Bandarlampung (ANTARA) - Terpidana tindak pidana korupsi, Wahyudipraja Mukti mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjungkarang terkait perkara korupsi proyek pekerjaan konsultasi perumahan di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Lampung Utara senilai Rp1,7 miliar.

Wahyudipraja Mukti sendiri mengajukan upaya hukum PK melalui tim penasihat hukumnya dari BEI Law Firm, Yunizar Akbar.

Dalam PK tersebut, penasihat hukum Yunizar Akbar menyebutkan bahwa terpidana Wahyudipraja Mukti merasa keberatan atas penetapan sebagai tersangka utama yang hanya dilatarbelakangi oleh majelis hakim lantaran telah menerima uang cipratan sebesar Rp30 juta.

"Dalam perkara proyek korupsi ini poinnya adalah antara dua Kadis atas nama Zulkifli periode 2017-2018 dan Dian Adrians Nadirsyah periode 2019-2022 selaku pemberi proyek bersama seorang kontraktor bernama Mardiana yang saat ini menjadi Anggota Komisi V DPRD Provinsi Lampung selaku penerima proyek," katanya di Bandarlampung, Jumat.

Dalam peristiwa tersebut, terpidana yang saat itu sebagai ASN di Disperkim Lampung Utara hanya berperan sebagai orang suruhan atas perintah dari dua orang Kadis Zulkifli dan Dian Adrians Nadirsyah untuk mengantarkan uang sebesar Rp350 juta kepada Mardiana.

Saat itu, terpidana mendapatkan upah yang diberi oleh Kadis lama yakni Zulkifli sebesar Rp20 juta dan Kadis baru yakni Dian Adrians Nadirsyah sebesar Rp10 juta.

"Dalam suatu kegiatan proyek negara yang terjadi tindak pidana korupsi tentunya harus dilihat utuh mulai dari awal perencanaan dan pelaksanaan. Menurut kami di dalam peristiwa ini perkara sudah jelas, terang, dan gamblang bahwa siapa pelaku pemberi ide, pelaksana aliran dana ke penerima dan pemberi, serta siapa yang hanya terpercik atau kecipratan sedikit uang dari persekongkolan antara dua orang Kadis dan pemberi dalam hal ini kontraktor. Apalagi seorang Anggota Komisi V DPRD Provinsi Lampung yakni Mardiana telah menyerahkan uang ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung sebesar Rp771.797.249 yang merupakan kerugian negara atas penghitungan penyidik jaksa selama menjadi kontraktor sejak tahun 2017-2022," kata dia.

Masih dalam PK-nya tersebut, ia menilai hakim yang memutus perkara tersebut sama sekali tidak menerapkan peraturan dan aturan negara dalam menangani perkara tindak pidana korupsi. Sehingga, menurut dia, terlihat kasat mata bahwa putusan yang diterapkan hanya mempertahankan pendapat antara sesama Aparat Penegak Hukum (APH) negara.

Selain itu, tambah dia, meski perkara tersebut jelas melanggar Undang-Undang tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi perkara ini justru mengedepankan pendapat dari akuntan publik yang nyata-nyata tidak turun ke lapangan dan tidak mempunyai kewenangan untuk menyatakan adanya tindak pidana pada keuangan negara.

"Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi majelis hakim tentunya sangat mengetahui akan kewenangan dan batasan dari aparat penegak hukum negara yang bertujuan agar tindakan dapat terarah, tertuju, dan tidak sewenang-wenang. Jika kewenangan BPK yang diatur dalam UU No15  tahun 2006 dapat dianulir oleh akuntan publik yang bekerjasama dengan kejaksaan, maka yakinlah seluruh rakyat Indonesia dapat dipenjarakan dengan sah jika penegak hukum tertinggi di Indonesia dalam hal ini Mahkamah Agung RI tidak berani dan tidak mampu untuk membalikkan keadaan ini," katanya.

"Kami berharap melalui PK ini majelis hakim dapat membebaskan dari dakwaan primer dan mengembalikan harkat martabat baik dari terpidana. Apalagi berdasarkan aturan MA Pasal 16 No1 Tahun 2020 tentang pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang tindak pidana korupsi yang menyatakan bahwa hakim dapat tidak menjatuhkan pidana denda dalam hal ini kerugian negara di bawah Rp50 juta," katanya lagi.

Sebelumnya, pada sidang di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandarlampung yang diketuai Majelis Hakim Hendro Wicaksono, terpidana Wahyudipraja Mukti dijatuhkan hukuman pidana selama 3 tahun denda sebesar Rp100 juta subsider empat bulan. Selain itu, terpidana wajib membayar uang pengganti sebesar Rp120 juta dikurangkan dengan uang yang telah disita sebesar Rp30 juta.

Namun pada upaya hukum kasasi oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Ansori menjatuhkan agar terpidana Wahyudipraja Mukti dihukum selama lima tahun denda Rp100 juta subsider dua bulan pidana kurungan dan uang pengganti sebesar Rp120 juta yang diperhitungkan dengan uang yang telah disita jaksa sejumlah Rp30 juta sehingga sisanya sebesar Rp90 juta yang harus dibayarkan oleh terpidana.

Jika terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, serta jika tidak mencukupi dipidana penjara selama satu tahun delapan bulan.


Pewarta : Damiri
Editor : Satyagraha
Copyright © ANTARA 2025