Bandarlampung (ANTARA) - Sebanyak 28 penggugat Keramba Jaring Apung (KJA) di sekitar Pantai Sari Ringgung memohon kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandarlampung agar mengabulkan gugatan mereka terhadap PT Pelindo terkait perusakan tambak dan dapat memperhatikan kondisi keluarga para petani kerapu khususnya terhadap anak-anak mereka yang telah lama terbengkalai.
"Kami telah lama hidup tidak ada kepastian tanggungjawab dari PT Pelindo sejak rusaknya tempat usaha kami. Hati-hati dengan doa orang yang telah didzolimi. Karena itu, kami mohon pak hakim dengarkanlah kami yang mulia, tolong kami. Kami menderita. Bela kami pak hakim hanya itu yang kami minta," kata seorang petani kerapu, Puri Siregar sembari menangis tersedu-sedu di lokasi tambak kerapu yang telah rusak, Senin.
Dia melanjutkan rusaknya tambak kerapu tersebut bukanlah kesalahan para petani kerapu seperti kurangnya memberi makan atau tidak diberi vitamin, melainkan kesalahan dan kecerobohan pihak Pelindo atas proyek hasil pengerukan yang dilakukan dengan cara pembuangan limbah tanpa kajian lingkungan hidup.
"Kami tidak tahu, tiba-tiba ikan kami mati. Bukan kesalahan kami, tapi kecerobohan Pelindo. Kami hanya petani kecil yang sampai saat ini masih berjuang agar pihak Pelindo dapat bertanggungjawab atas kematian mata pencaharian kami. Sekarang kami semua harus berjuang melunasi hutang-hutang yang kami pakai sebagai modal kami dulu," kata dia.
Petani kerapu lainnya, M Ali Hamid mengatakan dirinya telah lama tidak mempunyai pekerjaan setelah hancurnya satu-satu usaha tambak kerapu bebeknya akibat proyek pembuangan hasil pengerukan.
Selain itu, dirinya juga bersama petani lainnya terpaksa harus menanggung hutang yang telah lama dipinjam dari bank sebagai modal usaha tambak kerapu.
"Tidak ada lagi usaha kami, namun hutang tetap harus dibayar. Terpaksa kami harus jual benda-benda yang ada agar rumah kami tidak diambil oleh bank. Oleh karena itu kami mohon kepada mejelis agar mendengar jeritan para petani yang telah didzolimi akibat pengerukan proyek Pelindo," katanya.
Penasihat hukum petani kerapu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nasional, Sopian Sitepu mengatakan, pihaknya selama ini telah melakukan upaya hukum mulai dari tindak pidana melaporkan pencemaran proyek pembuangan hasil pengerukan di laut hingga mengajukan gugatan di pengadilan.
Selain melakukan upaya hukum, pihaknya juga telah melakukan mediasi dengan bantuan DPRD Provisni Lampung, namun hingga saat ini tidak ada tanggapan dan itikad baik dari Pelindo.
"Terakhir upaya hukum yang kami lakukan seperti mengajukan gugatan ke pengadilan. Gugatan kami tinggal menunggu putusan oleh majelis hakim," kata dia.
Menurutnya berkurangnya KJA dan tidak ada lagi budidaya ikan kerapu bebek akibat pembuangan limbah hasil kerukan PT Pelindo yang dibuang di sekitar 3.2 mil laut dari Pantai Sari Ringung dan sekitar 2.3 mil laut dari Pantai Pulau Tegal.
Ia menjelaskan dari hasil pemeriksaan setempat oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang dan para pihak penggugat bahwa tidak ada dokumen analisis lingkungan hidup sebagaimana diamanatkan Permenhub 52 tahun 2011 serta menurut ketentuan Pasal 18 ayat (4) UU No 32 Tahun 2004 bahwa pengelolaan laut dibawah 12 mil laut adalah kewenangan daerah bukan Menteri Perhubungan.
"Dengan adanya gugatan ini, kami berharap pengadilan dapat melihat bagaimana fakta kerugian dan perbuatan pembuangan limbah yang tidak mempunyai izin di area sekitar pertambakan KJA. Ratusan petani saat ini satu-satunya harapan adalah pengadilan dan kami percaya bahwa hati nurani majelis hakim dapat melihat yang sebenarnya yang dilakukan oleh pihak Pelindo," kata dia.
Sebelumnya, para petani kerapu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kerapu (Fokkel) Lampung meminta PT Pelindo Panjang agar mengganti kerugian sebesar Rp235 miliar atas kematian ratusan ribu ekor ikan kerapu milik para petani yang berada di sekitar Pulau Tegal.
