Tiket ke Surga Bu Linda

id ilustrasi taman bacaan

 Tiket ke Surga Bu Linda

ilustrasi taman bacaan (ist)

...Kami minta tolong dengan adek-adek wartawan, yang biasanya relasinya banyak. Ni dek, ada tiket ke surga, anaknya bagus, tolong carikan bapak angkat, katanya...
Dua anak laki-laki terlihat ragu-ragu, begitu melihat banyaknya tamu yang berkunjung ke taman bacaan.

Melihat gelagat tersebut, Yelmaini (22) langsung mengajak kedua anak tersebut masuk. Kedua anak yang awalnya ragu berubah haluan, mereka dengan yakin masuk ke dalam dan langsung menuju rak bacaan cerita rakyat. Tak lama keduanya pun tenggelam dalam bacaannya masing-masing.

"Semakin sore, biasanya semakin ramai anak-anak yang datang ke sini," kata Yelmaini yang berprofesi sebagai penjaga Taman Bacaan Suka Maju Sejahtera, Purus, Padang tersebut.

Memang benar, semakin sore semakin banyak anak-anak yang bermain di kawasan objek wisata Danau Cimpago tersebut.

Perempuan yang baru lulus diploma analis kimia itu mengatakan anak-anak yang berkunjung ke taman bacaan tersebut merupakan anak-anak yang berada di kawasan taman bacaan tersebut.

Buku yang paling banyak dibaca di taman bacaan itu adalah buku cerita anak-anak dan cerita rakyat. Maklum, anak-anak menjadi pengunjung utama taman bacaan tersebut..

Wilayah Purus, dikenal sebagai "Texas"-nya kota Padang, sebutan yang menggambarkan tingginya angka kriminalitas di wilayah tersebut. Di daerah itu sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan.

Seperti kebanyakan desa nelayan lainnya, kehidupan di tempat itu tak bisa lepas dari judi, main perempuan serta minuman keras.

Para ibu pun banyak yang terjebak dalam jeratan rentenir. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai "julo-julo tembak". Akibatnya banyak anak-anak di daerah tersebut putus sekolah, karena kekurangan biaya.

Melihat kondisi itu, Yelmaini yang pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu tergerak hatinya untuk mengabdikan diri di taman bacaan itu.

Taman bacaan tersebut merupakan bagian dari Kampung Literasi Danau Cimpago binaan dari Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Suka Maju Sejahtera.

"Saya melihat ada tiket ke surga dengan mengabdikan diri di sini," kata Yelmaini.

Tak hanya bekerja sebagai penjaga taman bacaan, Yel juga bekerja sebagai pengajar pendidikan nonformal.

Ia merasa memiliki hutang budi yang besar dengan tempat itu. Pasalnya, ia yang dulu putus sekolah dan jadi pembantu, kemudian bisa melanjutkan pendidikan hingga pendidikan tinggi karena PKBM tersebut.

"Tiket ke surga", merupakan kalimat yang sering digunakan oleh pendiri PKBM Suka Maju Sejahtera (SMS), Linda Purnawati untuk mengajak masyarakat untuk membantu pendidikan di daerah itu.

"Sekarang lagi libur, biasanya lebih ramai. Senin, Selasa dan Rabu pagi ada paket A. Siangnya ada paket B. Kamis, Jumat dan Sabtu pagi ada paket C," kata Linda.

PKBM tersebut juga menyelenggarakan kelas pengasuhan anak, bekerja sama dengan Universitas Negeri Padang.

"Di sini pola pengasuhannya banyak yang tidak sesuai. Banyak anak-anak yang dibesarkan dengan makian," kata perempuan yang mengenakan jilbab kuning itu.

PKBM itu juga memiliki beberapa unit usaha seperti bunga dan dekorasi, cenderamata khas Malin Kundang, penyewaan sepeda, dan pengelolaan objek wisata Danau Cimpago.

PKBM SMS Awal keterlibatan Linda Purnawati dalam pemberdayaan masyarakat bermula dari keprihatinannya terhadap kehidupan masyarakat di lingkungan rumahnya pada 2005.

