Jakarta (ANTARA) - Penduduk Provinsi DKI Jakarta masih mengandalkan air dari tanah sebagai sumber air bersih untuk keperluan sehari- hari dan belum beralih ke air yang berasal dari saluran perpipaan.
Padahal peneliti sudah memprediksi Jakarta tenggelam pada 2050 akibat penurunan muka tanah (landsubsidence) karena penggunaan air tanah sebagai salah satu faktornya.
Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan (Citata) DKI Jakarta Heru Hermawanto saat dihubungi, Jumat mengemukakan, pengadaan air dari saluran perpipaan belum menjangkau seluruh kawasan di Jakarta sehingga ketergantungan pada air tanah pun masih dilakukan oleh masyarakat.
"Sumber air itu problem milik DKI. Artinya kebutuhan air bersih Nakarta solusinya dipenuhi oleh daerah lain," kata dia.
"Karena kalau ngandelin Jakarta ya cuma punya air bawah tanah. Kan problem ini. Selama penduduknya besar, terus bangunan banyak, ya mau ga mau ketersediaan dari air tanah karena belum tersedia air dari saluran perpipaan," kata Heru.
Air dari saluran perpipaan seharusnya dapat perlahan-lahan ditingkatkan untuk penggunaan masyarakat Jakarta karena lambat laun penurunan muka tanah di Jakarta terus berlangsung.
JAKARTA, 13/1 - PEMAKAIAN AIR TANAH. Corporate Secretary PT Aetra Air Jakarta Yosua L Tobing (2 kanan) mendampingi petugas Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta, melakukan sidak pemakaian air tanah di kawasan industri Cilincing, di Jakarta Utara, Kamis (13/1). Aetra turut mendukung program Zero Deep Well untuk menekan eksploitasi air tanah berlebihan demi mencegah penurunan muka tanah di Jakarta, dan sepanjang tahun 2010 telah menginvestasikan Rp300 miliar untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan air bersih. FOTO ANTARA/Audy Alwi/ama/11
Hal itu akibat pola penggunaan air tanah besar-besaran yang menjadi salah satu faktor Jakarta diprediksikan tenggelam di tahun 2050.
Saat ini, menurut Heru, layanan air perpipaan baru dirasakan oleh 40-60 persen penduduk baik di pemukiman maupun gedung-gedung bertingkat seperti pusat perbelanjaan dan kantor.
"Sekarang layanan air pipa yang tersedia sekitar 40 sampai 60 persen. Masyarakat ya tetap masih bergantung air tanah," katanya.
"Contoh deketnya sekitar kita permukiman pasti pada pakai air tanah kan? Apalagi gedung- gedung pemukiman yang tinggi," kata dia.
"Itu menampung KK banyak ya nyedot airnya lebih banyak kalau saluran air pipanya belum masuk," kata Heru.
Selaras dengan Dinas Citata DKI, Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta pun membenarkan penggunaan air tanah masih tinggi di Jakarta.
"Ya masih banyak yang pakai air tanah, namun yang jelas kami akan mengupayakan penggunaan air tanah perlahan-lahan dikurangi dan masyarakat menggunakan air pipa," kata Sekretaris SDA DKI Dudi Gardesi.
Meski demikian, Dudi belum mengetahui secara detil upaya lebih lanjut karena sebelumnya masalah air bersih di Jakarta dipegang oleh Dinas Perindustrian dan Energi DKI yang saat ini dilebur dengan Dinas Ketenagakerjaan DKI.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI Sri Sunarti Purwaningsih mengatakan
penurunan muka tanah imbas perubahan iklim global menjadi ancaman serius bagi warga kawasan pesisir Jakarta karena dapat mengalami kehilangan atau kerusakan harta benda.
Para ahli telah memprediksi permukaan air laut akan naik 25 hingga 50 centimeter (cm) tahun 2050 dan pada 2100 air laut akan menggenangi sebagian besar kota pesisir di Indonesia.
Padahal peneliti sudah memprediksi Jakarta tenggelam pada 2050 akibat penurunan muka tanah (landsubsidence) karena penggunaan air tanah sebagai salah satu faktornya.
Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang dan Pertanahan (Citata) DKI Jakarta Heru Hermawanto saat dihubungi, Jumat mengemukakan, pengadaan air dari saluran perpipaan belum menjangkau seluruh kawasan di Jakarta sehingga ketergantungan pada air tanah pun masih dilakukan oleh masyarakat.
"Sumber air itu problem milik DKI. Artinya kebutuhan air bersih Nakarta solusinya dipenuhi oleh daerah lain," kata dia.
"Karena kalau ngandelin Jakarta ya cuma punya air bawah tanah. Kan problem ini. Selama penduduknya besar, terus bangunan banyak, ya mau ga mau ketersediaan dari air tanah karena belum tersedia air dari saluran perpipaan," kata Heru.
Air dari saluran perpipaan seharusnya dapat perlahan-lahan ditingkatkan untuk penggunaan masyarakat Jakarta karena lambat laun penurunan muka tanah di Jakarta terus berlangsung.
Saat ini, menurut Heru, layanan air perpipaan baru dirasakan oleh 40-60 persen penduduk baik di pemukiman maupun gedung-gedung bertingkat seperti pusat perbelanjaan dan kantor.
"Sekarang layanan air pipa yang tersedia sekitar 40 sampai 60 persen. Masyarakat ya tetap masih bergantung air tanah," katanya.
"Contoh deketnya sekitar kita permukiman pasti pada pakai air tanah kan? Apalagi gedung- gedung pemukiman yang tinggi," kata dia.
"Itu menampung KK banyak ya nyedot airnya lebih banyak kalau saluran air pipanya belum masuk," kata Heru.
Selaras dengan Dinas Citata DKI, Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta pun membenarkan penggunaan air tanah masih tinggi di Jakarta.
"Ya masih banyak yang pakai air tanah, namun yang jelas kami akan mengupayakan penggunaan air tanah perlahan-lahan dikurangi dan masyarakat menggunakan air pipa," kata Sekretaris SDA DKI Dudi Gardesi.
Meski demikian, Dudi belum mengetahui secara detil upaya lebih lanjut karena sebelumnya masalah air bersih di Jakarta dipegang oleh Dinas Perindustrian dan Energi DKI yang saat ini dilebur dengan Dinas Ketenagakerjaan DKI.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI Sri Sunarti Purwaningsih mengatakan
penurunan muka tanah imbas perubahan iklim global menjadi ancaman serius bagi warga kawasan pesisir Jakarta karena dapat mengalami kehilangan atau kerusakan harta benda.
Para ahli telah memprediksi permukaan air laut akan naik 25 hingga 50 centimeter (cm) tahun 2050 dan pada 2100 air laut akan menggenangi sebagian besar kota pesisir di Indonesia.