Menuju Harapan Indonesia Bebas Rabies

id vaksin anti rabies,

Menuju Harapan Indonesia Bebas Rabies

Ilustrasi Petugas Dinas Peternakan menyuntikkan vaksin anti rabies pada seekor anjing milik warga (ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)

Dalam sebuah diskusi pada 2013 Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Tjandra Yoga Aditama menyatakan bahwa Indonesia mencanangkan bebas penyakit rabies pada 2020.

Sedangkan di tingkat dunia, tahun 2030 adalah target di semua belahan bumi tidak ada lagi penyakit yang ditularkan dan menyebar dari hewan (zoonosis) itu.

Secara umum rabies adalah salah satu penyakit mematikan berupa infeksi akut yang disebabkan oleh virus rabies.

Virus ini ditularkan melalui gigitan, cakaran, maupun jilatan dari hewan yang positif rabies, seperti anjing, kucing, monyet maupun beberapa hewan lainnya.

Hari rabies se-dunia selalu diperingati setiap tahun pada 28 September dengan tujuan meningkatkan kesadaran mengenai penyakit yang mematikan dan ditularkan oleh hewan liar tersebut.

Pada 2017 tema yang diusung adalah "Rabies: Zero by 2030".

Dalam kaitan itu, Badan Pangan dan Pertanian Dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (FAO of the United Nations) mengeluarkan pernyataan bertajuk "Kerja Bersama Wujudkan Indonesia Bebas Rabies".

FAO menyebutkan Rabies masih menjadi ancaman serius di seluruh dunia. Penyakit yang biasa dikenal dengan sebutan penyakit "anjing gila" ini, telah menyebabkan kematian hingga 55.000 jiwa di seluruh dunia, dan lebih dari 50 persen di antaranya terjadi di Asia.

Kementerian Pertanian (Kementan) RI menyebutkan, saat ini dari 34 provinsi di Indonesia, sebanyak 24 provinsi endemies Rabies dan sisanya telah bebas Rabies.

Pusat Studi Analisis Veteriner Indonesia (CIVAS) melansir bahwa Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dalam sidang tahunannya yang ke-77 tahun 2009 menyatakan sebagai akibat dari globalisasi dan perubahan iklim, dunia menghadapi "munculnya penyakit-penyakit hewan yang baru muncul" dan "yang muncul kembali".

Dalam kaitan itu, contohnya terjadi di Provinsi Bali yang semula secara historis bebas rabies, sejak 2008 telah tertular rabies yang hingga saat ini belum dapat dibebaskan kembali.

Itu sebabnya dibutuhkan program pengendalian dan penanggulangan secara berkesinambungan dan intensif, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah karena sebaran penyakit itu cukup luas.

Sebuah penelitian melalui Program Kreativitas Mahasiswa yang dilakukan tiga mahasiwa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH-IPB) bertema "Pemberantasan Wabah Rabies Berbasis Budaya Masyarakat Bali dan Inovasi Medik Veteriner" (2011) menghasilkan simpulan yang menarik.

Di bawah bimbingan dosen pendamping Dr drh RP AgusLelana, SP.MP, M.Si, tim peneliti, yakni tiga mahasiswa (kala itu) Alimansyah Putra, Sri Wahyuni Salam, dan Haddi Wisnu Yudha, mereka mengkombinasikan pendekatan budaya dan inovasi iptek.

Disebutkan dalam simpulan itu bahwa penanggulangan rabies di Bali dapat dilakukan dengan pemanfaatan Masyarakat Adat Bali serta dengan penerapan inovasi baru dalam medis veteriner, yaitu pada proses vaksinasi diharapkan dapat menyelesaikan masalah penyebaran penyakit rabies ini sehingga Bali dapat terbebas kembali dari rabies.

Pencegahan-pengendalian FAO bekerja sama dengan Kementan telah melakukan program pencegahan dan pengendalian Rabies di Indonesia sejak tahun 2011.

Program tersebut, menurut Senior National Veterinary Adviser Emergency Centre for Transboundary Diseases (ECTAD) Elly Sawitri, difokuskan pada tiga pulau yaitu Bali, Flores serta Lembata di Nusa Tenggara Timur (NTT).

"Kerja sama kami telah menghasilkan prestasi yang cukup baik," katanya.

Ia menyampaikan data bahwa sebanyak 87 persen kasus hewan (dari 529 sampai 65 kasus), dan kasus manusia mencapai 100 persen (dari 15 menjadi 0 kasus) menurun di Bali dari kurun waktu 2015 sampai Juli 2017.

