salah satunya, menurut spesialis saraf dari FK Unika Atma Jaya, Dr.dr. Yuda Turana, SpS.
"Kesepian di sini bukan sekedar ditinggal sendiri, tetapi merasa tidak diperhatikan. Bisa saja seseorang, di tengah-tengah keluarganya, tetapi merasa kesepian. Kesepian jangka panjang itu juga faktor risiko demensia," ujar dia usai peresmian ATZI Center oleh Alzheimer Indonesia bersama dengan UNIKA Atma Jaya di Jakarta, Jumat (29/9).
Kondisi ini dialami seorang dengan demensia bernama Suwarti (79). Putra Suwarti, Gerry Saleh berkisah kalau ibundanya terdiagnosa menderita penyakit Alzheimer pada usia 72 tahun, tak lama sejak ditinggal wafat sang suami--ayah Gerry.
"Makin lama, Alzheimer nya makin jelas. Mulai kelihatan tahun 2011. Pemicunya psikologis, saat ayah saya meninggal. Jadi ada seperti sisi traumatis kehilangan, kesepian yang membuat dia merasa ada di dunia berbeda," tutur Gerry.
Demensia, mengutip dari laman Alzheimer Indonesia, menggambarkan serangkaian gejala seperti kehilangan memori, perubahan suasana hati, kesulitan berpikir dan pemecahan masalah hingga bahasa. Kondisi ini terjadi ketika otak mengalami kerusakan karena penyakit semisal Alzheimer dan serangkaian stroke.
Yuda mengatakan, khusus untuk penyakit Alzheimer, penderita biasanya terlebih dulu gangguan kognitif seperti lupa menyimpan barang. Perlahan, penderita juga mengalami gangguan perilaku misalnya mudah marah.
"Penyakit Alzheimer kan sebetulnya gangguan kognitif dan juga perilaku. Awalnya gangguan kognitif dulu, lupa-lupa, nyimpen barang lupa. Tetapi lambat laun atau 3-4 tahun kemudian, itu bisa gangguan perilaku. Ngamuk enggak pada tempatnya, emosi, halusinasi," kata dia.
"Pada masa tahap awal gangguan kognitif, apalagi pada orangtua, dianggap biasa, sehingga datangnya (periksa) saat pasien sudah mengalami gangguan perilaku. Padahal kalau sudah gangguan perilaku, itu terlambat sekali," sambung Yuda.
"Kesepian di sini bukan sekedar ditinggal sendiri, tetapi merasa tidak diperhatikan. Bisa saja seseorang, di tengah-tengah keluarganya, tetapi merasa kesepian. Kesepian jangka panjang itu juga faktor risiko demensia," ujar dia usai peresmian ATZI Center oleh Alzheimer Indonesia bersama dengan UNIKA Atma Jaya di Jakarta, Jumat (29/9).
Kondisi ini dialami seorang dengan demensia bernama Suwarti (79). Putra Suwarti, Gerry Saleh berkisah kalau ibundanya terdiagnosa menderita penyakit Alzheimer pada usia 72 tahun, tak lama sejak ditinggal wafat sang suami--ayah Gerry.
"Makin lama, Alzheimer nya makin jelas. Mulai kelihatan tahun 2011. Pemicunya psikologis, saat ayah saya meninggal. Jadi ada seperti sisi traumatis kehilangan, kesepian yang membuat dia merasa ada di dunia berbeda," tutur Gerry.
Demensia, mengutip dari laman Alzheimer Indonesia, menggambarkan serangkaian gejala seperti kehilangan memori, perubahan suasana hati, kesulitan berpikir dan pemecahan masalah hingga bahasa. Kondisi ini terjadi ketika otak mengalami kerusakan karena penyakit semisal Alzheimer dan serangkaian stroke.
Yuda mengatakan, khusus untuk penyakit Alzheimer, penderita biasanya terlebih dulu gangguan kognitif seperti lupa menyimpan barang. Perlahan, penderita juga mengalami gangguan perilaku misalnya mudah marah.
"Penyakit Alzheimer kan sebetulnya gangguan kognitif dan juga perilaku. Awalnya gangguan kognitif dulu, lupa-lupa, nyimpen barang lupa. Tetapi lambat laun atau 3-4 tahun kemudian, itu bisa gangguan perilaku. Ngamuk enggak pada tempatnya, emosi, halusinasi," kata dia.
"Pada masa tahap awal gangguan kognitif, apalagi pada orangtua, dianggap biasa, sehingga datangnya (periksa) saat pasien sudah mengalami gangguan perilaku. Padahal kalau sudah gangguan perilaku, itu terlambat sekali," sambung Yuda.