Misteri Beras Tiongkok

id Beras Plastik Tiongkok

Beijing (ANTARA Lampung) - Perdebatan tentang beras plastik, beras imitasi, beras sintetis, atau apa pun itu, diperkirakan masih akan terus bergulir meskipun pemerintah telah menyatakan tidak ada beras plastik yang beredar di pasaran.

Terlebih  Kepolisian Republik Indonesia (Polri) berinisiatif mencari 'second opinion' ke laboratorium Universitas Indonesia dan Institut Pertanian Bogor terkait perbedaan hasil uji laboratorium terhadap beras yang diduga bercampur bahan berbahaya di Bekasi, Jawa Barat.

Berdasarkan uji laboratorium PT Sucofindo, beras yang diuji mengandung senyawa "plasticer" dari tiga jenis, yakni BBP (benzyl butyl phthalate), DEHP (bis 2-ethylhexyl phthalate), dan DINP (diisononyl phthalate), atau bahan-bahan untuk membuat pipa, kabel dan lainnya.

Hasil uji laboratorium Polri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Badan POM, serentak menyatakan beras yang dibeli salah seorang penjual bubur di Bekasi, Dewi Septiani, negatif mengandung bahan berbahaya, atau bahan sintetis.

Tiongkok yang memiliki rekam jejak keamanan pangan yang sangat rendah, ditengarai menjadi sumber keberadaan beras sintetis di Indonesia. Namun, disisi lain Pemerintah Indonesia menegaskan tidak pernah memberikan izin impor beras, termasuk kepada Tiongkok.

Hal senada dinyatakan Kementerian Perdagangan Tiongkok yang menyatakan Indonesia tidak pernah memberikan izin impor sejak 2008.

"Tidak ada ekspor beras ke Indonesia sejak 2008, sebagai anggota WTO, Tiongkok menerapkan kuota ekspor untuk produk pertaniannya, termasuk beras dan tidak terlepas dari peran negara dalam perdagangan," demikian pernyataan Kementerian Perdagangan setempat.

"Berdasar batasan itu, hanya dua perusahaan yang melakukan ekspor beras Tiongkok yaitu 'China National Cereals, Oils and Foodstuffs Corporation' serta 'Jilin Province Cereals, Oils and Foodstuffs Import and Export Corporation'," ujar pernyataan tersebut.

Pihak Kementerian Perdagangan Tiongkok berharap Indonesia dapat segera menemukan akar masalah dari isu tersebut dan hubungan serta kerja sama ekonomi perdagangan kedua negara dapat tetap berjalan secara sehat.

Bahkan pihak Tiongkok mengusulkan pertukaran hasil uji laboratorium terkait beras sintetis di Indonesia, yang diduga berasal dari Negeri Panda, sebagai salah satu upaya penuntasan kasus tersebut.

"Keberadaan beras sintetis di Indonesia harus dibuktikan secara rinci bahwa itu berasal dari Tiongkok," kata Wakil Dirjen Kantor Administrasi Umum Pengawasan Mutu, Inspeksi dan Karantina (AQSIQ) Tiongkok, Bi Kexin.

Perwakilan Pemerintah RI di Tiongkok dan pihak AQSIQ mengadakan pertemuan tertutup guna membahas peredaran beras yang diduga tercampur bahan sintetis di Indonesia, yang ditengarai berasal dari Tiongkok.

Bi Kexin mengatakan pihaknya memastikan tidak ada peredaran peredaran beras plastik di negaranya.

"Jika pun ada itu sangat mahal, sehingga tidak menguntungkan jika dipasarkan untuk dikonsumsi, karena tidak menguntungkan secara ekonomi," kata Bi Kexin.

                                                              Data Bea Cukai
Data berbeda disampaikan Kantor Bea Cukai Tiongkok yang menyatakan ada ekspor beras dari Negeri Panda ke Indonesia, selain 37 negara lainnya seperti Malaysia, Singapura dan Vietnam.

Ekspor beras Tiongkok ke sejumlah negara pada Januari--Maret 2013 tercatat senilai 144.869.766 dolar AS, dengan penguasaan pasar dunia sekitar 100 persen.

Pada periode sama 2014 tercatat ekspor beras Tiongkok mencapai 33.7444.743 dolar AS, dan naik pada periode sama 2015 sebesar  43.976.215 dolar AS.

Berdasar data tersebut ekspor beras Tiongkok ke Indonesia pada Januari-Maret 2013 tercatat 89.158 dolar AS, dan melonjak pada periode sama 2014 yakni senilai 446.000 dolar AS.

Jumlah tersebut menurun pada periode Januari-Maret 2015 yang hanya mencapai 182,2 ribu dolar AS. Atas data tersebut, baik pihak Indonesia maupun Tiongkok, belum berkomentar.

