Pakar: Daerah bisa tiru Jakarta kembali menerapkan PSBB

id Tim pakar ulm, ulm,Universitas Lambung Mangkurat

Pakar: Daerah  bisa tiru Jakarta kembali menerapkan PSBB

Tes usap di Banjarmasin yang digelar secara "drive thru" di atas kendaraan. (ANTARA/Firman)

Banjarmasin (ANTARA) - Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Hidayatullah Muttaqin mengatakan daerah lain bisa meniru Jakarta kembali menerapkan PSBB jika melihat tren peningkatan kasus konfirmasi positif COVID-29 yang signifikan.

Berdasar perkembangan satu bulan terakhir dan pengalaman selama satu semester pandemi COVID-19 di Indonesia, menurut dia, maka "rem darurat" yang ditarik Provinsi DKI Jakarta dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah sepatutnya ditarik juga oleh daerah lainnya.

"Tren kasus baru akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan yang cukup berbahaya khususnya pada lima besar provinsi paling terdampak," kata Hidayatullah di Banjarmasin, Sabtu.

Ia menggambarkan angka laju pertambahan mingguan terkini mencapai 19,7 persen. Dengan "positive rate" yang sangat tinggi tetapi jumlah yang dites masih kecil, maka dapat dibayangkan kasus riil COVID-19 di Indonesia berpotensi jauh lebih besar.

Kemudian berkaca pada jumlah terkonfirmasi terinfeksi COVID-19 harian yaitu pada 10 September 2020 telah mencapai rekor tertinggi sepanjang era pandemi di Indonesia yaitu sebanyak 3.861 kasus baru, maka menurut dia  perkembangan ini sangat memprihatinkan.

Tercatat rata-rata kasus baru per hari di Indonesia pada 10 hari pertama di bulan September sebanyak 3.241 kasus. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata kasus baru pada 10 hari pertama di bulan Agustus yaitu 1.871 kasus baru.

Sementara itu, tren mingguan juga menggambarkan peningkatan rata-rata jumlah kasus baru. Pada periode satu minggu terakhir (4-10 September) rata-rata kasus baru per hari adalah 3.276 kasus. Sedangkan periode seminggu sebelumnya (28 Agustus-3 September) adalah 3.055 kasus baru dan pada 21-27 Agustus sebanyak 2.239 kasus baru.

"Pemerintah jangan terlalu banyak pertimbagan kepentingan ekonomi, karena justru semakin lambat penanganan COVID-19, maka ongkos ekonominya justru semakin besar. Sementara semakin banyak masyarakat yang menjadi korban akibat mobilisasi penduduk yang tak terkendali dengan beragam aktivitas," katanya.