Jakarta (ANTARA) - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan kebijakan menghapus produk premium tidak akan berdampak signifikan pada inflasi karena jumlahnya sedikit di pasaran.
"Jika premium jadi dihapus pada 2022, itu tidak akan mengganggu inflasi karena jumlahnya sudah kecil di pasaran," ujarnya dalam sebuah diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Rabu malam.
Tulus mengaku telah mengecek data itu ke bagian pemasaran PT Pertamina (Persero) terkait persentase premium di pasaran. Per November 2021, jumlah premium secara nasional tingga 0,9 persen dari total bahan bakar minyak yang beredar di masyarakat.
Menurutnya, apabila pemerintah jadi menghapus penjualan produk Premium hal itu tidak akan menimbulkan inflasi yang mendalam dan tidak akan mengganggu daya beli masyarakat.
Kecuali yang dihapus adalah pertalite, saya kira itu akan sangat mengganggu daya beli dan akan menimbulkan inflasi yang dalam," kata Tulus.
Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Soerjaningsih mengatakan bahwa pemerintah mendorong penggunaan bensin RON 90 atau pertalite sebagai bahan bakar minyak ramah lingkungan karena Indonesia kini memasuki masa transisi energi.
Pernyataan itu secara tidak langsung menerangkan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan lagi produk premium dengan Research Octane Number (RON) 88 ke pasaran karena bahan bakar minyak jenis ini tidak ramah lingkungan.
Saat ini, pemerintah sedang menyusun peta jalan bahan bakar minyak ramah lingkungan di mana nantinya pertalite juga akan digantikan dengan bahan bakar yang kualitasnya lebih baik, yaitu pertamax.
Direktur Eksektutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengharapkan agar pemerintah tidak hanya menghapus premium, tetapi juga pertalite karena tidak memenuhi standar Euro IV.
"Kami mengharapkan tidak hanya premium RON 88 yang dihapus, tetapi ada jenis bahan bakar lain yang juga perlu dihapus karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan teknologi," pungkasnya.
Baca juga: Pertamina nyatakan belum ada kebijakan hapus premium
"Jika premium jadi dihapus pada 2022, itu tidak akan mengganggu inflasi karena jumlahnya sudah kecil di pasaran," ujarnya dalam sebuah diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Rabu malam.
Tulus mengaku telah mengecek data itu ke bagian pemasaran PT Pertamina (Persero) terkait persentase premium di pasaran. Per November 2021, jumlah premium secara nasional tingga 0,9 persen dari total bahan bakar minyak yang beredar di masyarakat.
Menurutnya, apabila pemerintah jadi menghapus penjualan produk Premium hal itu tidak akan menimbulkan inflasi yang mendalam dan tidak akan mengganggu daya beli masyarakat.
Kecuali yang dihapus adalah pertalite, saya kira itu akan sangat mengganggu daya beli dan akan menimbulkan inflasi yang dalam," kata Tulus.
Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Soerjaningsih mengatakan bahwa pemerintah mendorong penggunaan bensin RON 90 atau pertalite sebagai bahan bakar minyak ramah lingkungan karena Indonesia kini memasuki masa transisi energi.
Pernyataan itu secara tidak langsung menerangkan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan lagi produk premium dengan Research Octane Number (RON) 88 ke pasaran karena bahan bakar minyak jenis ini tidak ramah lingkungan.
Saat ini, pemerintah sedang menyusun peta jalan bahan bakar minyak ramah lingkungan di mana nantinya pertalite juga akan digantikan dengan bahan bakar yang kualitasnya lebih baik, yaitu pertamax.
Direktur Eksektutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin mengharapkan agar pemerintah tidak hanya menghapus premium, tetapi juga pertalite karena tidak memenuhi standar Euro IV.
"Kami mengharapkan tidak hanya premium RON 88 yang dihapus, tetapi ada jenis bahan bakar lain yang juga perlu dihapus karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan teknologi," pungkasnya.
Baca juga: Pertamina nyatakan belum ada kebijakan hapus premium