Jakarta (ANTARA) - Perusahaan penyedia biomassa terbesar di Indonesia PT International Green Energy (IGE) telah mengantongi sertifikat green gold label berkat implementasi bisnis berkelanjutan melalui produksi cangkang sawit sebagai salah satu bahan baku penghasil energi hijau.
Direktur Utama IGE Dikki Akhmar mengatakan sertifikat ini makin membuka akses perusahaannya untuk melakukan ekspor produk biomassa ke sejumlah negara, seperti Jepang dan Uni Eropa yang selama ini banyak memberikan persyaratan yang cukup ketat untuk menerima produk biomassa.
Direktur Utama IGE Dikki Akhmar mengatakan sertifikat ini makin membuka akses perusahaannya untuk melakukan ekspor produk biomassa ke sejumlah negara, seperti Jepang dan Uni Eropa yang selama ini banyak memberikan persyaratan yang cukup ketat untuk menerima produk biomassa.
"Kami sudah memenuhi standar ketentuan internasional mengenai perlunya sertifikasi keberlanjutan terhadap produk-produk yang dijual atau diekspor," ujarnya dalam keterangan di Jakarta, Senin.
Dikki menjelaskan sertifikat green gold label merupakan penanda bahwa perusahaan sudah kredibel untuk melakukan ekspor ke negara-negara yang mewajibkan sertifikasi berkelanjutan.
Ia mengaku perusahaannya kini makin leluasa melakukan ekspor dan berekspansi ke negara-negara potensial lainnya usai mengantongi sertifikat green gold label.
"Kami belum lama ini juga telah menandatangani kontrak 15 tahun dengan salah satu powerplant terbesar di Jepang. Dengan sertifikat green gold label ini tentu akan membuka lebih banyak peluang kontrak baru," kata Dikki.
IGE menerima sertifikat itu dari Control Union yang merupakan badan sertifikasi yang berpusat di Zwolle, Belanda. Standardisasi green gold label adalah salah satu pionir skema sertifikasi berkelanjutan terhadap produk biomassa yang telah diakui dan diterapkan di seluruh dunia.
Direktur Control Union Jurriiaan Boer menjelaskan bahwa sertifikat itu akan berlaku selama lima tahun sejak diterbitkan, dan setiap tahunnya akan dilakukan audit kembali.
Proses audit standardisasi green gold label dilakukan meliputi keterlacakan kebun sawit asal pasokan cangkang, utilitas produsen energi, termasuk data energi dan karbon yang harus disediakan dalam seluruh sistem rantai pasok.
Direktur IGE Tomoichi Yamaguchi menambahkan bahwa Jepang menjadi salah satu negara yang akan mewajibkan impor produk energinya memiliki sertifikat berkelanjutan pada 2023 mendatang.
Selain green gold label, ada pula sertifikasi roundtable of sustainable palm oil (RSPO), dan roundtable on sustainable biomaterials (RSB).
"Pada April 2023, Pemerintah Jepang mewajibkan impor energi ke negaranya harus memiliki salah satu sertifikat tersebut. kami memilih sertifikat green gold label karena lebih praktis," jelas Yamaguchi.
Jepang merupakan negara utama tujuan ekspor cangkang sawit nasional dengan pangsa pasar mencapai 84,5 persen dari total ekspor cangkang sawit Indonesia, sehingga pemenuhan standar green gold label menjadi hal penting bagi para eksportir biomassa dari Indonesia.
Jepang merupakan negara utama tujuan ekspor cangkang sawit nasional dengan pangsa pasar mencapai 84,5 persen dari total ekspor cangkang sawit Indonesia, sehingga pemenuhan standar green gold label menjadi hal penting bagi para eksportir biomassa dari Indonesia.
Potensi ekspor tersebut juga masih terbuka besar mengingat pada 2030 pemerintah Jepang berkomitmen untuk menggunakan 24 persen pemenuhan energinya berasal dari energi baru dan terbarukan termasuk yang berasal dari biomassa.
Dikki menjelaskan peluang ini bakal bermanfaat untuk menambah penerimaan negara karena Indonesia merupakan eksportir cangkang sawit terbesar di dunia. Hal ini tak lain dan tak bukan karena Indonesia juga merupakan negara dengan perkebunan sawit paling besar di dunia.
"Produksi cangkang sawit di Indonesia kurang lebih mencapai 12 juta ton per tahun. Namun, baru sekitar 20-25 persen dari jumlah tersebut yang diekspor ke negara-negara pengguna, sementara sisanya dipakai di dalam negeri untuk kebutuhan sendiri, sebagian lagi tidak digunakan karena tidak komersil," papar Dikki.
Lebih lanjut dia menyampaikan ada sekitar dua sampai 2,5 juta ton cangkang sawit yang diekspor dari Indonesia setiap tahun.
Dikki yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit (APCASI) menjelaskan dari volume ekspor menghasilkan devisa masuk kurang lebih 300 juta dolar AS.
Merujuk data Kementerian Perindustrian pada tiga kuartal tahun lalu, ekspor sawit dari Indonesia nilainya telah mencapai 284 juta dolar AS, nilai tersebut meningkat lebih dari 24 persen (yoy) pada periode serupa.
Para eksportir cangkang sawit kini mengharapkan dukungan dari pemerintah Indonesia. Apalagi ditambah dengan kepatuhan para eksportir terhadap ketentuan-ketentuan negara importir tersebut.