"'Gadget' memiliki dampak yang dapat menyebabkan kecanduan, terutama bila anak terbiasa bermain dengan 'gadget'. Anak akan terus menerus menggunakan 'gadget' mereka dan perkembangan interaksi sosial menjadi terhambat," kata Cindy dihubungi di Jakarta, Selasa.
Cindy mengatakan anak yang sudah mulai kecanduan gawai akan terbiasa mendapatkan kesenangan dengan pola satu arah. Mereka lebih suka bermain sendiri menggunakan gawai daripada bermain bersama teman-temannya.
Selain perkembangan interaksi sosial menjadi terhambat, kesenangan yang didapat dari kecanduan gawai juga dapat membuat anak-anak menghindar dari tanggung jawab dan tugas mereka.
"Mereka jadi malas mengerjakan pekerjaan rumah, belajar, ikut les dan lain-lain," ujarnya.
Kecanduan bermain gawai juga dapat memengaruhi respon visual anak. Permainan yang ada di dalam gawai biasanya berupa rangsangan visual yang bergerak cepat. Anak akan terbiasa dengan ritme memperhatikan rangsangan visual yang bergerak cepat.
"Akibatnya, ketika mereka mendengarkan penjelasan guru di kelas dengan bentuk rangsangan visual yang tidak secepat gerakan visual pada permainan, mereka akan mudah merasa bosan," tuturnya.
Tentu gawai tidak selamanya memberikan dampak buruk. Penggunaan gawai juga dapat memberikan dampak baik, seperti memudahkan anak untuk mencari informasi atau pengetahuan.
"Pada anak usia sekolah, mereka dapat menggunakan 'gadget' untuk mencari topik-topik yang sesuai dengan materi pelajaran di sekolah, selain untuk memudahkan komunikasi dengan orang tua dan anggota keluarga yang lain," katanya.
Karena itu, Cindy menyarankan agar orang tua tidak memberikan gawai sama sekali pada anak usia di bawah dua tahun.
Sedangkan untuk anak usia tiga tahun sampai dengan delapan tahun, lebih baik orang tua mengarahkan anaknya untuk melakukan permainan yang banyak melibatkan motorik, persepsi visual spasial dan sensori.