Jakarta (ANTARA) - Presidensi Indonesia pada kelompok 20 negara ekonomi besar dunia (G20) berperan penting untuk mengatur dan mengoordinasikan strategi keluar (exit strategy) dari masalah ekonomi yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, kata seorang ekonom pada Senin.
"Di sini pentingnya peran presidensi G20 Indonesia untuk mengoordinasikan supaya exit strategy ini tidak amburadul, tidak masing-masing (negara) jalan sendiri-sendiri. Kalau di jalan raya gitu ya, kalau masing-masing itu ngerem mendadak mungkin akan terjadi kecelakaan. Harus terkoordinasi semuanya," kata kepala departemen ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri kepada ANTARA.
Menurut dia, pemulihan ekonomi yang sudah dan sedang terjadi saat ini sifatnya masih belum seimbang sehingga hal itu perlu diwaspadai karena dapat membuat risiko yang dihadapi perekonomian dunia menjadi lebih tinggi.
"Belum lagi kita lihat bahwa sekarang ini posisi utang banyak negara, baik negara maju maupun berkembang, itu tetap masih sangat tinggi, dan masih tetap banyak stimulus fiskal yang diperlukan oleh kebanyakan perekonomian ini," kata Yose.
Untuk itu, kata dia, ada risiko di tingkat utang yang semakin tinggi dan semakin merugikan karena biaya untuk mendapatkan utang itu pun semakin tinggi.
"Belum lagi masalah inflasi. Jadi masalah perekonomian dari sisi makro ekonominya di tingkat global, ini juga perlu diwaspadai," kata Yose.
Oleh karena itu, menurut dia, exit strategy dari kondisi ekonomi yang terdampak pandemi --yang sejauh ini lebih banyak didorong oleh kebijakan fiskal yang ekspansif dan didorong stimulus dari pemerintah-- harus berhenti pada titik tertentu.
"Tapi berhentinya ini bagaimana? Itu tidak bisa mendadak, dan (negara-negara) harus terkoordinasi sama-sama satu dan lainnya," ucapnya.
Fungsi koordinasi itulah yang perlu dilakukan Indonesia selama masa presidensi di G20, kata Yose.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bahwa untuk mendorong pemulihan ekonomi dunia yang merata dan pertumbuhan ekonomi yang makin kuat dan berkelanjutan, maka presidensi Indonesia di G20 akan mengangkat sejumlah agenda prioritas di jalur keuangan (finance track).
Pertama, upaya untuk melindungi negara-negara berkembang dari efek limpahan yang ditimbulkan oleh normalisasi kebijakan di negara-negara maju.
Kedua, upaya untuk membantu berbagai sektor yang paling terdampak oleh pandemi melalui penguatan efisiensi dan produktivitas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Ketiga, prinsip-prinsip yang perlu menjadi acuan dalam pengembangan uang digital yang diterbitkan oleh bank sentral (central bank digital currency).
Keempat, upaya untuk memperkuat sistem pembayaran untuk transaksi pembayaran lintas negara secara lebih cepat, murah, dan aman.
Kelima, upaya untuk mengembangkan sumber-sumber pembiayaan yang dapat mendukung upaya dunia dalam mengatasi perubahan iklim (sustainable finance), termasuk menangani risiko transisi menuju ekonomi rendah karbon.
"Keenam, bagaimana mendorong perluasan inklusivitas keuangan melalui pemanfaatan digitalisasi ekonomi dan keuangan. Ketujuh, bagaimana mengembangkan sistem perpajakan internasional yang dapat mengoptimalkan penerimaan pajak di era digital," ujar Perry.
"Di sini pentingnya peran presidensi G20 Indonesia untuk mengoordinasikan supaya exit strategy ini tidak amburadul, tidak masing-masing (negara) jalan sendiri-sendiri. Kalau di jalan raya gitu ya, kalau masing-masing itu ngerem mendadak mungkin akan terjadi kecelakaan. Harus terkoordinasi semuanya," kata kepala departemen ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri kepada ANTARA.
Menurut dia, pemulihan ekonomi yang sudah dan sedang terjadi saat ini sifatnya masih belum seimbang sehingga hal itu perlu diwaspadai karena dapat membuat risiko yang dihadapi perekonomian dunia menjadi lebih tinggi.
"Belum lagi kita lihat bahwa sekarang ini posisi utang banyak negara, baik negara maju maupun berkembang, itu tetap masih sangat tinggi, dan masih tetap banyak stimulus fiskal yang diperlukan oleh kebanyakan perekonomian ini," kata Yose.
Untuk itu, kata dia, ada risiko di tingkat utang yang semakin tinggi dan semakin merugikan karena biaya untuk mendapatkan utang itu pun semakin tinggi.
"Belum lagi masalah inflasi. Jadi masalah perekonomian dari sisi makro ekonominya di tingkat global, ini juga perlu diwaspadai," kata Yose.
Oleh karena itu, menurut dia, exit strategy dari kondisi ekonomi yang terdampak pandemi --yang sejauh ini lebih banyak didorong oleh kebijakan fiskal yang ekspansif dan didorong stimulus dari pemerintah-- harus berhenti pada titik tertentu.
"Tapi berhentinya ini bagaimana? Itu tidak bisa mendadak, dan (negara-negara) harus terkoordinasi sama-sama satu dan lainnya," ucapnya.
Fungsi koordinasi itulah yang perlu dilakukan Indonesia selama masa presidensi di G20, kata Yose.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bahwa untuk mendorong pemulihan ekonomi dunia yang merata dan pertumbuhan ekonomi yang makin kuat dan berkelanjutan, maka presidensi Indonesia di G20 akan mengangkat sejumlah agenda prioritas di jalur keuangan (finance track).
Pertama, upaya untuk melindungi negara-negara berkembang dari efek limpahan yang ditimbulkan oleh normalisasi kebijakan di negara-negara maju.
Kedua, upaya untuk membantu berbagai sektor yang paling terdampak oleh pandemi melalui penguatan efisiensi dan produktivitas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Ketiga, prinsip-prinsip yang perlu menjadi acuan dalam pengembangan uang digital yang diterbitkan oleh bank sentral (central bank digital currency).
Keempat, upaya untuk memperkuat sistem pembayaran untuk transaksi pembayaran lintas negara secara lebih cepat, murah, dan aman.
Kelima, upaya untuk mengembangkan sumber-sumber pembiayaan yang dapat mendukung upaya dunia dalam mengatasi perubahan iklim (sustainable finance), termasuk menangani risiko transisi menuju ekonomi rendah karbon.
"Keenam, bagaimana mendorong perluasan inklusivitas keuangan melalui pemanfaatan digitalisasi ekonomi dan keuangan. Ketujuh, bagaimana mengembangkan sistem perpajakan internasional yang dapat mengoptimalkan penerimaan pajak di era digital," ujar Perry.