Bandarlampung (ANTARA) - Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Lampung Mohammad Dody Fachrudin mengingatkan pentingnya peran serta Pemerintah Daerah (pemda) dalam meningkatkan alokasi belanja iklim untuk menangani perubahan iklim.
Selain itu, akibat El Nino di 2023 telah terjadi kontraksi di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 10,97 persen, serta perubahan suhu laut dan arus yang mengganggu habitat rajungan di Lampung Timur, yang mengakibatkan penurunan populasi sehingga pendapatan nelayan berkurang dan lokasi tangkapan bergeser, dari segi kesehatan ada potensi kenaikan kasus DBD, malaria, dan pneumonia.
Baca juga: Lampung dapat tingkatkan daya saing usaha pertanian melalui KUR alsintan
Baca juga: DJPb Lampung sebut KUR Khusus sediakan pembiayaan usaha berbasis klaster
"Dalam kajian fiskal regional selalu ada analisis tematik, dan kali ini akan berfokus kepada fenomena serta dampak perubahan iklim terhadap sektor perekonomian Lampung, yang perlu diintervensi oleh pemerintah," ujar Mohammad Dody Fachrudin di Bandarlampung, Kamis.
Ia mengatakan langkah intervensi dalam mengantisipasi atau memperbaiki dampak negatif dari perubahan iklim yang terjadi di daerah dapat dilakukan salah satunya oleh pemerintah daerah dengan meningkatkan alokasi belanja iklim.
"Alokasi dan realisasi APBD pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim Provinsi Lampung periode 2020-2023 di 2020 dianggarkan sebesar Rp2,79 miliar terealisasi sebesar Rp2,66 miliar, 2021 memiliki anggaran sebesar Rp7,18 miliar dan terealisasi Rp4,57 miliar," katanya.
Kemudian di 2022 anggaran APBD terkait pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim berjumlah Rp12,84 miliar, dan baru terealisasi Rp7,01 miliar, di 2023 memiliki anggaran Rp20,45 miliar dan realisasi Rp19,27 miliar.
"Sedangkan salah satu bentuk intervensi pemerintah pusat melalui belanja negara yaitu melalui belanja pemerintah pusat terkait perubahan iklim per program di Lampung dengan total pagu mencapai Rp4,15 triliun. Yang meliputi bagi program ketahanan sumber daya air sebesar Rp2,77 triliun, program infrastruktur konektivitas Rp541,14 miliar," ucap dia.
Selanjutnya untuk program perumahan dan kawasan permukiman Rp537,48 miliar, program pengelolaan hutan berkelanjutan Rp152,56 miliar, dan program ketersediaan, akses dan konsumsi pangan berkualitas Rp131,38 miliar.
"Untuk realisasi dana alokasi khusus (DAK) fisik perubahan iklim yang sudah tersalur di Lampung hingga Juni 2024 berjumlah Rp59,26 miliar dari pagu Rp209,75 miliar. Sedangkan di 2023 realisasi dana alokasi khusus Rp200,9 miliar dengan pagu Rp213,8 miliar," tambahnya.
Ia melanjutkan alokasi dana desa bagi perubahan iklim di Lampung di 2024 memiliki pagu Rp299,96 miliar, dan di 2023 teralokasi Rp587,27 miliar.
"Sedangkan intervensi pemerintah melalui kebijakan di luar belanja dapat dilakukan melalui transformasi kebijakan rencana aksi daerah gas rumah kaca Provinsi Lampung, menjadi kebijakan pembangunan rendah karbon," ujar dia.
Dia menjelaskan sebagai upaya mengurangi dampak iklim perlu dilakukan perencanaan program yang kolaboratif, perlu ada peningkatan alokasi belanja iklim APBD di 2023 yang hanya 3,4 persen dari total anggaran, perlu diturunkannya target penurunan emisi gas rumah kaca dalam indikator kinerja pemerintah daerah, kabupaten, kota dan provinsi.
"Lalu perlu dorongan political will dari pemerintah pusat, kepala daerah, perangkat daerah, dan DPRD," kata dia.
Saat ini, terdapat beberapa fenomena iklim di Lampung yang terjadi seperti kenaikan suhu udara tertinggi di Kabupaten Lampung Utara sebanyak 2 Celcius dari suhu maksimum di Lampung 38 Celcius, ada kenaikan air laut dengan potensi empat pulau yaitu Pulau Sagama, Pulau Sekopong di Lampung Timur, Pulau Kubur di Bandarlampung, dan Pulau Umang di Lampung Selatan yang akan tenggelam.
Kemudian, ada perubahan pola hujan di tujuh kabupaten dan kota yang mengalami kekeringan ekstrem pada 2023 dengan 765 hektare sawah kekeringan di tahun itu.
Selain itu, akibat El Nino di 2023 telah terjadi kontraksi di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar 10,97 persen, serta perubahan suhu laut dan arus yang mengganggu habitat rajungan di Lampung Timur, yang mengakibatkan penurunan populasi sehingga pendapatan nelayan berkurang dan lokasi tangkapan bergeser, dari segi kesehatan ada potensi kenaikan kasus DBD, malaria, dan pneumonia.
Baca juga: Lampung dapat tingkatkan daya saing usaha pertanian melalui KUR alsintan
Baca juga: DJPb Lampung sebut KUR Khusus sediakan pembiayaan usaha berbasis klaster