Jakarta (ANTARA) - Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menilai podcast dan media sosial dapat diadaptasi perusahaan pers dalam penggunaan media massa untuk mengatasi masalah disrupsi media beberapa tahun terakhir.
Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat Agus Sudibyo mengatakan podcast maupun media sosial dapat menjadi bagian dari pers asalkan memenuhi kode etik yang ditetapkan oleh Dewan Pers.
"Justru, menurut saya, model-model baru media seperti podcast ini seharusnya diinklusi sebagai bagian dari media, mungkin juga bagian dari pers asalkan kode etik jurnalistik yang sudah ditetapkan dewan pers itu bisa diterapkan," ucapnya dalam acara Kaleidoskop Media Massa Tahun 2025 di Jakarta, Selasa.
Agus menekankan perusahaan pers tidak boleh menolak kehadiran media baru yang berkembang di tengah masyarakat. Keengganan menerima media baru itu, kata Agus, sudah tidak realistis terhadap perkembangan media massa saat ini walaupun tidak masuk sebagai bagian dari media massa pers.
"Podcast atau media sosial itu bukan bagian dari media massa, bukan bagian dari pers, tetapi untuk hal ini saya kira sikap seperti itu kok semakin tidak realistis untuk dipertahankan," ucapnya.
Berbekal dari permasalahan disrupsi media yang menimpa banyak perusahaan pers, Agus menjelaskan bahwa definisi pers maupun jurnalis perlu ditinjau ulang, dan diperluas untuk menghadapi tantangan teknologi, yaitu hadirnya media baru.
“Definisi media, definisi jurnalis barangkali perlu ditinjau ulang, barangkali diperluas juga. Jadi, kalau dua tiga tahun yang lalu memang ada semacam keengganan atau reluctance,” katanya.
Dengan hadirnya media baru tersebut, tutur Agus, memerlukan pertemuan yang setara antara pengguna teknologi yang membuat konten dan platform yang mempunyai teknologi tersebut. Hal tersebut, kata Agus, berhubungan dengan keselarasan insentif yang didapatkan kedua pihak.
"Problemnya apa media hari ini adalah ketidakselarasan insentif antara media massa yang punya konten dan platform yang punya teknologi untuk menyebarkan konten. Ini dua pihak bertemu saling membutuhkan, platform membutuhkan konten, media massa membutuhkan teknologi untuk menyebarkan konten," jelasnya.
Munculnya publisher right, menurut Agus, berasal dari permasalahan disrupsi media yang tidak menemukan titik tengah terkait insentif maupun keengganan perusahaan pers adaptif terhadap perkembangan teknologi.
“Pertanyaannya, pertemuan dua pihak ini, adil tidak? Transparan, tidak? Akuntabel, tidak? Jadi, kalau YouTube mendapatkan traffic, bahkan dapat jualan iklan dari kontennya AFU, Youtube dapat berapa, dan apa yang di-share kepada pemilik konten, gitu. Ini persis problem yang dihadapi media massa, sehingga muncul publisher right,” ujarnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: PWI nilai podcast dan medsos solusi hadapi disrupsi media