Namun dengan berjalannya waktu, upaya hukum mulai dari tindak pidana, mediasi, hingga gugatan, dari pihak Pelindo hingga saat ini belum juga melakukan penggantian terhadap kerugian yang diderita para petani kerapu tersebut.
"Kami telah lama hidup tidak ada kepastian tanggungjawab dari PT Pelindo sejak rusaknya tempat usaha kami. Hati-hati dengan doa orang yang telah didzolimi. Karena itu, kami mohon pak hakim dengarkanlah kami yang mulia, tolong kami. Kami menderita. Bela kami pak hakim hanya itu yang kami minta," kata seorang petani kerapu, Puri Siregar sembari menangis tersedu-sedu di lokasi tambak kerapu yang telah rusak, Senin.
Dia melanjutkan rusaknya tambak kerapu tersebut bukanlah kesalahan para petani kerapu seperti kurangnya memberi makan atau tidak diberi vitamin, melainkan kesalahan dan kecerobohan pihak Pelindo atas proyek hasil pengerukan yang dilakukan dengan cara pembuangan limbah tanpa kajian lingkungan hidup.
"Kami tidak tahu, tiba-tiba ikan kami mati. Bukan kesalahan kami, tapi kecerobohan Pelindo. Kami hanya petani kecil yang sampai saat ini masih berjuang agar pihak Pelindo dapat bertanggungjawab atas kematian mata pencaharian kami. Sekarang kami semua harus berjuang melunasi hutang-hutang yang kami pakai sebagai modal kami dulu," kata dia.
Petani kerapu lainnya, M Ali Hamid mengatakan dirinya telah lama tidak mempunyai pekerjaan setelah hancurnya satu-satu usaha tambak kerapu bebeknya akibat proyek pembuangan hasil pengerukan.
Selain itu, dirinya juga bersama petani lainnya terpaksa harus menanggung hutang yang telah lama dipinjam dari bank sebagai modal usaha tambak kerapu.
"Tidak ada lagi usaha kami, namun hutang tetap harus dibayar. Terpaksa kami harus jual benda-benda yang ada agar rumah kami tidak diambil oleh bank. Oleh karena itu kami mohon kepada mejelis agar mendengar jeritan para petani yang telah didzolimi akibat pengerukan proyek Pelindo," katanya.
Penasihat hukum petani kerapu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nasional, Sopian Sitepu mengatakan, pihaknya selama ini telah melakukan upaya hukum mulai dari tindak pidana melaporkan pencemaran proyek pembuangan hasil pengerukan di laut hingga mengajukan gugatan di pengadilan.
Selain melakukan upaya hukum, pihaknya juga telah melakukan mediasi dengan bantuan DPRD Provisni Lampung, namun hingga saat ini tidak ada tanggapan dan itikad baik dari Pelindo.
"Terakhir upaya hukum yang kami lakukan seperti mengajukan gugatan ke pengadilan. Gugatan kami tinggal menunggu putusan oleh majelis hakim," kata dia.
Menurutnya berkurangnya KJA dan tidak ada lagi budidaya ikan kerapu bebek akibat pembuangan limbah hasil kerukan PT Pelindo yang dibuang di sekitar 3.2 mil laut dari Pantai Sari Ringung dan sekitar 2.3 mil laut dari Pantai Pulau Tegal.
Ia menjelaskan dari hasil pemeriksaan setempat oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang dan para pihak penggugat bahwa tidak ada dokumen analisis lingkungan hidup sebagaimana diamanatkan Permenhub 52 tahun 2011 serta menurut ketentuan Pasal 18 ayat (4) UU No 32 Tahun 2004 bahwa pengelolaan laut dibawah 12 mil laut adalah kewenangan daerah bukan Menteri Perhubungan.
"Dengan adanya gugatan ini, kami berharap pengadilan dapat melihat bagaimana fakta kerugian dan perbuatan pembuangan limbah yang tidak mempunyai izin di area sekitar pertambakan KJA. Ratusan petani saat ini satu-satunya harapan adalah pengadilan dan kami percaya bahwa hati nurani majelis hakim dapat melihat yang sebenarnya yang dilakukan oleh pihak Pelindo," kata dia.
Sebelumnya, para petani kerapu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Kerapu (Fokkel) Lampung meminta PT Pelindo Panjang agar mengganti kerugian sebesar Rp235 miliar atas kematian ratusan ribu ekor ikan kerapu milik para petani yang berada di sekitar Pulau Tegal.
Namun dengan berjalannya waktu, upaya hukum mulai dari tindak pidana, mediasi, hingga gugatan, dari pihak Pelindo hingga saat ini belum juga melakukan penggantian terhadap kerugian yang diderita para petani kerapu tersebut.