BPS: Petani muda di Bengkulu masih rendah

id BPS, st2023, petani, generasi muda, milenial

BPS: Petani muda di Bengkulu masih rendah

Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik M Habibullah saat menjadi pembicara utama dalam kegiatan Perencanaan dan Konsolidasi ST2023 di Bengkulu, Senin. (ANTARA/Boyke Ledy Watra)

Ini yang perlu diperhatikan, jadi perlu mendorong, terutama yang sarjana-sarjana pertanian mereka tetap bekerja di sana, kata dia

Bengkulu (ANTARA) -

Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan jumlah petani dari generasi muda di Provinsi Bengkulu hingga 2023 ini masih rendah.

"Kondisi petani di Provinsi Bengkulu ini hampir sama se-Indonesia, permasalahan utama adalah bagaimana petani itu tidak lagi umur muda kalau bisa ada regenerasi-regenerasi," kata Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik M Habibullah saat menjadi pembicara utama dalam kegiatan Perencanaan dan Konsolidasi ST2023 di Bengkulu, Senin.

Untuk Provinsi Bengkulu menurut dia sebesar 51,26 persen merupakan petani dengan kategori umur tua, 45 tahun ke atas. Sedangkan, petani rentang umur 35-44 tahun hanya 22,97 persen dan 25-34 tahun lebih rendah lagi sekitar 11,50 persen.
"Ini yang perlu diperhatikan, jadi perlu mendorong, terutama yang sarjana-sarjana pertanian mereka tetap bekerja di sana," kata dia.
Hal itu menurut Habibullah sangat penting mengingat hampir separuh masyarakat Bengkulu atau 45,51 persen bekerja di sektor pertanian. Kemudian PDB atas dasar harga berlaku Provinsi Bengkulu sebenarnya didominasi oleh sektor pertanian yakni sekitar 27,69 persen.
Dengan potensi tersebut dan juga upaya peningkatan inovasi serta regenerasi petani, pertanian Provinsi Bengkulu ke depannya akan menjadi sektor potensial dan memiliki posisi penting dalam perekonomian Bengkulu.
Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah menyebutkan melihat data statistik yang menunjukkan mayoritas masyarakat bekerja di sektor pertanian namun hanya mampu menyumbang seperempat untuk perekonomian Bengkulu membuat kaum muda kurang tertarik untuk bertani.

"Nah maka mungkin inilah salah satu penyebab kaum milenial tidak mau masuk pada sektor-sektor pertanian, dianggapnya apa sudah capai lelah tapi hasilnya seperti itu (kurang menguntungkan)," kata dia.

Pola pikir seperti itu lah yang perlu diubah kaum milenial. Rohidin mengatakan cara bercocok tanam kaum urban malahan saat ini malah sangat menjanjikan dan memberikan profit yang besar.

"Bisa bertani tanpa lahan, dan saya kira ini menjadi sebuah kesempatan peluang bagi petani milenial. Nah maka teman-teman di dinas ketahanan pangan mungkin ini yang boleh didukung," kata dia.

Pandangan terhadap petani kata dia jangan lagi seperti potret yang ada di lukisan-lukisan lama. Petani digambarkan kurus, memakai caping, lusuh dan menggembalakan hanya beberapa ekor bebek saja.

"Lukisannya bagus, tapi tidak edukatif. Memang menarik dilihat tapi pesannya itu tidak bagus. Memang kadang-kadang mindset (itu penting diubah), tidak lagi petani itu miskin, petani itu makmur, menggambarkan kemakmuran juga," ujarnya.