Magelang (ANTARA) - Penulis I Gusti Putu Bawa Samar Gantang mengaku novel "Leak Tegal Sirah" berkisah tentang peristiwa pada Desember 1965 di Banjar Tegal Sirah, Bali karyanya itu, ditulis selama 19 tahun dengan proses perampungan selama sembilan bulan.
"Saya menulis novel ini selama 19 tahun dan merampungkannya selama sembilan bulan,” katanya dalam keterangan tertulis pihak penerbit novel itu, "Indonesia Tera", di Magelang, Jawa Tengah, Minggu (1/12) malam.
Baca juga: Pemerintah diminta Hargai Karya Sastra
Peluncuran novel tersebut di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah pada Jumat (29/11) dilanjutkan diskusi pada Sabtu (30/11) dalam rangkaian acara bernama "Patjar Merah", festival kecil literasi dan pasar buku keliling Nusantara keempat yang kali ini dengan lokasi di gedung Soesmans Kantoor dan Monod Diephuis & Co, selama 29 November hingga 8 Desember 2019.
Peluncuran novel, antara lain dihadiri para peminat sejarah dari kalangan anak muda milenial, pencinta buku, serta pengunjung "Patjar Merah", sedangkan diskusi bertajuk "Menolak Lupa: Mereka Yang Menarasikan Sejarah" dengan narasumber Samar Gantang, penulis Kuncoro Hadi, dan sejarawan Pusat Studi Budaya dan Laman Batas Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Brawijaya Malang F.X. Domini B.B. Hera.
Diskusi bertema "Menolak Lupa: Mereka Yang Menarasikan Sejarah" di kawasan Kota Lama Semarang, Sabtu (30/11/2019), dalam rangkaian festival literasi dan pasar buku keliling Nusantara keempat, "Patjar Merah", 29 November-8 Desember 2019. (ANTARA/HO/Penerbit Indonesia Tera)
Samar mengatakan bahwa sejarah mestinya ditulis, baik oleh orang yang menang, orang yang kalah, maupun orang yang netral.
"Saya menulis buku ini dengan tidak punya kepentingan apapun. Saya hanya ingin melukiskan apa yang yang terjadi saat itu apa yang saya lihat dan alami ketika saya masih remaja dan pecah peristiwa PKI di Bali," katanya.
Ia berpendapat bahwa hidup tak lepas dari tiga unsur, yakni hitam, putih, dan abu-abu.
"Tak ada kehidupan yang hanya putih saja atau hitam saja, pasti ada abu-abu juga," kata dia.
I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (70) adalah penulis yang banyak menerbitkan buku, baik puisi, cerpen, maupun novel, serta mendapat banyak penghargaan. Penghargaan terbaru yang diperolehnya pada awal November lalu, dari Pemerintah Provinsi Bali bernama “Bali Jani Nugraha”.
Dalam novel tersebut, antara lain diceritakan tentang Banjar Tegal Sirah yang sudah dikenal angker sejak zaman Kerajaan Carik pada 1500-an.
Tempat itu, menjadi sarang yang menyenangkan bagi roh-roh halus, sedangkan setiap malam Jumat Kliwon banyak krama Banjar Tegal Sirah melihat leak-leak bergentayangan dengan wujud yang bermacam-macam. Mereka bermarkas di setra Tegal Sirah dan di sekitar "campuhan".
Sejak peristiwa Desember 1965 itu, Tegal Sirah semakin angker karena 20 krama Banjar Tegal Sirah yang dibunuh tersebut, rohnya penasaran.
Domini menyebut sejarah negara adalah sejarah tentang raja-raja, sedangkan sejarah tentang seorang demi seorang, sejarah warga, dan sejarah keluarga, juga bagian dari sejarah.
"Andaikan sejarah ditulis hanya untuk kepentingan negara saja, maka sejarah yang tidak sesuai kepentingan negara akan ditiadakan, dianggap membahayakan dan dibuang. Padahal ada banyak kisah nyata di sana," katanya.
"Saya menulis novel ini selama 19 tahun dan merampungkannya selama sembilan bulan,” katanya dalam keterangan tertulis pihak penerbit novel itu, "Indonesia Tera", di Magelang, Jawa Tengah, Minggu (1/12) malam.
Baca juga: Pemerintah diminta Hargai Karya Sastra
Peluncuran novel tersebut di kawasan Kota Lama Semarang, Jawa Tengah pada Jumat (29/11) dilanjutkan diskusi pada Sabtu (30/11) dalam rangkaian acara bernama "Patjar Merah", festival kecil literasi dan pasar buku keliling Nusantara keempat yang kali ini dengan lokasi di gedung Soesmans Kantoor dan Monod Diephuis & Co, selama 29 November hingga 8 Desember 2019.
Peluncuran novel, antara lain dihadiri para peminat sejarah dari kalangan anak muda milenial, pencinta buku, serta pengunjung "Patjar Merah", sedangkan diskusi bertajuk "Menolak Lupa: Mereka Yang Menarasikan Sejarah" dengan narasumber Samar Gantang, penulis Kuncoro Hadi, dan sejarawan Pusat Studi Budaya dan Laman Batas Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Brawijaya Malang F.X. Domini B.B. Hera.
Samar mengatakan bahwa sejarah mestinya ditulis, baik oleh orang yang menang, orang yang kalah, maupun orang yang netral.
"Saya menulis buku ini dengan tidak punya kepentingan apapun. Saya hanya ingin melukiskan apa yang yang terjadi saat itu apa yang saya lihat dan alami ketika saya masih remaja dan pecah peristiwa PKI di Bali," katanya.
Ia berpendapat bahwa hidup tak lepas dari tiga unsur, yakni hitam, putih, dan abu-abu.
"Tak ada kehidupan yang hanya putih saja atau hitam saja, pasti ada abu-abu juga," kata dia.
I Gusti Putu Bawa Samar Gantang (70) adalah penulis yang banyak menerbitkan buku, baik puisi, cerpen, maupun novel, serta mendapat banyak penghargaan. Penghargaan terbaru yang diperolehnya pada awal November lalu, dari Pemerintah Provinsi Bali bernama “Bali Jani Nugraha”.
Dalam novel tersebut, antara lain diceritakan tentang Banjar Tegal Sirah yang sudah dikenal angker sejak zaman Kerajaan Carik pada 1500-an.
Tempat itu, menjadi sarang yang menyenangkan bagi roh-roh halus, sedangkan setiap malam Jumat Kliwon banyak krama Banjar Tegal Sirah melihat leak-leak bergentayangan dengan wujud yang bermacam-macam. Mereka bermarkas di setra Tegal Sirah dan di sekitar "campuhan".
Sejak peristiwa Desember 1965 itu, Tegal Sirah semakin angker karena 20 krama Banjar Tegal Sirah yang dibunuh tersebut, rohnya penasaran.
Domini menyebut sejarah negara adalah sejarah tentang raja-raja, sedangkan sejarah tentang seorang demi seorang, sejarah warga, dan sejarah keluarga, juga bagian dari sejarah.
"Andaikan sejarah ditulis hanya untuk kepentingan negara saja, maka sejarah yang tidak sesuai kepentingan negara akan ditiadakan, dianggap membahayakan dan dibuang. Padahal ada banyak kisah nyata di sana," katanya.