Jakarta (ANTARA) - Anggota nonaktif Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur Divisi Keuangan Tita Octavia Cahya Rahayu mengatakan ada petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) fiktif di Kuala Lumpur sebab mereka diketahui tidak berada di Malaysia.
Pernyataan itu disampaikan Tita saat ditanyai oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung dalam sidang pemeriksaan terdakwa kasus dugaan pemalsuan data pemilih Kuala Lumpur untuk Pemilu 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa.
Tita menuturkan bahwa dalam pengerjaan Daftar Pemilih Sementara (DPS) terdapat permasalahan yang dimulai dari hasil pencocokan dan penelitian data (coklit) oleh pantarlih yang tidak maksimal.
Belakangan, kata dia, ditemukan pantarlih yang tidak berada di Malaysia saat hendak membayarkan honor.
“Di DPS kan banyak problem, mulai dari coklit, proses e-coklit dari aplikasi e-coklit yang bermasalah, kemudian data-data yang belum selesai di-upload, dan sebagainya. Itu tadi bagian kecil dari dinamika yang terjadi dalam penetapan DPS, ya itu tadi dari pantarlih-pantarlih yang ternyata, yang saya temui di ujung ketika pembayaran honor, yang di situ saya dapati bahwa ternyata ada ternyata pantarlih yang tidak berada di Malaysia,” tutur Tita.
Jaksa kemudian mendalami keterangan Tita dengan menanyakan hubungan pantarlih fiktif itu dengan Anggota nonaktif PPLN Kuala Lumpur Divisi Logistik Masduki Khamdan Muchamad yang juga terdakwa dalam perkara ini. Hal itu didalami jaksa sebab Tita menyebut nama Masduki dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
“Langsung saja, apa hubungannya sama Masduki? Kok Anda menyebutkan Masduki,” tanya jaksa.
“Karena saat itu ada kasus yang Masduki mengundurkan diri, seperti tadi yang dijelaskan, karena ada beberapa pantarlih yang tidak berada di Kuala Lumpur, jadi di situ proses pencoklitan yang dilakukan oleh pantarlih mungkin tidak berjalan dengan maksimal,” jawab Tita.
Dikatakan Tita, beberapa pantarlih diberikan keleluasan untuk mengambil honornya via transfer bank. Namun, ada pantarlih yang honornya tidak ditransfer melainkan dititipkan, sehingga dicurigai dan mereka dipanggil langsung ke KBRI untuk mengambil honor.
“Di situ mereka dimintai keterangan kenapa mereka bisa honornya dititipkan. Mulai dari situ, kemudian mereka mengatakan bahwa sebenarnya pekerjaan pantarlih itu bukan mereka yang melakukan tapi dilakukan oleh orang lain,” ucap Tita.
Menurut Tita, Masduki termasuk kaki tangan yang mengoordinasikan pantarlih fiktif tersebut.
“Dari klasifikasi bersama-sama dengan saya dengan teman-teman PPLN lainnya, mereka menyebutkan banyak kaki-kakinya mereka, mereka jalur koordinasi-koordinasinya dengan si a, si b, ke atas, kemudian sampai ada yang menyebutkan nama Masduki di situ,” tuturnya.
Kendati demikian, Tita mengaku tidak tahu jumlah pantarlih fiktif tersebut.
“Yang kami ketahui adalah fakta di lapangan berapa orang yang kami datangkan ke KBRI saat itu yaitu 16 orang plus 2 orang. Kemudian, terkait pantarlih tadi ada 683 yang sudah terekrut kemudian realitanya hanya 602 yang dibayarkan (honornya),” imbuhnya.
Di sisi lain, saat mendalami keterangan Ketua nonaktif PPLN Kuala Lumpur Umar Faruk, terkuak bahwa honor pantarlih adalah Rp12 juta untuk dua bulan kerja. Umar menyebut honor tersebut tidak boleh diwakilkan, pantarlih harus mengambil sendiri dengan menunjukkan identitas.
Pantarlih fiktif kemudian terendus ketika seorang pantarlih bernama Inah yang melapor bahwa ia disuruh untuk mengambilkan honor pantarlih lainnya.
“Saat itu Inah melaporkan, katanya disuruh mengambilkan honornya orang lain. Akhirnya saya konfirmasi kepada teman-teman saat itu. Ketika sudah sampai ke rumah, ya, memang terjadi memang ada disuruh ngambil itu, pantarlih disuruh mengambilkan honornya orang lain,” kata Umar.
Umar menjelaskan bahwa honor tersebut memang diambil oleh Inah, tetapi kemudian diambil lagi oleh Masduki.
“Sama Inah diambil, tapi katanya diambil lagi oleh saat itu saudara Masduki. Karena kata Inah, menurut Inah, itu saudara Masduki yang meminta kepada Inah, terus kemudian oleh Inah mengira bahwa ini adalah rolling. Mengiranya adalah rolling: dia mengambilkan, nanti kemudian diambilkan oleh orang yang lain,” kata Umar.
Pada perkara ini, tujuh anggota nonaktif PPLN Kuala Lumpur, termasuk Tita, Umar, dan Masduki, didakwa memalsukan data dan daftar pemilih luar negeri Pemilu 2024 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Selain mereka bertiga, empat terdakwa lainnya adalah Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Data dan Informasi Dicky Saputra; Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi SDM Aprijon; Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Sosialisasi Puji Sumarsono; dan Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu Khalil.