Ia melihat banyak para ibu yang membuang waktu luangnya dengan kegiatan tak berguna, mulai dari nyari kutu dan membicarakan orang lain.

Sementara, suami mereka hanya bekerja sebagai buruh dan nelayan, dengan penghasilan seadanya. Sebagian besar, para ibu tersebut memiliki tiga hingga lima orang anak.

"Namanya buruh, kadang satu minggu kerja, tiga minggu tidak kerja. Sementara anak butuh makan dan minum. Berangkat dari persoalan itu, ayo kita cari terobosan," ujar dia, mengenang.

Awalnya, ia mengjak para ibu tersebut untuk membuat sulaman benang emas bekerja sama dengan pemilik penyewaan pelaminan. Kemudian membuat payetan.

Hasilnya pun lumayan, para ibu yang sebelumnya tidak memiliki penghasilan sekarang memiliki penghasilan untuk membantu keluarganya.

"Kami juga mengajari para ibu tersbut membuat kue layak jual. Kami bantu cara manajemen, pemasaran dan komunikasinya," kata mantan guru seni rupa tersebut.

Berangkat dari hal tersebut, para ibu mulai mengeluhkan mengenai anak-anak mereka yang tidak bisa sekolah, karena tidak ada biaya untuk transporasinya.

Memang, sekolah tak lagi memungut sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) setiap bulannya, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk transportasi sekolah lumayan besar.

"Misalnya di Tunggul Hitam (salah satu nama daerah di Padang), sekolah dasar saja jauh. Dari kompleks perumahan naik ojek sampai depan Rp3.000, pulang pergi jadi Rp6.000 kemudian pulang pergi angkot habis Rp2.000. Dalam sehari bisa habis untuk ongkos Rp8.000, waktu itu beras satu gantang (2,8 kilogram) saja Rp7.000 bisa untuk dua hari makan. Itu belum ongkosnya, belum jajannya. Akhirnya banyak anak-anak yang putus sekolah," kata dia.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, ia kemudian mengajak temannya yang mau mengabdi untuk mengajar anak-anak putus sekolah itu.

Ia berpendapat, anak-anak boleh putus sekolah karena ketiadaan biaya, tapi wawasan perlu diberikan kepada anak-anak tersebut.

"Dari hari ke hari, Pak Lurah tahu, akhirnya menyarankan untuk membuat PKBM saja. Pada 2005, kami dirikan PKBM Suka Maju Sejahtera, kemudian diurus akta notarisnya pada 2006, dan baru pada 2007 keluar akta notarisnya," katanya.

Sejak berdirinya PKBM Suka Maju Sejahtera, tak terhitung berapa banyak anak-anak putus sekolah yang kembali melanjutkan pendidikan.

Anak-anak yang putus sekolah rata-rata lulusan sekolah dasar, kemudian mendapat ijazah dan melanjutkan ke sekolah formal.

"Kami bantu anak-anak tersebut melanjutkan pendidikan, ada yang ke sekolah formal dan ada juga ikut paket lagi. Biasanya, kalau kita yang rekomendasi, lebih mudah," kata dia.

Tak hanya membantu anak yang putus sekolah, ia juga turut membantu anak-anak yang kesulitan biaya di sekolah formal.

Ia melihat persoalan putus sekolah bukan hanya karena ketiadaan biaya, tetapi juga karena banyak utang.

"Kami minta tolong dengan adek-adek wartawan, yang biasanya relasinya banyak. Ni dek, ada tiket ke surga, anaknya bagus, tolong carikan bapak angkat," katanya menirukan.

Kiprahnya di ajang pemberdayaan masyarakat tersebut itu turut dibantu oleh keluarganya. Suami dan ketiga anaknya pun mendukung kiprahnya tersebut. Meski perjuangannya tak membuatnya kaya secara materi, tapi menurut Linda yang paling penting adalah dirinya bisa bermanfaat bagi masyarakat.  (Ant)