Jakarta (ANTARA) - Dosen Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Prof I Nengah Surati Jaya mengatakan Hari Pangan Sedunia yang jatuh setiap 16 Oktober 2020 menjadi momentum untuk mengingat hutan sebagai sumber ketahanan dan penyediaan pangan karena dapat menyediakan bahan makanan dari tumbuhan alami maupun agroforestri, sylvofishery, maupun sylvopasture.
"Sebagai ilustrasi, di Indonesia luas hutan produksi mencapai 29 juta hektare. Lahan hutan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk berbagai macam bisnis kehutanan," kata Nengah melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Nengah mengatakan bisnis kehutanan meliputi hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, dan wisata. Bila 10 persen dari areal hutan dimanfaatkan untuk agroforestri, sylfopasture, atau sylvofishery, maka ada sekitar 2,9 juta hektare lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pangan.
Bila 10 persennya dijadikan untuk lahan agroforestry, dapat menghasilkan 4.350.000 ton gabah atau setara dengan 2.727.450 ton beras. yang dapat menghidupi 65 juta penduduk per tahun dengan asumsi konsumsi 114 gram per hari per orang.
"Itu baru dari agroforestri, belum dari sumber karbohidrat yang secara alami ada di hutan seperti ubi kayu, talas, sagu, dan lain-lain," tuturnya.
Baca juga: Yayasan EcoNusa ajak jurnalis sebarluaskan isu hutan dan laut di Indonesia
Nengah mengatakan setiap hektare lahan bisa menyerap dua hingga tiga orang tenaga kerja, sehingga akan ada 5,8 juta hingga 8,7 juta tenaga kerja yang dapat diserap. Serapan itu baru dari hutan negara, belum termasuk dari hutan atau kebun milik rakyat yang mendekati angka 1,5 juta hektare.
Bila hutan rakyat dimanfaatkan dan 25 persennya sebagai agroforestri, maka akan ada tambahan sumber pangan untuk menghidupi 8,5 juta jiwa.
"Sumber pangan lainnya dari hutan yang sudah nyata potensinya adalah sagu, nipah, biji kesambi, dan biji kepuh. Bahkan sagu sudah menjadi sumber pangan utama masyarakat Indonesia bagian Timur," katanya.
Menurut Nengah, hutan selain kayu juga memiliki potensi lain berupa hasil hutan bukan kayu nabati maupun hewani yang dapat menjadi sumber pangan potensial. Hasil hutan bukan kayu nabati antara lain damar, gaharu, kemenyan, getah tusam, minyak atsiri, cendana, kulit kayu manis, durian, kemiri, pala, vanili, buah merah, rebung bambu, kayu kuning, jelutung pinang, gambur, akar wangi, brotowali, anggrek hutan, rotan, dan kina.
Belum lagi potensi hasil hutan bukan kayu hewani seperti babi hutan, kelinci, kancil, rusa, buaya, arwana, kupu-kupu, sarang burung walet, ulat sutera, dan lebah madu.
"Tidak bisa dipungkiri bahwa hutan sebagai sumber ketahanan dan penyedia pangan bisa diwujudkan. Sebagian masyarakat kita bahkan masih mengandalkan sumber pangan dari hutan," ucapnya.
Dalam perspektif ke depan, Nengah mengatakan kebijakan multiusaha kehutanan bisa memproduksi sumber pangan tidak hanya skala kecil untuk pemenuhan sehari-hari tetapi bisa menjadi skala bisnis.
Baca juga: Indonesia ikut pamerkan hasil hutan bukan kayu di Kuching
Baca juga: Presiden: Indonesia berkomitmen kelola hutan dan energi
"Sebagai ilustrasi, di Indonesia luas hutan produksi mencapai 29 juta hektare. Lahan hutan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk berbagai macam bisnis kehutanan," kata Nengah melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Nengah mengatakan bisnis kehutanan meliputi hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, dan wisata. Bila 10 persen dari areal hutan dimanfaatkan untuk agroforestri, sylfopasture, atau sylvofishery, maka ada sekitar 2,9 juta hektare lahan yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pangan.
Bila 10 persennya dijadikan untuk lahan agroforestry, dapat menghasilkan 4.350.000 ton gabah atau setara dengan 2.727.450 ton beras. yang dapat menghidupi 65 juta penduduk per tahun dengan asumsi konsumsi 114 gram per hari per orang.
"Itu baru dari agroforestri, belum dari sumber karbohidrat yang secara alami ada di hutan seperti ubi kayu, talas, sagu, dan lain-lain," tuturnya.
Baca juga: Yayasan EcoNusa ajak jurnalis sebarluaskan isu hutan dan laut di Indonesia
Nengah mengatakan setiap hektare lahan bisa menyerap dua hingga tiga orang tenaga kerja, sehingga akan ada 5,8 juta hingga 8,7 juta tenaga kerja yang dapat diserap. Serapan itu baru dari hutan negara, belum termasuk dari hutan atau kebun milik rakyat yang mendekati angka 1,5 juta hektare.
Bila hutan rakyat dimanfaatkan dan 25 persennya sebagai agroforestri, maka akan ada tambahan sumber pangan untuk menghidupi 8,5 juta jiwa.
"Sumber pangan lainnya dari hutan yang sudah nyata potensinya adalah sagu, nipah, biji kesambi, dan biji kepuh. Bahkan sagu sudah menjadi sumber pangan utama masyarakat Indonesia bagian Timur," katanya.
Menurut Nengah, hutan selain kayu juga memiliki potensi lain berupa hasil hutan bukan kayu nabati maupun hewani yang dapat menjadi sumber pangan potensial. Hasil hutan bukan kayu nabati antara lain damar, gaharu, kemenyan, getah tusam, minyak atsiri, cendana, kulit kayu manis, durian, kemiri, pala, vanili, buah merah, rebung bambu, kayu kuning, jelutung pinang, gambur, akar wangi, brotowali, anggrek hutan, rotan, dan kina.
Belum lagi potensi hasil hutan bukan kayu hewani seperti babi hutan, kelinci, kancil, rusa, buaya, arwana, kupu-kupu, sarang burung walet, ulat sutera, dan lebah madu.
"Tidak bisa dipungkiri bahwa hutan sebagai sumber ketahanan dan penyedia pangan bisa diwujudkan. Sebagian masyarakat kita bahkan masih mengandalkan sumber pangan dari hutan," ucapnya.
Dalam perspektif ke depan, Nengah mengatakan kebijakan multiusaha kehutanan bisa memproduksi sumber pangan tidak hanya skala kecil untuk pemenuhan sehari-hari tetapi bisa menjadi skala bisnis.
Baca juga: Indonesia ikut pamerkan hasil hutan bukan kayu di Kuching
Baca juga: Presiden: Indonesia berkomitmen kelola hutan dan energi