Tentang jenis beras yang diekspor, khususnya dengan tujuan Indonesia, pihak bea cukai tidak mencantumkannya.

Selain mengekspor, Tiongkok juga mengimpor beras dari 11 negara antara lain Amerika Serikat, Thailand, Vietnam dan India. Pada triwulan pertama 2013 total impor beras yang dilakukan Tiongkok mencapai nilai  326.277.380 dolar AS. Jumlah tersebut menurun pada periode sama 2014 yang mencatatkan nilai 247.375.572 dolar AS.

Penurunan juga terjadi pada triwulan pertama 2015 dengan nilai 170.422.842 dolar AS.

                                                  Apa Yang Tidak Bisa
"Apa sih yang tidak bisa dibuat di Tiongkok,?" demikian pernyataan retoris yang muncul saat isu beras plastik mencuat.

Beras plastik ditengarai diproduksi di sebuah pabrik di Taiyuan, Provinsi Shaanxi, Tiongkok. Isu tersebut ramai dibperbincangkan di media sosial dan surat kabar beberapa negara di Asia pada 2011.

Beras plastik tersebut rupanya tidak hanya beredar di Indonesia, tapi menyebar di seluruh negara-negara di Asia, utamanya negara yang populasi warga pedesaannya besar seperti India dan Vietnam, demikian menurut The Straits Times.

Beras plastik itu dilaporkan terbuat dari kentang, ubi dan resin atau sejenis senyawa polymer rantai karbon yang biasa digunakan untuk merekatkan. Semua bahan lalu dibentuk menjadi seperti beras sebenarnya.

Rumor terakhir, beras plastik dikabarkan masuk ke Singapura. Namun juru bicara Otoritas Pertanian Pangan dan Penyakit Hewan (AVA) mengatakan pada The Straits Times: "Sebagai bagian dari pengawasan rutin AVA, beras impor diinspeksi secara berkala dan diambil sampelnya untuk memastikan kesesuaiannya dengan standar keamanan pangan dan persyaratan kita".

"Tes sampel kita meliputi berbagai bahaya makanan. Sejauh ini hasil tes memuaskan. Tak ada umpan balik soal beras palsu."

Pakar kesehatan dan ahli asupan pangan telah mengingatkan bahwa mengkonsumsi bulir beras palsu bisa mematikan atau mengakibatkan kerusakan serius pada sistem pencernaan.

Tiongkok memang memiliki rekam jejak kurang baik terkait keamanan pangan, sebutlah skandal susu melamin yang mengakibatkan 300 ribu anak sakit dan lainnya meninggal dunia, telur ayam palsu yang mengandung calsium chloride (untuk membuat kulit telur) , alum (sejenis bahan pelembut) , benzoic acid (bahan pengawet) , cellulose dapat menyebabkan kerusakan syaraf, gangguan metabolisme hingga kerusakan hati.

Ada pula air mineral kemasan terkontaminasi, tahu yang dibuat dari bahan-bahan kimia, bihun yang dibuat dari pakan ternak serta daging kambing palsu yang dibuat dari campuran daging tikus, rubah, dan musang dengan bahan-bahan kimia. Madu palsu pun ada di Tiongkok.

Atas beragam kasus tersebut, pihak kepolisian setempat telah melakukan pemeriksaan terhadap pabrik yang memproduksi dan menahan pihak-pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung.

Pada Kongres Rakyat Nasional Tiongkok pada April 2015 telah diloloskan amandemen terhadap UU Keamanan Pangan sebelumnya. Pada amandemen tersebut ditetapkan hukuman kurungan bagi pelaku yang memproduksi dan memperdagangkan makanan yang mengandung obat berbahaya, makanan daur ulang disertai denda 15 sampai 30 kali lipat dari total harga komoditas.

Undang-undang juga menyatakan penggunaan bahan baku makanan kadaluarsa atau makanan tambahan produksi dapat dikenakan denda 10 -20 kali nilai total komoditas atau bahkan pencabutan izin.

Para analis dan masyarakat berharap dengan amandemen tersebut  keamanan pangan akan dapat lebih dijamin. Namun, tanpa pengawasan ketat bagi pencegahan, maka hal itu juga akan sia-sia. Keberadaan beras plastik yang ditengarai diproduksi dan diekspor ke beberapa negara menjadi catatan tersendiri tidak saja bagi Tiongkok, tetapi juga Indonesia.

Hubungan kedua negara yang telah berjalan baik, memang harus tetap dijaga bahkan ditingkatkan, dengan tetap memperhatikan kepentingan dan hak untuk hidup sehat bagi rakyat kedua bangsa.

Ada atau tidak beras plastik dari Tiongkok, kedua pihak harus bersikap transparan demi menjaga hubungan baik dan kemakmuran rakyat kedua bangsa.