Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Pelaku perkopian di Indonesia baik eksportir maupun petani, khususnya Lampung yang merupakan produsen kopi robusta terbesar di Tanah Air, mendesak pemerintah untuk berperan mengontrol harga biji kopi di pasaran.
"Selama ini harga jual biji kopi ditentukan oleh para pedagang besar, sehingga harga bisa dipermainkan mereka. Padahal kita merupakan produsen kopi," kata Wakil Ketua BPP Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Sumita di Bandarlampung, Kamis.
Ia menjelaskan, harga jual biji kopi ditentukan oleh terminal atau bursa di pasar internasional. Namun para pedagang besar kopi dunia bisa mengintervensi harga komoditas tersebut.
Pelaku perkopian seperti petani di Tanah Air, tidak bisa menahan harga (holding power) karena tidak mempunyai kekuatan untuk melepas harga komoditas yang diinginkan.
"Kita membutuhkan kekuatan untuk bisa menahan harga biji kopi, sehingga harga jual komoditas ini bisa lebih baik dan tidak selalu ditentukan para konsumen seperti yang selama ini terjadi," jelasnya.
Sumita yang juga Ketua BPD AEKI Lampung itu mengatakan masalah harga selama ini menjadi momok bagi para petani kopi.
Ia menyebutkan, harga kopi untuk ekspor saat ini di kisaran Rp23 ribu per kilogram, para petani praktis tidak mendapatkan pendapatan yang baik dari hasil produksinya.
Untuk memberikan kemampuan "holding power" terhadap para petani kopi, sangat diperlukan adanya intervensi pemerintah daerah hingga pemerintah pusat.
Pemerintah harus berupaya membuat kebijakan untuk mengintervensi harga, peningkatan produktivitas tanaman kopi petani, menjamin ketersediaan pupuk, dan menjembatani akses permodalan dari perbankan ke petani.
"Saat ini, petani kopi kita jangankan punya tabungan sebelum panen, yang ada justru utang. Akibatnya, tidak ada kekuatan untuk bisa menahan harga," jelasnya.
Ia mencontohkan, para petani kopi di Vietnam saat ini sudah mempunyai holding power sehingga mampu menahan harga kopi di tingkat global.
Kekuatan para petani di Vietnam bisa dilakukan lantaran adanya peran besar dari pemerintahnya.
Menurut dia, para petani di Vietnam juga sudah mempunyai teknologi budidaya sehingga produksi kopi di sana bisa mencapai 2,5 ton/hektare, sedangkan rata-rata di Indonesia, khususnya Lampung hanya 900 kg/hektare.
"Kalau tidak ada keinginan kuat atau bantuan pemerintah secara berkesinambungan, sulit bagi petani kopi untuk bisa lebih sejahtera," tambahnya.
Sistem resi gudang yang digagas Pemprov Lampung, lanjutnya, hingga sekarang tidak berjalan dengan optimal. Padahal, sistem itu bisa berkontribusi untuk menciptakan holding power bagi para petani kopi di Lampung.
Sumita menambahkan ekspor kopi robusta Lampung pada tahun lalu mencapai 300 ribu ton atau penyumbang terbesar ekspor kopi di Indonesia sebesar 450 ribu ton.
Jumlah petani kopi di Lampung saat ini sebanyak 230 ribu kepala keluarga dengan luas lahan berkisar 160 ribu-170 ribu hektare. (Ant)
