Jakarta (ANTARA) - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menjelaskan kronologi praktik dokter gadungan, seorang tamatan SMA atas nama S di Surabaya bisa terjadi.
"Sejak 2006 hingga 2008 lalu di Grobogan, Jawa Tengah, dia mengaku sebagai dokter, dengan semua syarat terpenuhi, dan sempat bekerja di Palang Merah Indonesia (PMI), serta beberapa rumah sakit dan kemudian pindah," kata Wakil Sekretaris Jenderal PB IDI Dr Telogo Wismo dalam konferensi pers yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.
Telogo yang merupakan Mantan Ketua IDI Grobogan tersebut menambahkan pihaknya mendapatkan panggilan telepon dari Kalimantan, bahwa dokter gadungan tersebut telah menjadi dokter spesialis kandungan di sana.
Dia mengungkapkan panggilan tersebut berawal dari kecurigaan perawat yang mendampingi dokter gadungan tersebut saat hendak melakukan tindak operasi caesar kepada seorang pasien.
"Perawatnya ragu, kemudian menghubungi direktur rumah sakit, dan kemudian melaporkannya ke pihak berwajib. Sempat dihukum, namun sekarang kembali lagi dengan kasus yang sama," ujarnya.
Ketua IDI Kabupaten Bandung Dr Azis Asopari mengungkapkan kasus dokter gadungan tersebut kembali mencuat, setelah adanya laporan dari salah seorang anggota IDI Kabupaten Bandung, yang identitasnya digunakan oleh dokter gadungan tersebut untuk melakukan praktik.
Azis mengatakan awalnya dokter gadungan tersebut melakukan praktik di Surabaya, namun, dimutasi ke Blora, Jawa Tengah karena dokter gadungan tersebut melakukan prakteknya di rumah sakit salah satu perusahaan BUMN.
Setelah diselidiki, sambungnya, ternyata dokter gadungan tersebut melakukan praktiknya di Blora dengan tanpa sepengetahuan IDI Blora.
"Ternyata betul, izin praktik ada, namun menggunakan surat milik anggota kami dengan mengganti fotonya," ucapnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Siti Nadia Tarmizi menekankan proses mekanisme kredensial merupakan hal yang harus dilakukan oleh seorang dokter sebelum dapat melakukan praktik.
"Seharusnya pada kontrak pertama, proses kredensial dari komite medik harus dilakukan untuk menentukan tenaga medis tadi, apakah kompetensinya sesuai dengan yg dibutuhkan atau tidak," katanya saat dikonfirmasi secara terpisah.
Selain itu, Nadia mengatakan sebuah rumah sakit seharusnya memiliki peraturan tata kelola khusus (hospital by laws), serta menjalankan fungsinya dengan baik untuk mencegah praktik dokter gadungan terjadi kembali.
Oleh karena itu, Nadia menyatakan Kemenkes bersama sejumlah asosiasi rumah sakit dan Dinas Kesehatan akan terus melakukan pembinaan terhadap rumah sakit-rumah sakit di Indonesia.