Penelitian AS ungkap plasma mampu ringankan gejala COVID-19

id obat COVID-19,plasma darah COVID-19,virus corona di Amerika Serikat,COVID-19

Penelitian AS ungkap plasma mampu ringankan gejala COVID-19

Sebuah mesin apheresis memisahkan dan mengumpulkan plasma dari seluruh darah dari pasien yang telah pulih dari penyakit virus corona (COVID-19) di Central Seattle Donor Center of Bloodworks Northwest saat terjadih wabah, di during Seattle, Washington, AS, Jumat (17/4/2020). Plasma dari pasien yang pulih akan digunakan dalam studi pengobatan eksperimental untuk pasien virus corona saat ini. ANTARA FOTO/Reuters-Lindsey Wasson/hp.

New York (ANTARA) - Peneliti Mt. Sinai Medical Center, New York mengatakan bahwa kondisi tubuh pasien COVID-19 dengan gejala penyakit parah dapat jadi lebih stabil dan tidak banyak membutuhkan bantuan oksigen apabila diberikan plasma darah pasien yang telah sembuh, demikian hasil beberapa penelitian di Amerika Serikat yang disiarkan, Jumat (22/5).

Hasil awal itu diketahui saat peneliti membandingkan kondisi tubuh pasien penerima plasma darah dengan mereka yang tidak.

Kajian itu menunjukkan adanya tren kelangsungan hidup yang lebih positif. "Namun, hasil kajian itu tidak dapat diterapkan pada pasien dengan bantuan alat pernapasan karena jumlah pasien yang diteliti masih cukup sedikit," kata peneliti Mt. Sinai Medical Center.

Mt. Sinai menganalisis kondisi tubuh 39 pasienn COVID-19 dengan gejala sakit parah setelah mereka menerima transfusi plasma darah. Kondisi tubuh pasien itu dibandingkan dengan pasien lain dengan gejala penyakit serupa.

"Penelitian ini merupakan kajian terkontrol retrospektif (berlaku surut). Kajian ini tidak memiliki landasan kuat dari sampel pasien yang dipilih secara acak sehingga masih banyak yang perlu kami lakukan," kata ahli penyakit menular Mt. Sinai sekaligus kepala peneliti, dr Nicole Bouvier.

"Kajian kami memberi harapan plasma darah dapat jadi pengobatan yang efektif," kata dia.

Hampir 70 persen dari 39 pasien menghirup oksigen beraliran tinggi, sementara 10 persen pasien yang diteliti memakai alat bantuan pernapasan/ventilator.

Setelah dua minggu pasien menerima transfusi plasma darah, hanya 18 persen dari mereka yang gejala penyakitnya tambah parah. Sementara itu, untuk pasien tanpa transfusi plasma darah, 24 persen dari jumlah keseluruhan mengaku kondisi kesehatannya memburuk.

Per 1 Mei, hampir 13 persen para penerima plasma meninggal dunia, tetapi angka itu masih lebih rendah apabila dibandingkan mereka yang tidak menerima plasma darah. Tingkat kematian pasien tanpa plasma darah mencapai 24 persen.

Sementara itu, tingkat kesembuhan pasien yang menerima transfusi plasma darah mencapai 72 persen, lebih tinggi daripada mereka yang tidak menerima plasma darah, sebanyak 67 persen.

Tubuh pasien COVID-19 yang telah sembuh umumnya memiliki antibodi, protein dari sistem kekebalan tubuh, yang terkandung dalam darah. Antibodi berfungsi melawan virus. Peneliti mengambil darah dari pasien sembuh itu kemudian memisahkan antibodi dengan komponen darah lainnya.

Plasma darah yang mengandung antibodi pasien sembuh kemudian diberikan ke pasien COVID-19. Zat itu banyak disebut dengan "plasma penyembuh" (convalescent plasma).

Banyak rumah sakit di beberapa negara telah menggunakan plasma yang disumbangkan pasien sembuh, tetapi hanya sedikit informasi mengenai efektivitas pengobatan plasma darah yang tersedia.

Badan Pengawas Makanan dan Obat-Obatan Amerika Serikat (FDA) pada 1 Mei menyetujui penggunaan remdesivir buatan Gilead Sciences Inc untuk pasien COVID-19. Umumnya, remdesivir digunakan untuk mengobati pasien HIV.

Izin itu diberikan merujuk pada hasil penelitian yang menunjukkan remdesivir dapat mengurangi waktu rawat inap pasien sampai 31 persen dari mereka yang tidak meminum obat tersebut.

Namun, obat itu dinilai tidak berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup pasien.

Sumber: Reuters