FAO ECTAD merupakan pusat darurat yang didirikan tahun 2004 untuk secara khusus membantu negara-negara anggota FAO dalam merespon krisis penyakit kesehatan hewan lintas wilayah.

Tingginya ancaman virus Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) membawa FAO ECTAD ke Indonesia pada 2006.

Sejak itu, FAO ECTAD Indonesia telah bekerja sama dengan Kementan untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan Pemerintah Indonesia dalam mengendalikan HPAI. Kini, FAO ECTAD terus mendukung upaya pengendalian HPAI dan penyakit endemis lainnya, seperti Rabies dan Anthrax.

Selain itu, FAO ECTAD juga berfokus pada ancaman kesehatan global yang baru atau yang muncul kembali, yang "berpindah" ke manusia melalui populasi hewan, termasuk Ebola, MERS-CoV and Zika.

Laman http://www.bertuahpos.com merujuk pada suatu studi dari rabiesalliance.org, organisasi yang fokus dalam menangani kasus rabies, yang menyatakan bahwa sebanyak 99 persen penyebaran rabies ditularkan oleh anjing.

Organisasi itu melansir sebanyak 59.000 orang meninggal dunia setiap tahun disebabkan oleh rabies, dan penyakit ini menyebar di lebih dari 150 negara di dunia.

Meski berdampak serius, di mana disebut CIVAS bahwa Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat fatal, baik pada manusia maupun hewan, dapat menyebabkan beban sosial dan ekonomi yang besar, dan merupakan penyakit yang diabaikan serta kurang dilaporkan, namun bisa ditangani.

Salah satu cara pencegahan rabies adalah dengan memberi vaksin rabies, baik kepada manusia maupun hewan peliharaan.

Vaksinasi massal anjing Guna meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya Rabies, sekaligus bertepatan dengan peringatan Hari Rabies Dunia yang jatuh pada 28 September, FAO ECTAD bersama dengan Kementan dan lembaga-lembaga terkait lainnya menggelar sejumlah kegiatan yang difokuskan di wilayah Bogor dan Sukabumi, Jawa Barat.

Parapihak terkait lainnya itu di antaranya Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Program Kemitraan Australia-Indonesia dalam rangka Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular yang Baru Muncul (Australia Indonesia Partnership for Emerging Infectious Diseases/AIP-EID) menggelar sejumlah kegiatan yang difokuskan di wilayah Bogor dan Sukabumi, Jawa Barat.

Dengan mengusung tema global "Rabies: Zero by 2030" rangkaian kegiatan dimulai dengan pemberian pelatihan teknis vaksinasi dan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada mahasiswa FKH-IPB, pada 1 Oktober 2017.

Kemudian, dilanjutkan dengan seminar Rabies pada Jumat (6/10) di Bogor, serta Kemah Bakti "One Health" pada 6-8 Oktober 2017 di Kecamatan Cikembar, Sukabumi.

Puncak kegiatan yaitu acara seremonial yang diikuti dengan pemberian vaksinasi massal di empat (4) dari tujuh (7) Kecamatan yang tertular di Kabupaten Sukabumi, yaitu Kecamatan Cisolok, Jampang Tengah, Cikembar dan Nyalindung.

Kegiatan lain yaitu terkait KEI Rabies diselenggarakan dengan target kelompok PKK/ Posyandu, kelompok siswa sekolah dan Pramuka, serta masyarakat umum.

KIE itu menjadi sangat penting karena sekitar 40 persen korban yang digigit anjing penular Rabies di seluruh dunia adalah anak-anak di bawah usia 15 tahun.

Sukabumi dipilih sebagai lokasi puncak perayaan Hari Rabies se-dunia 2017 karena wilayah ini menjadi salah satu "hotspot" Rabies di Jawa Barat yang dapat mengancam wilayah sekitarnya.

Selain itu, Sukabumi juga dikenal sebagai daerah pemasok anjing berburu bagi wilayah-wilayah di Pulau Sumatera.

Jawa Barat bersama dengan Banten merupakan dua Provinsi di Pulau Jawa yang termasuk daerah endemis Rabies.

Dengan rangkaian kegiatan pada Hari Rabies se-Dunia ini Elly Sawitri berharap, target pemerintah untuk mewujudkan Indonesia bebas Rabies, melalui kerja sama semua pihak dengan pendekatan "One Health" bisa terwujud.