Jakarta (ANTARA) - Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengingatkan tentang fenomena penyusutan globalisasi, tetapi di sisi lain digitalisasi melesat sehingga kedua paradigma ini akan berpengaruh pada perkembangan perekonomian nasional ke depan.
"Dinamika ekonomi dan keuangan global yang kita hadapi sekarang adalah diminishing globalization, rising digitalization," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam Seminar Nasional Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) yang digelar di Jakarta, Sabtu.
Menurut Perry, pada saat ini terjadi penurunan dorongan untuk melakukan globalisasi, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ada gerakan akselerasi digitalisasi.
Gubernur BI memaparkan, pada saat ini ada ada tendensi perdagangan global lebih mengarah ke dalam negeri, berbeda dengan pemikiran sebelumnya yang lebih mendorong perdagangan dan investasi antarnegara.
Pada saat ini, lanjutnya, terjadi antitesis globalisasi yang implikasinya seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat China.
"Ini refleksi antiglobalisasi dari negara-negara maju. mereka tidak bisa bersaing dengan produk-produk murah negara berkembang," katanya.
Untuk itu, ujar dia, pertanyaan besarnya adalah bagaimana pemangku kepentingan perekonomian nasional bisa tetap relevan.
Hal tersebut, lanjutnya, adalah dengan mencari sumber perekonomian baru yang belum berkembang serta belum digarap dengan baik di dalam negeri.
Sebelumnya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyatakan, kebijakan pro-investasi kalau benar-benar dijalankan secara konsisten oleh pemerintah bakal menekan potensi resesi akibat fenomena ketidakpastian global saat ini.
Baca juga: Digitalisasi bisa dongkrak pertumbuhan ekonomi dalam negeri
"Pemerintah perlu terus meningkatkan kebijakan pro investasi untuk mendorong masuknya foreign direct investment ke dalam negeri," kata Pingkan di Jakarta, Kamis (31/10).
Pingkan mengingatkan bahwa Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merevisi pertumbuhan ekonomi global dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen. Sebelumnya hal serupa juga sudah dilakukan oleh dua lembaga keuangan dunia lainnya, yaitu International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia.
Menurut dia, terjadinya revisi pada perkiraan pertumbuhan ekonomi global nampaknya sudah sangat jelas terjadi sebagai dampak dari volatilitas keadaan pasar di tengah gejolak ekonomi global.
"Ketegangan geopolitik dan beberapa faktor yang disebutkan sebelumnya memang bergerak sangat dinamis pada paruh pertama tahun ini sehingga membuat badan-badan ekonomi internasional tersebut melakukan proyeksi ulang berdasarkan dengan perkembangan situasi yang ada. Hal ini pun kian memperkuat premis akan adanya resesi global dalam waktu dekat," jelas Pingkan.
Baca juga: Promosikan wisata daerah tertinggal efektif dengan digitalisasi
"Dinamika ekonomi dan keuangan global yang kita hadapi sekarang adalah diminishing globalization, rising digitalization," kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam Seminar Nasional Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) yang digelar di Jakarta, Sabtu.
Menurut Perry, pada saat ini terjadi penurunan dorongan untuk melakukan globalisasi, tetapi pada saat yang bersamaan adalah ada gerakan akselerasi digitalisasi.
Gubernur BI memaparkan, pada saat ini ada ada tendensi perdagangan global lebih mengarah ke dalam negeri, berbeda dengan pemikiran sebelumnya yang lebih mendorong perdagangan dan investasi antarnegara.
Pada saat ini, lanjutnya, terjadi antitesis globalisasi yang implikasinya seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat China.
"Ini refleksi antiglobalisasi dari negara-negara maju. mereka tidak bisa bersaing dengan produk-produk murah negara berkembang," katanya.
Untuk itu, ujar dia, pertanyaan besarnya adalah bagaimana pemangku kepentingan perekonomian nasional bisa tetap relevan.
Hal tersebut, lanjutnya, adalah dengan mencari sumber perekonomian baru yang belum berkembang serta belum digarap dengan baik di dalam negeri.
Sebelumnya, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyatakan, kebijakan pro-investasi kalau benar-benar dijalankan secara konsisten oleh pemerintah bakal menekan potensi resesi akibat fenomena ketidakpastian global saat ini.
Baca juga: Digitalisasi bisa dongkrak pertumbuhan ekonomi dalam negeri
"Pemerintah perlu terus meningkatkan kebijakan pro investasi untuk mendorong masuknya foreign direct investment ke dalam negeri," kata Pingkan di Jakarta, Kamis (31/10).
Pingkan mengingatkan bahwa Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merevisi pertumbuhan ekonomi global dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen. Sebelumnya hal serupa juga sudah dilakukan oleh dua lembaga keuangan dunia lainnya, yaitu International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia.
Menurut dia, terjadinya revisi pada perkiraan pertumbuhan ekonomi global nampaknya sudah sangat jelas terjadi sebagai dampak dari volatilitas keadaan pasar di tengah gejolak ekonomi global.
"Ketegangan geopolitik dan beberapa faktor yang disebutkan sebelumnya memang bergerak sangat dinamis pada paruh pertama tahun ini sehingga membuat badan-badan ekonomi internasional tersebut melakukan proyeksi ulang berdasarkan dengan perkembangan situasi yang ada. Hal ini pun kian memperkuat premis akan adanya resesi global dalam waktu dekat," jelas Pingkan.
Baca juga: Promosikan wisata daerah tertinggal efektif dengan digitalisasi