Jakarta (ANTARA) - Perkembangan yang terjadi di seputar wabah radang paru-paru berat sepertinya jauh lebih cepat daripada pergerakan Virus Corona jenis baru yang menjadi penyebab utama pneumonia itu sendiri.

Kini China sudah mulai merasakan tanda-tanda keberhasilan upaya kerasnya dalam mengendalikan dan mencegah wabah bersandi COVID-19 itu.

Penambahan jumlah kasus baru, termasuk tingkat kematian dalam sepekan terakhir yang hanya dua digit, tidak seekstrim periode Januari-Februari 2020 yang sampai level tiga digit.

Hingga Minggu (15/3) malam, jumlah kasus positif COVID-19 secara kumulatif tercatat 80.844 dengan penambahan sehari hanya 20 kasus baru. Jumlah kumulatif kasus kematiannya 3.199 dengan angka perubahan yang relatif sedikit, hanya 10 kasus.
Baca juga: Wabah Corona, Federasi Sepak Bola Italia minta Euro 2020 ditunda

Sementara angka kesembuhannya mencapai 66.911 atau bertambah 1.370 kasus dalam sehari.

Sebaliknya China mendapatkan 111 kasus impor, baik yang dialami warga negara asing yang kembali ke China maupun warga negara China yang baru pulang dari berbagai negara, seperti Italia dan Iran.

Tren positif inilah yang menjadikan beberapa pemerintah daerah di Provinsi Hubei mulai mengizinkan warganya kembali bekerja.

Dongfeng Honda Automobile Co Ltd, industri otomotif hasil patungan antara perusahaan China dan Jepang yang beroperasi di Wuhan, mulai mempekerjakan karyawannya lagi per 11 Maret 2020 atau 49 hari setelah Ibu Kota Provinsi Hubei yang menjadi episentrum COVID-19 ditutup total atau lockdown pada 23 Januari 2020.

Meskipun masih bersifat parsial, Dongfeng Honda merupakan perusahaan pertama yang diizinkan untuk kembali beroperasi di Wuhan sejak lockdown tersebut.

Di Wuhan, selain bermitra dengan Honda hingga Dongfeng memiliki tiga unit pabrik, juga punya unit lain hasil patungan dengan raksasa otomotif dari Prancis Renault.

Dongfeng Honda merupakan perusahaan patungan terbesar di Wuhan yang mampu memproduksi 792.000 unit mobil senilai 135 miliar yuan atau sekitar Rp65,2 triliun selama 2019 sehingga bisa memberikan kontribusi pendapatan 54 persen ke salah satu zona industri di kota ekonomi terbesar kedelapan di China itu .

Perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 12.000 karyawan itu telah beberapa kali merencanakan operasi kembali, namun beberapa kali pula ditunda atas pertimbangan upaya-upaya pemerintah setempat mengendalikan virus yang membunuh ribuan nyawa warga setempat itu.
Baca juga: Gubernur Jabar tetapkan siswa belajar di rumah selama dua pekan

Penundaan terakhir diumumkan pada 21 Februari sesuai instruksi pemerintah provinsi setempat bahwa pengoperasian kembali tidak boleh dilakukan sebelum 10 Maret.

Kenapa tanggal 10 Maret? Karena pada tanggal itulah Presiden China Xi Jinping melakukan inspeksi pertamanya di Kota Wuhan sejak lockdown 23 Januari.

China Meradang
Tidak hanya sektor industri, sektor pariwisata pun mulai bergeliat seperti yang terlihat di Shanghai, kota ekonomi terbesar di China.

Awalnya Disneyland yang dibuka lagi mulai 9 Maret, meskipun masih secara parsial, seperti restoran, pusat perbelanjaan, dan sebagian kecil wahana hiburan.

Diikuti objek-objek wisata lainnya, termasuk Oriental Pearl Tower yang menjadi ikon kota berkelas internasional itu pada 14 Maret.

Lalu beberapa sekolahan di Qinghai, Lanzhou, dan Tibet juga mulai mengadakan kegiatan belajar dan mengajar dengan model kehadiran tatap muka seperti biasanya pada 9 Maret.

Terakhir, 16 unit rumah sakit sementara di Wuhan ditutup dan dikembalikan lagi fungsinya seperti semula, ada yang berupa gedung olahraga atau ruang pameran dan fasilitas umum lainnya.

Sebaliknya di negara-negara lain perkembangan COVID-19 makin menggila. Di Italia terdapat 21.270 kasus dengan angka kematian 1.441 hingga Minggu (15/3) malam.

Lalu Iran dengan 13.938 kasus dan angka kematiannya 724.

Presiden Donald Trump terhenyak setelah Amerika Serikat mendapati 2.885 kasus positif dengan angka kematian 60.

Demikian halnya dengan Indonesia yang kurang dari dua pekan sudah ditemukan 117 kasus dengan jumlah kematian lima orang.

Sejak awal diumumkannya kasus positif COVID-19 itu oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret, masyarakat langsung heboh.

Aksi borong barang kebutuhan, penimbunan masker, perburuan identitas pasien positif COVID-19 di Depok, hingga debat kusir soal lockdown mengiringi kasus positif itu.

China yang sebelumnya lebih memilih bekerja keras memerangi Corona daripada mendengarkan cemoohan dan serangan negara lain kini mulai angkat bicara.

Zhao Lijian, diplomat yang baru saja diangkat sebagai juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) mulai melempar isu yang akhirnya juga memicu kemarahan AS.

"Berapa orang yang terinfeksi? Apa nama-nama rumah sakit? Ini mungkin tentara AS yang membawa epidemik ke Wuhan. Transparanlah! Publikasikan data Anda! Anda wajib menjelaskan kepada kami!" demikin ocehan Zhao di akun Twitternya.

Ocehan itu dilontarkan Zhao untuk menanggapi testimoni Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular (CDC) AS Robert Redfield di depan Kongres pada 12 Maret.

Redfield mengakui bahwa beberapa kasus kematian di AS sebelumnya tidak dikategorikan sebagai flu.

Mereka tidak menjalani tes coronavirus, demikian Redfield dikutip Global Research.

Dua bulan sebelum wabah merebak, di Wuhan telah diselenggarakan Pekan Olahraga Militer Dunia (17th CISM/Military World Games) pada 18-27 Oktober 2019, yang diikuti hampir 4.000 tentara dari 140 negara, termasuk AS dan Israel, yang berlaga di sejumlah cabang olahraga.
Baca juga: Presiden AS Donald Trump Jumat umumkan darurat nasional akibat Corona

Pekan olahraga yang bertujuan untuk menjalin persahabatan antarserdadu militer dari berbagai penjuru dunia itulah yang dikaitkan-kaitkan dengan virus yang mulai mewabah di Wuhan oleh Zhao.

Sebelumnya AS dan sekutunya juga menuduh China bahwa virus itu ditimbulkan dari laboratorium senjata biologi di Wuhan yang bocor. 

 

Pewarta : M. Irfan Ilmie
Editor : Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024