Jakarta (ANTARA) - Sejumlah politisi dan akademisi yang tergabung dalam Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) menolak wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Forum Diskusi Salemba ILUNI UI ke-61 yang diikuti di Jakarta, Sabtu.
Beberapa pembicara berpendapat amendemen UUD 1945 belum mendesak dan itu membutuhkan evaluasi serta kajian yang lengkap atas hasil perubahan sebelumnya.
Anggota DPR RI Benny K Harman, yang merupakan anggota ILUNI UI, pada sesi diskusi tegas menolak wacana amendemen UUD 1945. Ia berpendapat amendemen belum dibutuhkan karena tidak ada masalah yang mendesak dan sistemik.
"Amendemen adalah sebuah sikap hasil evaluasi. Jadi, tidak bisa dilakukan begitu saja. Apakah ada masalah? Apakah check and balances tidak jalan? Ini semua harus dibuktikan secara komprehensif," tutur Benny, yang saat ini bertugas sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR RI.
Pendapat yang tidak jauh berbeda turut disampaikan oleh Ketua Policy Center ILUNI UI Mohammad Jibriel Avessina.
Ia menyampaikan wacana mengamendemen UUD 1945 didorong oleh keinginan membentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Namun, PPHN tidak lagi kompatibel dengan sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia saat ini.
"Tidak ada urgensinya PPHN masuk dalam amendemen kelima. Policy Center ILUNI UI mengingatkan masyarakat sipil terus mengawasi proses politik yang berjalan," ujar Jibriel.
Kemudian pada forum yang sama, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mendukung pendapat Jibriel. Ia menegaskan upaya membentuk PPHN lewat amendemen tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan.
"MPR tidak lagi ditempatkan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR tidak memilih presiden dan wakil presiden sehingga tidak dapat memberi mandat seperti GBHN dan tidak dapat memberhentikan presiden atau wakil presiden karena melanggar GBHN," kata Bivitri menjelaskan.
Pembicara lainnya, Angota DPR RI Fadli Zon mengingatkan keinginan mengamendemen UUD 1945 harus datang dari kebutuhan dan kehendak rakyat.
"Jangan nanti rakyat di-faith accomply untuk sebuah keputusan majelis yang tidak melibatkan rakyat," ucap Fadli Zon.
Ia mengusulkan MPR RI sebaiknya menggelar referendum sehingga wacana amendemen dapat dipastikan datang dari kehendak publik. "Referendum adalah suatu cara mengembalikan suara rakyat," katanya.
Dalam sesi yang sama, Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menyampaikan wacana amendemen sebaiknya tidak diteruskan karena rakyat masih berjuang menghadapi berbagai kesulitan akibat pandemi COVID-19.
"Saya rasa tidak tepat untuk saat ini proses perubahan UUD 1945, meskipun itu bisa dilakukan," ujar Viva Yoga.
Wacana mengamendemen UUD 1945 demi membentuk PPHN disampaikan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pada Sidang Tahunan MPR RI di Jakarta pada 16 Agustus 2021.
Dalam pidatonya, Bambang Soesatyo atau yang populer Bamsoet, menyebut PPHN akan menjaga rencana visioner Pemerintah dapat terlaksana meskipun pasangan presiden dan wakil presidennya berganti.
Beberapa pembicara berpendapat amendemen UUD 1945 belum mendesak dan itu membutuhkan evaluasi serta kajian yang lengkap atas hasil perubahan sebelumnya.
Anggota DPR RI Benny K Harman, yang merupakan anggota ILUNI UI, pada sesi diskusi tegas menolak wacana amendemen UUD 1945. Ia berpendapat amendemen belum dibutuhkan karena tidak ada masalah yang mendesak dan sistemik.
"Amendemen adalah sebuah sikap hasil evaluasi. Jadi, tidak bisa dilakukan begitu saja. Apakah ada masalah? Apakah check and balances tidak jalan? Ini semua harus dibuktikan secara komprehensif," tutur Benny, yang saat ini bertugas sebagai Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR RI.
Pendapat yang tidak jauh berbeda turut disampaikan oleh Ketua Policy Center ILUNI UI Mohammad Jibriel Avessina.
Ia menyampaikan wacana mengamendemen UUD 1945 didorong oleh keinginan membentuk Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Namun, PPHN tidak lagi kompatibel dengan sistem ketatanegaraan dan sistem politik di Indonesia saat ini.
"Tidak ada urgensinya PPHN masuk dalam amendemen kelima. Policy Center ILUNI UI mengingatkan masyarakat sipil terus mengawasi proses politik yang berjalan," ujar Jibriel.
Kemudian pada forum yang sama, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mendukung pendapat Jibriel. Ia menegaskan upaya membentuk PPHN lewat amendemen tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan.
"MPR tidak lagi ditempatkan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR tidak memilih presiden dan wakil presiden sehingga tidak dapat memberi mandat seperti GBHN dan tidak dapat memberhentikan presiden atau wakil presiden karena melanggar GBHN," kata Bivitri menjelaskan.
Pembicara lainnya, Angota DPR RI Fadli Zon mengingatkan keinginan mengamendemen UUD 1945 harus datang dari kebutuhan dan kehendak rakyat.
"Jangan nanti rakyat di-faith accomply untuk sebuah keputusan majelis yang tidak melibatkan rakyat," ucap Fadli Zon.
Ia mengusulkan MPR RI sebaiknya menggelar referendum sehingga wacana amendemen dapat dipastikan datang dari kehendak publik. "Referendum adalah suatu cara mengembalikan suara rakyat," katanya.
Dalam sesi yang sama, Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi menyampaikan wacana amendemen sebaiknya tidak diteruskan karena rakyat masih berjuang menghadapi berbagai kesulitan akibat pandemi COVID-19.
"Saya rasa tidak tepat untuk saat ini proses perubahan UUD 1945, meskipun itu bisa dilakukan," ujar Viva Yoga.
Wacana mengamendemen UUD 1945 demi membentuk PPHN disampaikan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pada Sidang Tahunan MPR RI di Jakarta pada 16 Agustus 2021.
Dalam pidatonya, Bambang Soesatyo atau yang populer Bamsoet, menyebut PPHN akan menjaga rencana visioner Pemerintah dapat terlaksana meskipun pasangan presiden dan wakil presidennya berganti.