Mereka didakwa melanggar Pasal 544 atau Pasal 545 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pernyataan itu disampaikan Tita saat ditanyai oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung dalam sidang pemeriksaan terdakwa kasus dugaan pemalsuan data pemilih Kuala Lumpur untuk Pemilu 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Selasa.
Tita menuturkan bahwa dalam pengerjaan Daftar Pemilih Sementara (DPS) terdapat permasalahan yang dimulai dari hasil pencocokan dan penelitian data (coklit) oleh pantarlih yang tidak maksimal.
Belakangan, kata dia, ditemukan pantarlih yang tidak berada di Malaysia saat hendak membayarkan honor.
“Di DPS kan banyak problem, mulai dari coklit, proses e-coklit dari aplikasi e-coklit yang bermasalah, kemudian data-data yang belum selesai di-upload, dan sebagainya. Itu tadi bagian kecil dari dinamika yang terjadi dalam penetapan DPS, ya itu tadi dari pantarlih-pantarlih yang ternyata, yang saya temui di ujung ketika pembayaran honor, yang di situ saya dapati bahwa ternyata ada ternyata pantarlih yang tidak berada di Malaysia,” tutur Tita.
Jaksa kemudian mendalami keterangan Tita dengan menanyakan hubungan pantarlih fiktif itu dengan Anggota nonaktif PPLN Kuala Lumpur Divisi Logistik Masduki Khamdan Muchamad yang juga terdakwa dalam perkara ini. Hal itu didalami jaksa sebab Tita menyebut nama Masduki dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
“Langsung saja, apa hubungannya sama Masduki? Kok Anda menyebutkan Masduki,” tanya jaksa.
“Karena saat itu ada kasus yang Masduki mengundurkan diri, seperti tadi yang dijelaskan, karena ada beberapa pantarlih yang tidak berada di Kuala Lumpur, jadi di situ proses pencoklitan yang dilakukan oleh pantarlih mungkin tidak berjalan dengan maksimal,” jawab Tita.
Dikatakan Tita, beberapa pantarlih diberikan keleluasan untuk mengambil honornya via transfer bank. Namun, ada pantarlih yang honornya tidak ditransfer melainkan dititipkan, sehingga dicurigai dan mereka dipanggil langsung ke KBRI untuk mengambil honor.
“Di situ mereka dimintai keterangan kenapa mereka bisa honornya dititipkan. Mulai dari situ, kemudian mereka mengatakan bahwa sebenarnya pekerjaan pantarlih itu bukan mereka yang melakukan tapi dilakukan oleh orang lain,” ucap Tita.
Menurut Tita, Masduki termasuk kaki tangan yang mengoordinasikan pantarlih fiktif tersebut.
“Dari klasifikasi bersama-sama dengan saya dengan teman-teman PPLN lainnya, mereka menyebutkan banyak kaki-kakinya mereka, mereka jalur koordinasi-koordinasinya dengan si a, si b, ke atas, kemudian sampai ada yang menyebutkan nama Masduki di situ,” tuturnya.
Kendati demikian, Tita mengaku tidak tahu jumlah pantarlih fiktif tersebut.
“Yang kami ketahui adalah fakta di lapangan berapa orang yang kami datangkan ke KBRI saat itu yaitu 16 orang plus 2 orang. Kemudian, terkait pantarlih tadi ada 683 yang sudah terekrut kemudian realitanya hanya 602 yang dibayarkan (honornya),” imbuhnya.
Di sisi lain, saat mendalami keterangan Ketua nonaktif PPLN Kuala Lumpur Umar Faruk, terkuak bahwa honor pantarlih adalah Rp12 juta untuk dua bulan kerja. Umar menyebut honor tersebut tidak boleh diwakilkan, pantarlih harus mengambil sendiri dengan menunjukkan identitas.
Pantarlih fiktif kemudian terendus ketika seorang pantarlih bernama Inah yang melapor bahwa ia disuruh untuk mengambilkan honor pantarlih lainnya.
“Saat itu Inah melaporkan, katanya disuruh mengambilkan honornya orang lain. Akhirnya saya konfirmasi kepada teman-teman saat itu. Ketika sudah sampai ke rumah, ya, memang terjadi memang ada disuruh ngambil itu, pantarlih disuruh mengambilkan honornya orang lain,” kata Umar.
Umar menjelaskan bahwa honor tersebut memang diambil oleh Inah, tetapi kemudian diambil lagi oleh Masduki.
“Sama Inah diambil, tapi katanya diambil lagi oleh saat itu saudara Masduki. Karena kata Inah, menurut Inah, itu saudara Masduki yang meminta kepada Inah, terus kemudian oleh Inah mengira bahwa ini adalah rolling. Mengiranya adalah rolling: dia mengambilkan, nanti kemudian diambilkan oleh orang yang lain,” kata Umar.
Pada perkara ini, tujuh anggota nonaktif PPLN Kuala Lumpur, termasuk Tita, Umar, dan Masduki, didakwa memalsukan data dan daftar pemilih luar negeri Pemilu 2024 di Kuala Lumpur, Malaysia.
Selain mereka bertiga, empat terdakwa lainnya adalah Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Data dan Informasi Dicky Saputra; Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi SDM Aprijon; Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Sosialisasi Puji Sumarsono; dan Anggota PPLN Kuala Lumpur Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu Khalil.
Mereka didakwa melanggar Pasal 544 atau Pasal 545 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.